Hujan masih setia membasahi jalanan kota, suara guntur dan petir saling bersahutan di atas sana. Sudah dua jam gadis itu duduk di dengan secangkir kopi di atas meja, matanya masih setia mengawasi bagian luar cafe dari balik dinding kaca.
Lux Drecia, itu nama yang ia sandang. Seorang mahasiswi di Leiden University, jurusan Kedokteran. Lux berumur dua puluh tahun, memiliki rambut hitam sepinggang dan mata beriris emerald yang jernih.
Suara radio menggema, membuat perhatian Lux sedikit teralihkan dari titik-titik hujan yang sejak tadi turun deras. Gadis itu mengalihkan tatapan ke arah kasir, ia tersenyum kala bertemu pandang dengan pekerja yang ada di sana.
"Lux, ku harap kau tidak terganggu dengan suara radio," ujar pria di meja kasir.
Lux memang dikenal sebagai gadis yang mencintai ketenangan, sikapnya yang suka menyendiri membuat orang-orang di sekitar enggan untuk mengusik ketenangannya.
"Tidak masalah. Aku memang memerlukan sedikit hiburan kali ini," ujar Lux dan kembali memfokuskan tatapannya ke arah luar. Lampu jalan sudah menyala, sore yang gelap kini bertambah gelap saat malam mulai menyapa.
Udara terasa semakin dingin, beruntung saja Lux selalu membawa jaket hitam kesayangannya kemana saja ia pergi. Lux memang seperti itu, ia tak akan meninggalkan jaketnya dan selalu memakainya saat bepergian.
Gadis itu mengembuskan napasnya kasar, ia segera bersandar pada kursi dan meraih cangkir kopinya. Sudah dingin, dan ia benci itu. Lux meletakkan cangkir itu kembali, ia mengangkat tangannya sambil berkata, "Pelayan, berikan chocomel."
Chocomel adalah minuman coklat panas yang biasa dinikmati masyarakat Belanda, bukan hanya untuk anak-anak saja, melainkan untuk semua kalangan.
Lux sudah sering memesan minuman itu di cafe langganannya. Semua pelayan di tempat itu juga tentu sangat mengenal Lux dan mengetahui apa saja yang sering gadis itu pesan.
Tak berapa lama, seorang pelayan wanita datang. Ia membawa segalas chocomel dan meletakkan gelas itu di atas meja. "Lux, kau terlalu lama melamun dan kopimu menjadi dingin."
Lux tertawa kecil. "Eren, kau benar. Bahkan kopi itu belum kuminum," sahut Lux. Tangan gadis itu dengan cepat meraih cangkir coklat panas miliknya, ia segera meniup minuman itu dan menikmatinya perlahan.
Eren, wanita berumur sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya agak sedikit gemuk, kulitnya hitam manis, dengan rambut keriting panjang yang selalu diikat dengan rapi. Wanita itu belum menikah, dan Lux hanya bisa menggeleng saat Eren mengatakan alasannya tetap melajang.
"Semoga harimu menyenangkan, Lux." Eren segera pergi dari meja nomor lima, meja yang berada di dekat dinding kaca bagian sudut sebelah kiri.
Selama dua tahun terakhir, Lux memang sudah menjadi pelanggan tetap cafe itu. Ia selalu duduk di meja nomor lima, kadang hanya untuk merenung tetapi juga mengerjakan tugas kuliahnya.
Suasana cafe semakin ramai, dan Lux mencoba untuk tetap tenang di tempat ia duduk. Sejujurnya, ia benci keramaian, kadang kala ia berpikir ingin tinggal seorang diri di kota yang mati atau bahkan tinggal di hutan.
Lux menggelengkan kepalanya, ia memilih mendengarkan radio yang kini memutar lagu kesukaannya, True Color yang dinyanyikan Anna Kendrick dan Justin Timberlake.
Lagu itu bagai pengiring rintik hujan yang masih turun deras di luar sana. Senyum Lux terbit beberapa saat, mengingat tentang kenangan indah saat ia berlibur dengan kakeknya beberapa bulan lalu.
Ia ingat saat kakeknya mengajaknya berdansa dengan lagu kesukaannya. Ia merasa dunia benar-benar indah saat itu, dan ia ingin berlibur sekali lagi dalam waktu dekat.
Lux menghentikan khayalannya, ia memilih memeriksa ponsel yang ada di atas meja. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan itu semua dari kakeknya.
Di saat ia sedang termenung, panggilan dari sang kakek kembali masuk. Lux dengan cepat menjawab panggilan itu dan meraih cangkir coklat di atas meja.
"Lux, kau belum kembali?" tanya sang kakek.
"Kakek, aku terjebak hujan." Lux segera menyeruput coklat hangatnya dan menelan cairan itu cepat.
