Bukan Keberuntungan?

2136 Words
Resto cepat saji yang dimaksud Sophia ternyata cukup besar dan terkenal, Juna ingat dia sempat memasukkan nama resto ini dalam listnya di kategori resto, suatu kebetulan yang bagus, mungkin ini yang dimaksud dengan jalur ordal. Sophia mendorong pintu kaca yang ada logo resto dan keterangan jam operasionalnya. Suasananya belum cukup ramai karena memang sekarang belum waktunya makan siang. Kalau Juna lihat di pintu tadi, resto ini baru buka setengah jam yang lalu, jadi wajar masih sepi. Interior resto ini lebih modern daripada The Bean yang lebih hommy, ini persis standar resto cepat saji lainnya, warna dindingnya di d******i putih dengan tekstur kasar, lalu furniture- nya berupa bangku yang didominasi warna hitam dan warna kayu, lumayan bagus. "Tunggu sebentar, aku mau mencari Ervin di sana," pamit Sophia mendistraksi Juna yang sedang menilai resto ini, ucapan Sophia tadi tentu saja dengan maksud supaya Juna jangan mengikutinya dulu, Juna mentaati, dia memilih duduk di salah satu bangku kosong yang kebetulan masih banyak pilihannya. Sementara itu Sophia menghampiri salah satu pekerja wanita yang sedang sedikit membungkuk sambil menyusun potongan cake di etalase pendingin, ya selain burger, sandwich wrap dan kentang goreng, mereka juga menjual aneka cake dan croissant di etalase mereka. "Morning, apakah aku bisa ketemu Ervin sekarang?" "Yes sure, dia sedang bertugas di dalam, sebentar aku panggilkan." Wanita yang ditanyai Sophia tadi meletakkan baki untuk membawa cake tadi di atas meja, lalu dia pergi ke belakang tanpa menanyakan nama Sophia. Sophia melihat ke sekeliling, hanya ada tiga meja yang terisi, termasuk yang sedang ditempati Juna. Sophia hanya menunggu satu menit saja karena Ervin tahu - tahu sudah muncul dari belakang dengan memakai celemek seragamnya yang berwarna hijau army, rambut brokolinya pun ditutup rapi dengan topi yang di pakainya dan ada logo resto tempat dia bekerja ini. "Hai Soph, kenapa aku bisa melihat kamu disini di saat jam kerja begini?' tanya Ervin ketika bertemu Sophia. Ervin tahu ini masih jam kerja Sophia juga. "Uhm aku izin sebentar dari The Bean. Ervin, boleh kah kita ngobrol sebentar, aku ada keperluan." "Yea sure." "Maaf kalo aku mengganggumu." "Tidak, store baru saja buka, belum banyak pelanggan yang datang, kalau rush hour pasti aku tidak bisa meladenimu sekarang," jawab Ervin sambil keluar dari area kerja menuju ke tempat Sophia berdiri dan mengajaknya duduk di salah satu kursi. Seperti yang dia bilang tadi karena ini masih jam sepi, jadi Ervin masih leluasa untuk melayani Sophia, teman di kampusnya ini. "Katakan ada apa, ada hal penting?" "Apa lowongan pekerjaan yang kamu bilang ke aku tiga hari yang lalu itu masih ada?" tanya Sophia penuh harap. "Kamu mau pindah ke sini? Bagus kalau gitu." "Ckk ... katakan apa lowongan itu masih ada?" "Masih walau sudah ada beberapa kandidiat yang datang tapi belum diputuskan owner, kenapa Soph, kamu benar - benar berminat? Aku bisa merekomendasikan kamu agar diterima." "Uhm .. actually bukan untuk aku, tapi untuk pria yang ada di belakang sana yang memakai baju kaos putih itu," ucap Sophia tanpa menoleh sedikitpun. Ervin hanya menggeser sedikit kepalanya dan pandangannya kini mengarah ke salah satu kursi paling ujung dekat pintu masuk. Disana dia bisa melihat ke arah pria yang Sophia maksud. Sementara itu Juna juga sedang menatap ke arah mereka berdua dan tentu saja Juna sangat