"Oh, God... damn... it's so good ... uughh... Faster, uuggh."
"Uuugh ...Gosh ..."
Suara wanita yang terdengar sangat m***m dengan goyangan tempat tidur seperti ada gempa ringan membuat Juna mengerjap. Rasanya belum lama dia terlelap, tapi dia terpaksa bangun mendengar suara wanita dengan desahan dan lenguhan seperti melepas hasratnya. Tempat tidurnya masih bergoyang pelan dan konstan. Juna memang tidur di bagian atas bunk bed atau tempat tidur bertingkat di kamar ini, tapi seingatnya, yang tidur di bawahnya adalah pria asal Eropa yang bernama James, dia sedang dalam perjalanan backpacker keliling Australia, Juna sempat berkenalan kemarin. Apakah dia membawa wanita dan sedang melakukan ... ah, sial! umpat Juna dalam hati ketika membayangkan apa yang mereka lakukan di bawah tempat tidurnya ini. Suara wanita itu memang terdengar pelan tapi tetap saja mengusik tidurnya, apalagi dengan goyangan tempat tidur ini.
"Jangan terlalu bersuara, kamu akan membangunkan orang-orang di sini."
Itu yang Juna dengar lagi, kali ini suara bisikan seorang pria yang berbahasa Inggris dan tentu saja dia bicara dengan wanita yang desahannya Juna dengar tadi. Tempat tidur pun diam, tidak ada pergerakan sama sekali. Malam ini terlalu hening. Juna tidak tahu pasti ini sudah jam berapa dan hanya suara pasangan tadi serta suara dengkuran entah dari tempat tidur yang sebelah mana yang dia dengar kini.
Tapi ternyata itu tidak lama. Kini mulai terasa lagi ada goyangan di tempat tidurnya ketika ada yang bergerak di bawahnya, dan ada suara desahan lagi. Ini membuat Juna berdecak kesal tapi dia tidak berdaya. Sebenarnya bisa saja dia turun dari bunk bed ini dan keluar kamar, lalu dia mau apa di luar sana, menggantikan resepsionis yang mungkin saja sedang tidur juga? Huufft ... benar-benar pilihan yang sulit. Apakah ini termasuk azab langsung karena melawan mamanya?
Sialan! Kenapa sih mereka harus bercinta dalam ruangan yang berisi dua belas orang ini? Apa mereka kira semua orang dalam ruangan ini bisa tidur tidak sadarkan diri seperti orang pingsan? Atau mereka pikir tidak ada satu pun orang di dalam ruangan ini yang punya tingkat toleransi kesadarannya setipis tisu seperti Juna ini sehingga tidak bisa mendengar desahan mereka yang sedang bercinta? Atau jangan - jangan mereka lupa ada orang lain yang tidur di bagian atas tempat tidur bertingkat ini? Come on... ini cuma mess murah, bro, sadar diri kek! umpat Juna dalam hati.
'Ckk ...'
Juna berdecak kesal lalu memiringkan tidurnya dengan hentakan, berganti dari posisi terlentang tadi, dia gelisah.
Juna mengambil bantal satu-satunya yang menjadi alas kepalanya, lalu dia tutupkan ke telinga, dia berharap tidak akan mendengar lagi suara tadi walau tempat tidurnya tetap saja bergerak konstan, Kampret nih orang!
Persetan lah bule kurang modal ini bercinta dengan pasangannya dalam dorm berbayar seratus tiga puluh dollar seminggu ini, sumpah dia sangat mengantuk!
Delapan jam sebelumnya...
Juna harus mendengar ocehan mamanya lagi karena dia belum pindah juga dari dorm tempatnya menginap. Memang dasar Juna yang dengan santainya bilang kalau dia belum pindah karena malas mencari tempat yang baru, padahal dari hari pertama dia tiba di dorm, mamanya sudah memintanya untuk segera pindah setelah melihat video tempat Juna menginap. Mamanya langsung shock ketika melihat anaknya tidur di tempat yang menurutnya sangat tidak layak itu. Bayangkan, satu kamar dengan enam tempat tidur bertingkat yang disusun berderet mirip asrama atau mungkin malah lebih mirip tempat pengungsian? Jelas saja pemandangan seperti itu membuat Ana, mama Juna, langsung sakit kepala. Waktu itu Juna sudah berjanji hanya tinggal sehari saja di dorm ini karena dia baru saja tiba sore hari di Melbourne dan dia memakai alasan agak repot kalau harus mencari penginapan lain yang belum tentu ada, padahal kalau dia memang niat, tinggal masuk hotel berbintang semua urusan beres. Dan benar saja janji itu ternyata hanya ucapan Juna untuk menenangkan mamanya saja. Selain memang malas mencari tempat baru, masalah utamanya adalah, dorm ini sudah dibayarkan Juna untuk satu minggu ke depan, masa iya ditinggalkan begitu saja? Fokus Juna masih mencari pekerjaan karena memang tujuannya ke sini ya mau mencoba kehidupan baru di luar negeri dengan cara yang sedikit anti-mainstream menurut keluarganya, menurut keluarganya lho ya. soalnya kalau buat orang lain yang dia lakukan ini dianggap biasa saja, hanya mencari kerja untuk bisa bertahan hidup dan sedikit menabung dari penghasilan sendiri, apa anehnya, itu biasa saja kan?
"Mas Juna pulang aja kalau gitu, ngapain pergi jauh - jauh dari rumah hanya untuk tinggal dengan banyak orang sekamar kayak gitu? Kan mama bilang dari awal, cari aja apartemen, kalau memang susah ... banyak hotel bintang lima yang bagus di sana. Tahu gitu mama ngotot aja nganterin mas Juna ke sana, kalau pergi sendiri jadi kayak gini nih."
Juna mendengar omelan mamanya sambil memegang cangkir Americano-nya. Pandangannya ke arah jalanan memperhatikan lalu lalang orang yang sepertinya hendak ulang karena ini sudah sore.
Sebenarnya dua hari ini dia lebih banyak melakukan aktivitas di luar dorm. selain nongkrong di The Bean, sebuah coffee shop kecil yang menjadi tempatnya sarapan sambil nongkrong asyik sambil melihat lowongan kerja di f*******: lalu mencatatnya, Juna juga mendatangi teman barunya sesama pejuang whv, namanya Rudi Wu, cindo Surabaya dan Anton, orang Purwokerto lulusan Unsoed, biasanya mereka saling berbagi informasi soal pekerjaan, yang dimaksud teman sesama pejuang whv itu adalah pejuang untuk mendapatkan visa whv, working holiday visa. Visa ini diberikan oleh pemerintah Australia untuk pemuda pemudi yang mau mencoba bekerja di Australia, tapi tentu saja ada persyaratan khusus dan untuk mendapatkannya harus berjuang dulu, Juna sangat bangga sudah berjuang dan bisa mendapatkan visa ini, banyak orang - orang bilang memang susah nge-war untuk mendapatkan visa whv ini, selain harus mempersiapkan segala dokumen penting sebagai persyaratan utamanya, dia harus punya internet kecepatan tinggi supaya bisa mendapat visa, ada ribuan orang yang nge-war secara online.
"Iya, nanti aku pindah, Ma, soalnya kamar di dorm itu sudah aku bayar buat satu minggu, kan sayang kalau ditinggalkan begitu aja lumayan masih empat hari lagi," akhirnya Juna jujur juga menyampaikan alasannya.
"Astaga, Mas ... jangan bikin mama darah tinggi deh, memangnya uang Mas Juna kurang? Pakai kartu kredit yang mama kasih, itu limitnya nggak terbatas, kalau Mas Juna mau ngekos di hotel bintang lima juga nggak masalah! Lagian mama juga sudah transfer uang ke rekening Mas Juna lima ratus juta lho, eh bukannya Yangpa juga transfer? Mama yakin itu nggak dikit."
"Iya, banyak."
"Terus masalahnya apa lagi? Duit itu bisa buat nginap di hotel mana aja, nanti Mama tambahin kalo memang habis."
Suara mama Ana pelan tapi terdengar geram.
Juna menipiskan bibirnya, beginilah ibu-ibu, anaknya mau belajar struggle di negeri orang malah mau dikasih segala fasilitas, tidak sesuai konsep mandiri yang dibawanya ke Melbourne ini. Kalau dia bilang semua fasilitas dan uang yang diberikan padanya itu ditinggalkan di Jakarta, kira - kira mamanya akan ngereog nggak ya? Juna memang tidak membawa kartu kredit maupun kartu debitnya yang berisi tabungan sembilan digit itu, tapi dia sudah membuka rekening sendiri di sini, isinya cuma tiga ribu dollar Australia, cukup untuk modalnya selama tinggal di Melbourne, makanya dia harus berhemat dan harus segera mencari kerja untuk bertahan hidup, targetnya sebelum satu minggu dia sudah harus mendapat pekerjaan disini.
"Aku oke - oke aja kok di sini, Ma, seru lagi. Kapan lagi aku bisa nyoba pengalaman hidup kayak begini, kalo di Indonesia nggak akan ada yang percaya kalo hidupku biasa - biasa aja."
Juna mencoba membuat mamanya mengerti tujuannya jauh - jauh dari keluarga, setidaknya jangan ngomel lagi. Dia tahu mamanya tidak pernah bahkan mungkin tidak akan pernah mau mencoba hal - hal seperti ini, termasuk seluruh keluarga besarnya...maksudnya sejauh ini ya, Juna tidak tahu kalau nantinya ada yang mengikuti jejaknya
"Sudah dong Mas, jangan macam - macam bisa nggak sih? Mama kan sudah bilang langsung ambil S2 aja, tapi Mas Juna malah ikut whv - whv itu, ckk ... kalo Yangpa dengar cucunya begini, bisa mati berdiri Mama dimarahi karena ngizinin Mas Juna pergi," sesal mama Ana dan suaranya sedikit melunak.
"Ya, mama jangan bilang dong. Kan kita sudah sepakat waktu ngomong bertiga sama Papa kalo aku boleh mencoba hidup yang aku mau, waktu itu Mama bilang iya."
"Ya, Mama nggak mengira kalo mas Juna harus tidur dalam ruangan sempit isi dua puluh orang gitu, Mas."
"Dua belas, Ma," ralat Juna dengan sabar walau sambil memutar bola matanya, mamanya memang berlebihan.
"Ya, rame deh pokoknya. Nggak bau apa, Mas? Nggak ada yang ngorok atau berisik gitu tidurnya?"
Yang berisik itu Mama, ucap Juna dalam hati.
"Nggak kok ... aman, di sini pada kalem tidurnya, aku aja bener - bener nggak nyangka lho Ma, kirain bakal gimana gitu kalo rame - rame sekamar, so far so good aja kok," jawab Juna dengan nada gembira, tentu saja supaya mamanya ikut gembira mendengarnya.
"Mana ada cowok pada kalem tidurnya. Mama yakin juga baunya pasti pada nggak jelas! Biasanya penginapan rame - rame gitu buat turis budget hemat kan?" tanya mama Ana yang lebih kearah menuduh.
Ya termasuk anak mama ini walau bukan turis tapi sedang berhemat.
"Kamarnya campur kok Ma, ada ceweknya juga, jadi nggak terlalu bau, ada unsur feminin nya juga kok."
Fix, Juna salah ngomong.
"Campur? Masa kamarnya campur sama cewek, Mas? Beneran deh nih Mama jadi males banget ih. Udah ya Mas, langsung pindah deh, stres banget mama jadinya."
Kini malah suara rengekan mamanya yang terdengar, ini yang kadang bikin Juna suka tidak tahan dan biasanya dia akan luluh, cuma kali ini dia mencoba menahan hati.
"Aku janji Ma, nanti hari Senin aku sudah pindah, kan sayang banget aku udah bayar sampe hari Minggu, Ma."
"Ckk, kenapa sih mas Juna susah banget dibilanginnya. Kan sudah Mama bilang pake uang yang mama kasih, pake buat ganti uang nginap seminggu itu, memangnya berapa sih harga nginap di sana, semahal apa sampe Mas Juna ngotot nggak mau pindah gitu?"
"Seratus tiga puluh dollar."
"Dua juta?"
"Satu koma tiga juta."
"Sehari?"
"Nggak, seminggu."
"Astaghfirullah mas Juna, tobaaat...tobat."
Juna sampai menggosok - gosok tangan pada pahanya mendengar suara mamanya mulai meninggi.
"Jangan sampe mama suruh mas Juna pulang ya," ancam mama Ana, dia benar - benar sakit kepala dengan kelakuan anak sulungnya ini, bukan perkara angka satu koma tiga juta saja, masalah seminggunya itu juga. Mama Ana membayangkan anaknya tidur di kamar sewa yang harganya satu koma tiga juta seminggu? Itu gila! Juna bertahan tinggal disana seperti hanya itulah uangnya yang tersisa, benar - benar mama Ana tidak habis pikir. Satu koma tiga seminggu, kalimat itu saja yang berputar di kepalanya, bahkan kalau mereka pergi makan sekeluarga saat weekend bisa lebih dari segitu sekali duduk dan sekarang anaknya tidur di dorm dengan harga satu koma tiga seminggu? Setelah ini mama Ana akan mengajak suaminya ribut dulu, masalahnya suaminya itu lah yang ikut membujuknya untuk mengizinkan anaknya pergi, papanya harus tahu bagaimana hidup anaknya disana!
Ternyata bukan cuma mamanya yang sakit kepala, Juna juga sudah mulai pusing. Memang begini kalau berhadapan dengan mamanya yang dari lahir sudah jadi tuan putrinya keluarga Pratomo. Mana pernah mamanya hidup susah dan mungkin tidak bisa susah juga, ini yang menurun ke Bitha, saudari kembar Juna. Soalnya waktu dia memutuskan mengambil visa whv ini, Bitha sudah menunjukkan wajah alergi, "Mas Juna mau jadi tukang sembelih domba, atau mau jadi buruh petik apel disana? Jauh-jauh amat ke Australia, mending Mas Juna ke Lembang aja tuh, nyobain panen strawberry dulu di kebun mang Adang."
Mang Adang adalah tukang kebun di rumah waktu mereka masih tinggal di Bandung.
Ucapan Bitha sempat membuat Juna kesal juga. Sudah capek - capek nge-war untuk mendapat visa ini, tapi malah ditanggapi seolah dia hanya ingin menjadi buruh kasar di Australia. Memang benar pekerjaan - pekerjaan seperti itu yang menjadi salah satu pilihan, tapi kan ada juga pekerjaan lain seperti cleaning service, penjaga toko, bartender, koki, pokoknya banyak, jadi jangan memandang sepele juga, itu yang membuat Juna kesal.
Dua wanita di keluarganya memang anti dengan keputusannya untuk mencoba kehidupan yang berbeda dengan kehidupan keluarga mereka sehari-hari. Hanya Papanya dan Lea, adiknya paling kecil, yang 'agak' mendukungnya. Kata Papanya, ya silakan dicoba biar kamu jadi laki-laki yang lebih tangguh lagi. Kalo ditanggapi begitu kan enak dengarnya, paling tidak dia diberi kesempatan untuk mencoba yang dia mau. Tanggapan yang paling santai hanya dari Lea, adiknya yang kini sudah SMP, Nanti pulangnya bawain aku cokelat dari sana ya, Mas, nanti aku wa merknya apa.
Pembicaraan soal keberangkatan Juna ke Melbourne ini memang dibahas hanya sebatas keluarga intinya saja. Keluarga besar Mama dan Papanya tahunya Juna mau hunting kampus S2 karena memang Juna baru saja lulus S1 Arsitektur seperti Papanya. Sebenarnya sempat ada pertanyaan keluarga besar, kenapa mas Juna tidak lanjut ke Eropa saja, bukan kah untuk melanjutkan kuliah jurusan itu bagusnya di sana? Tapi alasan klise Juna adalah karena dia tidak mau ke Negara yang terlalu jauh dari keluarga dan alasan itu setidaknya membuat mereka percaya, karena Australia memang tidak terlalu jauh seperti Eropa.
Dan sekarang,
Kejadian tengah malam ini seperti mengejeknya terang - terangan, apa yang dikhawatirkan Mamanya terjadi juga walau mungkin Mamanya tidak pernah berpikir sejauh ini khususnya ada adegan yang seperti tadi, yaitu Juna harus mendengar suara orang esek - esek dan gempa kecil di tempat tidurnya saat tengah malam, benar - benar azab tipis - tipis karena tidak mendengar nasehat mamanya, Hapunten ya, Ma.
Kejadian malam ini juga membuat Juna akhirnya berpikir untuk segera pindah dari kamar sialan ini, biarlah uangnya harus keluar lagi untuk membayar tempat tinggal yang baru, pokoknya dia harus segera pindah besok!