"Seharusnya kau menghubungi Kakek sejak tadi," ujar pria tua di seberang sana.
Lux tersenyum. "Kakek, aku juga baru saja menyelesaikan beberapa tugas kuliah," sahut Lux dengan suara pelan. Ia meletakkan cangkir itu kembali dan merogoh sakunya guna mengambil dua lembar uang.
"Pulanglah sebelum makan malam," ujar sang kakek.
"Baiklah, sampai jumpa."
Setelah sambungan telepon mati, Lux berdiri. Gadis itu memasang jaket hitam dan menyimpan laptopnya di dalam tas. Ia segera menggendong tas selempang yang berisikan laptop, buku, serta peralatan tulis menulis lainnya.
Lux segera menuju kasir dan memberikan uang untuk membayar minumannya, ia menatap penjaga kasir yang memandangnya dengan tatapan aneh. Lux menaikkan satu alisnya, ia malas bicara sekarang.
"Ingin pulang?" tanya Edward.
"Begitulah," jawab Lux singkat.
"Ini masih hujan," ujar Edward lagi.
Lux mendesah lelah, ia juga tahu jika sekarang hujan sedang deras. Tetapi, telepon dari sang kakek dan perintah pria kesayangannya itu lebih penting dari apa pun.
"Tunggu, aku ambilkan jas hujan untukmu." Edward segera masuk ke bagian bilik cafe.
Lux menunggu Edward keluar, ia menatap beberapa orang gadis yang sedang berada di cafe itu dan berbicara tentang hal-hal konyol yang menurutnya menggelikan.
"Lux," tegur Edward yang baru saja kembali dan memberikan sebuah jas hujan kepadanya. Pria itu tersenyum saat Lux meraih jas hujan itu dan mengamatinya beberapa saat.
"Kau menyukai warna merah?" tanya Lux kemudian.
"Tidak. Aku membeli beberapa barang berguna tanpa memikirkan warnanya," sahut Edward.
"Oh." Lux mengangguk.
"Baiklah. Aku harus segera pulang, akan ku kembalikan besok." Gadis itu segera melangkah pergi.
Lux terpaksa menerobos hujan dengan sepedanya kali ini, ia cukup bersyukur dengan jas hujan pemberian Edward yang melindungi tubuhnya. Udara dingin terasa semakin menusuk, sedangkan angin begitu kencang dan membuat Lux gemetar.
"Seharusnya aku memesan taksi," ujar Lux di sela kayuhan sepedanya malam itu. Jika bukan karena telepon dari sang kakek, Lux lebih memilih untuk tetap diam di dalam cafe hingga hujan reda.
Lux tinggal di Leiden. Salah satu kota terpenting di provinsi Zuid Holland maupun di Belanda secara umum, meski kota ini tidak terlalu besar. Di kota ini ada Universitas Leiden (Universiteit Leiden) yang ternama. Universitas Leiden adalah universitas tertua di negeri Belanda dan sudah didirikan pada tahun 1575. Belanda memiliki sistem pemerintahan Republik dengan Monarki Konstitusional. Monarki Belanda ada sejak Pangeran William of Orange pada abad ke-16.
Belanda memiliki dua ibukota, yaitu Amsterdam (ibu kota resmi yang disahkan sejak abad ke-18) dan Hague (pusat pemerintahan dan ibu kota pertama sejak tahun 1584).
Mengingat sedikit sejarah tempat tinggalnya membuat Lux sangat terhibur, ia merasa bangga berada di negara kecil tetapi juga sangat maju dan termasuk negara yang kaya.
Tanpa terasa, tiga puluh lima menit berlalu begitu saja. Lux bisa melihat jelas rumah sederhana yang ia tempati selama dua puluh tahun ini, gadis itu menghentikan laju sepedanya dan membuka pagar rumahnya secara perlahan.
"Lux, cepatlah masuk."
Lux yang baru selesai memarkirkan sepedanya menatap kebelakang. "Kakek, kenapa harus keluar." Gadis itu segera menutup pagar rumahnya dan berjalan cepat menghampiri sang kakek.
"Kau seharusnya sudah kembali sebelum hujan," ujar pria tua itu. Ia memberikan handuk kering kepada cucunya dan mencubit hidung gadis itu.
"Aaa … Kakek, itu sakit." Lux menggelengkan kepalanya, ia segera meraih handuk yang diberikan sang kakek.
"Cepat masuk, bersihkan tubuhmu dan kenakan baju hangat. Kakek menunggumu di meja makan," ujar pria itu dan berlalu pergi.
Lux tidak menjawab, ia hanya menuruti semua perintah sang kakek. Dengan cepat ia membuka jas hujan dan meletakkannya di atas kursi kayu. Gadis itu kemudian mengeringkan bagian rambutnya sambil melangkah kedalam rumah.