menyadari sedang diperhatikan oleh lawan bicara Sophia, kayaknya aku lagi diomongin nih, pikir Juna.. "Teman kamu?" tanya Ervin. "Ya." "Kenapa aku melihat wajah dan posturnya tidak cocok dengan pekerjaan ini ya?" tanya Ervin lagi. "Apa iya Erv?" Sekarang Sophia yang penasaran. Dia memang tidak memperhatikan apa yang menjadi perhatian Ervin barusan, perasaannya penampilan pria yang diajaknya itu normal. Sophia menoleh ke belakang dan melihat Juna masih di sana sedang melihat ke arahnya. "Apa wajah dan posturnya jelek sehingga tidak bisa jadi pelayan disini?" tanya Sophia sambil memajukan tubuhnya, mirip orang yang sedang berbisik karena takut didengar orang lain. "Off course not ... I mean posturnya terlalu bagus untuk jadi pelayan menurutku, aku rasa dia lebih cocok jadi CEO." "Ckk ... jangan di permasalahkan soal postur yang bagus, dia niat bekerja makanya aku membawanya ke sini, aku kira ada masalah dengan fisiknya," ucap Sophia agak kesal sekaligus lega. Ervin malah tertawa melihat temannya ini cemberut, tambah cantik, sayangnya sudah jadi milik David, kakak tingkat mereka yang sudah lulus. "Jadi bagaimana, bisa nggak kamu bantu aku?" "Dia teman kamu di mana? Apakah dia bisa di percaya?" "Uhm .. dia teman dari temanku, tadi dia mampir di coffee shop dan kami ngobrol banyak soal pekerjaan, dia bilang sedang butuh pekerjaan dan aku ingat tawaran kamu waktu itu, itulah mengapa aku ada disini sekarang. So Please terima ya Erv, aku harus kembali bekerja soalnya." Apa yang diucapkan Sophia tidak sepenuhnya benar, dia sama sekali tidak bicara banyak soal pekerjaan, hanya sekilas dan fokus pada pekerjaan yang ditawarkan Ervin ini, lagi pula memangnya Juna temannya siapa yang di akunya tadi? "Boleh aku kenalan dulu dengannya." "Sure." "Siapa namanya?" "Uhm, aku kesulitan menyebutkannya, kamu bisa tanyakan langsung ke orangnya dan bisa mendengarnya sendiri nanti." Fakta sebenarnya Sophia bahkan tidak bertanya siapa nama pria yang dibawanya ke tempat Ervin ini. Demi apapun, dia juga tidak ingin tahu namanya, bukankah setelah ini mereka tidak akan ada urusan lagi? Tapi sekarang Sophia menyesali pria itu mengetahui namanya, semoga tidak disalah gunakan nantinya. "Baik lah, tolong panggil dia untuk duduk disini." Sophia berdiri dan menghampiri kursi Juna lalu mengajaknya untuk pindah ke meja Ervin. "Ervin." "Arjuna." Ervin dan Juna saling bersalaman dan berbasa basi sebelum Juna duduk diantara Ervin dan Sophia. "Sorry?" Benar saja kata Sophia tadi bahwa pelafalan nama Arjuna dinilai agak sulit, padahal baru ini Shopia mengetahui nama lelaki ini. Ervin saja sampai perlu mendengar sekali lagi. "Panggil saja saya Juna, mungkin nama saya tidak biasa didengar." "Okey, Juna." Ervin malah tersenyum setelahnya karena walau hanya empat huruf ternyata memang aneh kedengarannya, Juna, ulang Ervin dalam hati. "So Juna ... Sophia bilang kamu mencari pekerjaan dan kebetulan disini ada lowongan sebagai pelayan, apakah kamu seorang pekerja keras?" tanya Ervin tanpa basa basi. "Sure, aku bisa bekerja sangat keras kalau memang dibutuhkan," jawab Juna percaya diri. Ervin mengangguk - angguk. "Kamu bukan orang sini kan?" "Yup, saya dari Jakarta, Indonesia." Tanpa Juna sadari Sophia menautkan alisnya, Indonesia? "Owh .. I see. So kamu pakai Visa apa sekarang?" "WHV, working holiday visa." "Oke, berarti kamu dapat izin bekerja resmi ya?" "Yup." "Banyak sekali visa turis yang melamar kerja disini, tapi kami tidak bisa menerimanya." "Apa bedanya?" tanya Sophia yang penasaran. "Jelas berbeda, itu masalah hukum Soph... turis tidak boleh kerja disini." "Maksudnya mereka akan di hukum?" "Mereka mungkin akan di deportasi dan di blacklist oleh imigrasi, dan resto ini juga akan mendapat masalah." Sophia membundarkan bibirnya, ini pengetahuan baru untuknya. "Baiklah, kami memang membutuhkan satu tenaga kerja lagi disini, satu hari delapan jam kerja dengan bayaran tiga puluh dollar per jam dengan kontrak Casual," lanjut Ervin. "Ada shift?" "Nope, outlet ini memang hanya untuk customer dari area perkantoran dekat sini dan delivery saja, hari kerja pun hanya Senin sampai Jumat dan jam empat outlet kita sudah tutup, tapi yang bertugas opening akan datang lebih awal dan yang closing tinggal satu jam setelah outlet tutup, nanti roster kerja mingguan akan dikirim by WA setiap hari minggu," jelas Ervin. "Menarik. bagaimana dengan gaji, pembayaran per minggu atau per bulan?" "Per dua minggu akan gajian." "Hmm, bagus." Juna langsung membayangkan dia tidak akan kesulitan untuk bayar sewa dan biaya makannya kalau gajian setiap dua minggu. Setidaknya uang yang ada di rekeningnya akan selalu ada. "Apa kamu punya keleluasaan waktu? Soalnya kami butuh dalam waktu yang sangat cepat sebenarnya." "Saya bisa mulai kapan pun." "Baiklah, owner akan datang menjelang closing, biasanya antara jam tiga sampai jam lima nanti, kamu bisa datang untuk menemuinya dan saya akan info dulu ke dia sekarang." "Oke, nanti sore saya akan datang lagi." "O ya, jangan lupa untuk memperlihatkan visa dan paspor yang kamu punya untuk memastikannya." "Baiklah." "Selesai?" tanya Sophia ke Ervin ketika melihat dua lelaki di dekatnya ini sama - sama diam. "Yea ... sudah selesai denganku, tinggal sama Erick nanti sore," jawab Ervin menyebut nama owner resto tempat dia bekerja ini. "Baiklah ... terimakasih atas waktumu, aku rasa aku harus kembali bekerja lagi.' "Oke, sampaikan salamku ke David ya, sudah lama aku tidak ketemu dia." "Baiklah, nanti akan aku sampaikan." Juna ikut berdiri ketika melihat Sophia mulai berdiri. *** "Bukannya nama teman kamu Jack, kenapa jadi David? " tanya Juna ketika mereka baru saja keluar dari pintu resto tempat Ervin bekerja. Sophia tidak langsung menjawab, dia berhenti ketika mereka sudah berjarak sekitar dua puluh meter dari pintu tadi. "David itu pacarku, dan Ervin mengenalnya," jawab Sophia memenuhi keingintahuan Juna. "Oo," Juna membundarkan bibirnya. "So Mister Raduna, sepertinya tugasku sudah selesai, kamu sudah mendapatkan pekerjaan yang kamu inginkan." "What did you say my name?" tanya Juna sambil memiringkan sedikit kepalanya, dia seperti mendengar ada yang salah. "Raduna." Juna memggeleng,"Arjuna Pradana." Sophia bengong, kenapa jadi tambah panjang namanya? itu protes dari pikiran Sophia sendiri. "Raduna." "Ckk ... Ikuti aku, Ar ..." Juna sudah tidak sabar mendengar namanya masih saja salah pengucapan. "Ar.." Sophia mengikuti tentu saja dengan huruf r yang tebal, ciri khas orang yang sehari - harinya berbahasa inggris ketika menyebutkan huruf r memang tebal seperti itu. "Juna." "Duna." "Ju with J, Ju na." "Ju na." "Arjuna." "Arjuna." "Pintar, jangan salah lagi." Sophia yang mendengarkan ucapan Juna sampai merasa heran dan mengaitkan alisnya, karena Juna berkata begitu seolah - olah mereka akan bertemu lagi, padahal Sophia tidak ingin mereka berurusan lagi satu sama lain. "Well Mister Ar ju na, seperti yang aku bilang tadi, tugasku sudah selesai, aku akan kembali ke The Bean untuk membantu Jack." "Bukan kah kamu sudah dibebastugaskan? Kenapa kamu tidak pergi bermain dengan teman atau bersantai di rumah sambil nonton Netflix? Bukankah biasanya orang - orang memanfaatkan hukuman itu untuk bersenang - senang juga ya?" "Excuse me .... aku bekerja dibayar per jam dan saat ini harusnya aku masih bisa mendapatkan beberapa jam kerja lagi. Kecerobohan yang aku lakukan tadi pagi sudah menghilangkan dua jam waktu kerjaku, but it's okay, anggap saja aku sedang tidak beruntung karena aku harus mengantarkanmu ke tempat Ervin menjelang siang ini, tapi bukan berarti setelah itu aku akan pulang dan tidur di rumah menikmati kebebasan dari pekerjaan," ucap Sophia dengan nada sinis, karena dia merasa tersinggung dengan ucapan Juna barusan. Dia jadi berpikir soal keseriusan Juna untuk bekerja, jangan - jangan dia lebih senang libur dari pada bekerja, tapi persetanlah dengan itu semua, Juna sampai terpana mendengar tanggapan Sophia, di Indonesia banyak sekali yang merasa beruntung kalau sampai diajaknya pergi jalan - jalan, ini barusan gadis bule di depannya bilang dia sedang tidak beruntung? Owh oke baik lah, suatu saat nanti kamu akan berterima kasih dan menganggap ini adalah suatu keberuntungan karena sudah pernah mengenal seorang Arjuna Pradana, ancam Juna dalam hati. "Oke .. oke, tapi sayangnya hukumanmu belum selesai sebenarnya." "Apa lagi? Kan kamu sudah aku antar menemui Ervin, nanti kamu akan mendapat pekerjaan itu, Ervin pasti bantu." "Ya semoga saja. Tapi di buku catatanku itu aku juga menulis nama - nama tempat tinggal, sebenarnya aku sedang mencari kamar juga. Ehm tapi anggaplah ini bukan hukuman biar lebih enak, tapi anggap saja aku sedang butuh pertolongan, aku minta tolong dicarikan tempat tinggal, please." Juna sedikit berbohong, kalau dia jujur bahwa di bukunya tidak ada catatan nama tempat tinggal, pasti Sophia tidak akan membantunya, Juna yakin sekali itu. Tatapan mata Sophia jadi sedikit melunak, mungkin karena suara Juna juga melunak juga dan disertai kata minta tolong, benar - benar magic word. "Tempat tinggal seperti apa yang kamu butuhkan?" "Yang bersih, tidak jauh dari sini dan harga harus bersahabat." "Bersahabat dengan siapa maksudnya? Coba jelaskan budget yang pasti karena yang dimaksud bersahabat oleh setiap orang itu berbeda." Asli nih cewek cakep - cakep ternyata judes banget, gerutu Juna dalam hati. "Under five hundred, kalau ada antara dua ratus sampai dua ratus lima puluh dollar per minggu itu lebih baik." "Kamu punya uang dua ribu lima ratus dollar?" "Kenapa kamu tanya begitu, kamu minta fee?" Wajah Sophia agak memerah, bukan malu tapi marah. "Disini kalau mau menyewa kamar harus bayar jaminan seharga satu bulan masa sewa, kalau kamu menyewa kamar dua ratus lima puluh dollar per minggu, berarti kan kamu harus siapkan seribu dua ratus lima puluh dollar untuk bayar di depan, uang jaminan dan uang sewa satu minggu, Kenapa aku tanya dua ribu lima ratus dollar? Karena minggu ke dua kamu harus bayar lagi dua ratus lima puluh dollar dan sisanya untuk hidup kamu selama dua minggu sebelum kamu gajian dua minggu lagi, sekarang paham? Aku tidak meminta fee apapun!" ucap Sophia dengan nada kesal, kalau terlalu lama berurusan dengan laki - laki dihadapannya ini, lama - lama dia butuh obat penurun tensi di usia muda. Juna meringis, dia salah kira lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD