PART 1

2465 Words
Nathan Aditya Imanuel, lelaki dengan wajah datar bak es kutub yang sialnya begitu tampan. Lelaki datar itu sedang melamun saat ini. Nathan tengah memandangi tiga pigura kecil berisi foto kelulusan SMA yang terpajang di atas meja kerjanya dengan manis. Dalam foto pertama, terlihat di sana Nathan dengan setelan jas hitam formal lengkap dengan dasi hitamnya. Ia tersenyum lebar menumpukan dagunya di bahu seorang gadis dengan kebaya pink pastel, tersenyum manis ke arah kamera. Dan jangan lupakan tangan Nathan yang memeluk posesif pinggang ramping gadis itu dari belakang. Nathan yang jarang -bahkan hampir tidak pernah- menunjukkan senyumnya kepada siapapun, terlihat bahagia di dalam foto itu. Nathan melirik pigura selanjutnya, di sana Nathan berdiri tegak dengan wajah datarnya dan tangan yang bersedekap di d**a. Ketiga sahabat karibnya yaitu Aldo, Kevin, dan Bayu merangkul bahunya, mereka tersenyum lebar. Dalam foto selanjutnya Aldo, Kevin, dan Bayu sedang berpose ugly face dan Nathan yang tersenyum ke arah Febi, merangkul bahu gadis yang sedang tertawa lebar ke arah ketiga sohibnya yang sedang bertingkah konyol. "Apakah memang harus ada Febi dalam setiap fotoku agar aku tersenyum?" gumam Nathan datar. Nathan meraih pigura di mana hanya ada dirinya dan ketiga cecunguknya. "Kenapa aku tidak bisa tersenyum di sini?" Ceklek. Nathan menatap pintu ruangannya yang terbuka lebar menampilkan gadisnya yang tersenyum cerah dengan membawa masing-masing satu paperbag di tangan kanan dan kirinya. "Adit!" pekik Febi langsung menghambur ke dalam pelukan Nathan yang sedang duduk di kursi kebesarannya. Nathan menahan gerakan roda di kursinya yang bergerak ke belakang karena pelukan penuh semangat dari gadisnya dengan kaki kanan yang ia pijakkan kuat di lantai. "Bagaimana harimu, Sayang?" tanya Nathan balas memeluk erat pinggang Febi yang kini telah duduk manis di pangkuannya. Ya, gadis yang datang saat ini adalah gadis yang sama dengan gadis pawang senyum yang berada dalam fotonya tadi. "Seruuu, hari ini Caca ulang tahun. Teruuus nanti malem juga Febi diundang makan di cafe lagi, Adit juga boleh ikut. Teruuus tadi Febi ditraktir makan burger di cafe depan kampus," ucap Febi ceria dengan mimik wajah yang menggemaskan. Baru saja Nathan akan menjawab saat Febi kembali menyela. "Febi juga habisin bekal salad buah sayur yang Adit bikinin tadi pagi, air putihnya juga abis. Lihat," ucap Febi menggoyang-goyangkan sebuah kotak makan kecil dan botol minum berwarna hijau muda yang ia keluarkan dari dalam tas ke arah Nathan yang kini tersenyum kecil. Lihat? Nathan tersenyum lagi hanya dengan melihat betapa menggemaskannya gadis itu. Febi tahu Nathan akan marah jika dia makan fast food terlalu sering, apalagi burger dan ayam. Maka dari itu Nathan akan memberikan syarat jika gadisnya benar-benar ingin memakan makanan tidak sehat itu. Maka, ia harus mengimbanginya dengan memakan makanan sehat seperti buah, sayur, s**u, dan air putih. Dan Febi sudah melakukannya. Nathan mengambil kotak makan dan botol minum yang berada di tangan Febi lalu meletakkannya di atas meja. "Pinternya," ucap Nathan mencubit pipi Febi gemas, persis seperti saat menggoda anak kecil. "Udah? Cuma itu? Nggak ada yang gangguin kamu, ‘kan?" tanya Nathan mengusap pipi Febi yang memerah karena cubitannya. "Nggak ada yang gangguin Febi. Tapi, lutut Febi sakit, tadi kesandung," ucap Febi menunjuk lututnya. Mata Nathan segera menatap lutut Febi yang memang terdapat memar biru di sana. Memarnya begitu mencolok karena kaki putih Febi, ditambah lagi dengan gadisnya yang saat ini menggunakan rok pendek. "Kenapa bisa kesandung, hah?" tanya Nathan mengusap pelan memar itu. "Ih, sakit!" pekik Febi memukul bahu Nathan keras. "Ke dokter, ya?" tanya Nathan lembut, mengabaikan pukulan-pukulan gadis itu pada bahunya. Nathan menghelas napasnya pelan begitu melihat Febi yang cemberut dan menggeleng kuat. Nathan meraih ponsel yang ada di mejanya dengan tangan kanan dan membiarkan tangan kirinya tetap dalam posisinya, memeluk pinggang Febi. "Bawa salep untuk memar ke ruanganku, sekarang," ucap Nathan datar. "Dit..." rengek Febi yang tidak suka melihat raut wajah suram Nathan. Cup! Nathan mengecup bibir Febi cepat dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Bisakah sehari saja berhenti membuatku khawatir? Ah, tidak, semenit saja. Kenapa kepalaku isinya kamu semua?" tanya Nathan frustasi membuat Febi terkekeh dalam pelukan Nathan.   ---   Nathan sedang fokus mengetikkan beberapa daftar kerja sama yang akan dia buat di komputernya. Dia masih duduk di kursi kebesaran dalam ruangan bernuansa hitam putih ini dengan tenang. Matanya dengan tajam mengamati setiap nama perusahaan yang berusaha untuk meyakinkannya agar mau menjalin kerja sama. Mata Nathan melirik Febi yang tertidur nyenyak di pangkuannya, menyandarkan kepalanya pada d**a Nathan, ditambah dengan satu tangan Nathan yang memeluk erat pinggangnya. Nathan mengecup kening Febi sekali dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Inilah rutinitas Nathan setiap hari. Berangkat ke kantor setelah memastikan gadisnya sudah berangkat kuliah dengan aman, entah itu bersama Kevin, Bayu ataupun diantar oleh supir. Nathan? Tentu saja Nathan ingin mengantar Febi. Tapi, gadis itu selalu menolaknya. Bahkan, Nathan hafal di luar kepala semua omelan gadis itu setiap dia menawarkan diri untuk mengantarnya kuliah. "Nanti Adit telat. Mentang-mentang jadi bos, jangan seenaknya!" "Adit tuh beloknya ke kanan, Febi ke kiri! Nanti muternya jauh, kasihan mobilnya capek" "Adit sama Febi tuh beda arah! Kayak mukanya Bang Bayu yang jelek sama Adit yang ganteng! Pokoknya beda!" "Beda bentar doang, kok. Entar juga Adit sama Febi jadi satu lagi, ‘kan?" Dan masih banyak lagi. Ocehan-ocehan itu semakin kreatif saja setiap harinya, gadis nakal itu benar-benar... Febi akan menjalani harinya sebagai seorang mahasiswi ilmu komunikasi di universitas dan Nathan akan menjalani harinya sebagai seorang CEO. Begitu Febi sudah pulang dari kampus, maka dia akan langsung datang ke kantor Nathan untuk quality time seperti saat ini. Walaupun pada akhirnya gadis itu akan tertidur karena jadwal tidur siang yang masih terus diterapkan oleh Nathan. Setelah pulang dari kantor Nathan akan mandi dan bersantai sebelum makan malam. Dan setelah makan malam, Nathan akan mengajari Febi mengerjakan tugas kuliahnya. Lalu Nathan akan menemani Febi sampai tertidur. Barulah setelah Febi tertidur, Nathan akan dengan tenang mengerjakan tugas kuliahnya sendiri dan beberapa dokumen perusahaan. Sampai pada tengah malam di mana Nathan akhirnya tidur di samping Febi hingga pagi datang kembali.   ---   Setelah beberapa jam berlalu, Nathan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore lalu menghembuskan napasnya berat, dia terlalu larut dalam pekerjaannya. Nathan beralih menatap Febi yang masih dengan nyaman tidur di pangkuannya. Mengusap lembut surai panjang gadis itu. Nathan tersenyum begitu mengingat bagaimana awal dari obsesinya menjadikan Febi sebagai miliknya. Ah, bukan obsesi, tapi perintah dari hati. Nathan mengingat bagaimana dengan mudahnya Febi merebut hatinya yang seolah tidak tertarik dengan perempuan manapun hingga dia dikira seorang yang tidak normal oleh Bayu. Tidak, Nathan bukannya tidak normal. Tentu saja dia masih suka dengan perempuan, walaupun hanya Febi saja. Ya, hanya Febi. Tidak ada wanita manapun yang bisa menggetarkan hatinya seperti Febi. Nathan mengecup kening Febi lembut dan mengalihkan pandangannya pada dua paper bag di atas meja. Nathan membuka paper bag itu dengan satu tangan dan tersenyum kecil setelah melihat isinya Beberapa dress dan outfit berwarna pastel dengan model yang manis seperti bagaimana tipe-tipe pakaian kesukaan Febi biasanya dan sebuah sepatu berwarna putih. Salah satu kemajuan dari Febi yang disukai Nathan adalah hobi shopping-nya. Dulu Nathan hampir dibuat kesal dengan tingkah hemat Febi yang seolah-olah uang Nathan akan habis dengan hanya membeli sebuah pakaian. Walaupun pada akhirnya tetap saja Nathan tidak akan bisa marah pada gadis itu. Akhir-akhir ini Febi suka berbelanja dress, outfit untuk kuliah atau outfit untuk sekadar hangout bersama Nathan atau apapun itu sejenisnya. Sebuah perkembangan, bukan? Nathan sama sekali tidak keberatan, bahkan Nathan suka. Siapa yang akan membelanjakan uangnya jika bukan gadisnya? Nathan kembali menatap Febi begitu merasakan pergerakan gadis itu dalam pelukannya. "Hei, sudah bangun, hmm," ucap Nathan mengecup pipi Febi dengan lembut. "Nggak dibangunin," rengek Febi dengan suara khas bangun tidurnya sembari memeluk leher Nathan, menyembunyikan wajahnya di leher berbau maskulin itu. "Kamu capek, aku nggak tega banguninnya," ucap Nathan mengusap surai panjang Febi lembut. "Pulang, ya?" tanya Nathan yang diangguki Febi dengan cepat. "Kamu pake rok pendek, aku nggak bisa gendong begini," ucap Nathan melepaskan pelukan Febi pada lehernya. "Febi jalan sendiri aja," ucap Febi turun dari pangkuan Nathan dan berdiri agak sempoyongan. Nathan segera berdiri dan memeluk pinggang Febi, menarik tubuh gadis itu agar mendekat padanya, mencegah gadis itu terjatuh. "Aku gendong aja, ya? Kamu pake jas aku dulu," ucap Nathan yang mendapat gelengan kepala dari Febi. "Nggak mauuu, jalan sendiri aja," tolak Febi. "Babe." "Nggak mau!" ucap Febi mutlak.   ---   Nathan membaringkan Febi yang tertidur dengan lembut di atas ranjang. Ya, Febi kembali ketiduran saat perjalanan pulang tadi. Baru saja Nathan akan menjauhkan dirinya saat Febi mengerjapkan matanya. "Kok udah sampai?" tanya Febi bingung dengan suara serak. Nathan tersenyum dan mengecup pipi Febi gemas. "Aku siapin air hangat, ya? Habis ini kamu mandi," ucap Nathan tanpa menjauhkan tubuhnya yang berada di atas Febi. "Adit ikut Febi makan malam sama teman-teman, ‘kan? Temanin Febi, tapi kalo Adit sibuk juga nggak usah nggak papa, Febi sendiri aja," ucap Febi dengan wajah lucu membuat Nathan gemas. "Aku pasti temanin kamu, Sayang. Gemesin banget, sih," ucap Nathan mengecup bibir Febi bertubi-tubi. Tak lama kemudian, Febi sudah siap dengan atasan off shoulder dan mini skirt hitam miliknya saat Nathan keluar dari kamar mandi hanya dengan jubah mandinya. "Kenapa pake baju yang itu?" tanya Nathan tidak suka, terlalu terbuka untuk malam hari yang dingin seperti saat ini. "Febi suka, lagian ini Adit yang beliin," ucap Febi menatap pantulan dirinya di cermin sambil membetulkan tatanan rambutnya. "Tapi-" "Pokoknya Febi suka," sela Febi sebelum Nathan bicara. Febi membelalakkan matanya begitu tangannya ditarik dan pada detik berikutnya badannya sudah menempel erat pada tubuh Nathan yang hanya berbalutkan jubah mandinya, dan jangan lupakan sebelah tangan Nathan yang memeluk erat pinggangnya. "Kenapa gadis manis ini semakin pintar mendebatku," ucap Nathan mengusap lembut pipi Febi, menatap dalam mata gadis itu. "Dingin," lirih Febi mengernyit tidak nyaman saat tangan dingin Nathan yang memang baru selesai mandi menyentuh pipinya. "It's okay, akan kubuat hangat lagi nanti," ucap Nathan tersenyum miring membuat Febi membeku. "Kenapa diam? Tidak mau mendebatku lagi, Sayang?" tanya Nathan mendekatkan wajahnya hingga hidung keduanya bersentuhan. Febi menahan napasnya begitu merasakan hembusan napas Nathan yang menerpa kulit wajahnya. Nathan tersenyum kecil begitu melihat reaksi takut-takut Febi yang begitu menggemaskan. Lihat, gadisnya tetap begitu polos dan naif. Nathan masih menatap Febi dengan lekat, enggan untuk menjauhkan wajahnya hanya sesenti saja. "Bernapaslah, Sayang. Kamu masih harus hidup dan menikah denganku," ucap Nathan membuat pipi Febi memerah. Nathan menjauhkan wajahnya membuat Febi menghembuskan napasnya lega. Namun pada detik berikutnya Febi dibuat jantungan dengan Nathan yang tiba-tiba menarik tengkuknya dan memagut bibirnya dalam. Setelah puas merasakan manisnya bibir Febi, Nathan akhirnya melepaskan pagutannya. Nathan terkekeh pelan begitu melepaskan ciumannya. Pemandangan di mana Febi segera menarik napas sebanyak-banyaknya setelah Nathan melepaskan ciumannya dengan pipi memerah dan bibir yang membengkak, sangat menggemaskan di mata Nathan. "Pipimu sudah hangat, Sayang?" tanya Nathan dengan seringai di wajah tampannya. Jika Febi menjadi begitu nakal, genit, dan manja, perubahan Nathan mungkin hanya satu, semakin pintar menggoda. Nathan menghentikan mobilnya di parkiran cafe dan mengernyit begitu melihat mobil yang familiar terparkir di depannya mobilnya. "Kevin dan Bayu juga diundang?" tanya Nathan menatap Febi yang mengangguk antusias. "Bang Kevin sama Bang Bayu ‘kan selalu jagain Febi di kampus, jadi Caca juga kenal," jelas Febi membuat Nathan menganggukan kepalanya mengerti. Nathan membantu Febi untuk turun dari mobil dan memeluk pinggangnya erat. "Mau pake jaket? Di mobil ada jaket, Sayang," ucap Nathan merasa khawatir karena bahu terbuka Febi yang terasa dingin saat ia kecup sekilas tadi. "Nggak usah, ayo masuk," ajak Febi tidak sabar. "Udah dateng? Duduk-duduk," ucap Caca tersenyum ke arah Febi saat mereka sudah memasuki cafe. Di tempat duduk sudah ada Caca, Welda, Kevin, dan Bayu. Welda? Welda juga teman Febi selain Caca. Jadi teman Febi ada dua. Nathan menarik Febi untuk duduk di sampingnya, membatasi dirinya sendiri agar tidak duduk di samping Caca. "Ini buat Caca, dari Febi sama Adit," ucap Febi memberikan sebuah paper bag berisi kotak hadiah. "Thanks, ya," ucap Caca tersenyum senang. Dari luarnya saja sudah bisa Caca tebak jika isinya pasti bukan barang murah. "Akhirnya lo nggak kencan sama berkas-berkas kantor melulu. Refresh dikit kenapa sih, sibuk bener," ucap Kevin pada Nathan yang hanya memasang wajah datarnya sedari tadi. "Latihan cari nafkah buat istri," ucap Nathan datar namun disambut surakan heboh Bayu dan Kevin. "Ashiap, Bu Bos siap nggak nih jadi Nyonya Imanuel?" tanya Bayu menggoda Febi yang cemberut. "Nggak usah godain cewek gue," ucap Nathan datar. "Yaudah, yuk, pesen apapun yang kalian mau, ya. Gue yang traktir," ucap Caca tersenyum cerah. "Yang gratis-gratis gue jagonya, siniin menunya," ucap Bayu semangat. "Adit mau makan apa?" tanya Febi membaca buku menu dengan tangan Nathan yang tidak berhenti mengusap bahu terbukanya, mencoba membuat gadisnya tetap hangat dalam ruangan ber-AC ini. "Apa aja," ucap Nathan tidak peduli dengan makanan. "Steak, ya?" tanya Febi tersenyum manis yang diangguki Nathan tanpa berpikir. Drtt ... drtt ... Nathan merogoh sakunya dan menatap ponselnya malas. "Aku mau angkat telepon sebentar, ya?" tanya Nathan menatap Febi lembut. "Siapa?" tanya Febi cemberut. "Rio, Sayang," ucap Nathan menunjukkan layar ponselnya. "Yaudah, nggak papa," ucap Febi tersenyum manis. "Tidak akan lama, aku udah di sini waktu makanannya datang. Jangan pegang pisaunya," ucap Nathan mewanti-wanti. "Siap, Bos," ucap Febi memberi hormat ke arah Nathan yang tersenyum gemas. Nathan mengecup bibir dan pipi kanan Febi sebelum berlalu untuk mencari tempat sepi agar perbincangannya tidak terganggu. "Itu bocah masih aja kagak tahu tempat," ucap Kevin geleng-geleng dengan senyum geli. "Eh, gue ke toilet bentar, ya," ucap Caca yang diangguki oleh yang lain.   ---   Nathan mengantongi kembali ponselnya begitu selesai berbicara dengan Rio. Nathan baru akan kembali ke tempat di mana gadisnya berada saat wanita dengan dress kurang bahan dan membentuk tubuhnya berdiri di depannya, menghalangi jalannya. Caca? batin Nathan mengingat nama wanita di depannya. "Lo beneran cinta sama Febi? Bocah ingusan kayak dia?" tanya Caca tidak percaya. Nathan mengernyit tidak suka saat kalimat hinaan untuk gadisnya keluar dari mulut Caca. "Minggir, " ucap Nathan datar. "Gue bisa ngasih apapun yang lo mau asal lo mau putusin Febi dan pacaran sama gue, Febi nggak ada apa-apanya dibandingin gue. Iya, ‘kan?" tanya Caca tersenyum menggoda Nathan. Nathan hanya menatap Caca datar. "Atau ... gue juga mau jadi pacar kedua lo, gue nggak bakal bilang ke pacar ingusan lo," ucap Caca dengan percaya dirinya. Caca yang merasa godaannya ditanggapi datar oleh Nathan pun merasa canggung. "Udah?" tanya Nathan datar. "Hah?" tanya Caca tidak mengerti. "Febi udah lebih dari cukup buat gue. Dan dia tunangan gue, calon istri gue, bukan pacar gue," ucap Nathan datar. "Nggak usah munafik, gue tahu kalo cowok kaya raya macam lo nggak cukup sama satu cewek aja," ucap Caca membuat Nathan mendengus. "Mungkin iya yang lain, tapi nggak berlaku buat gue," ucap Nathan datar. "Gue tahu apa yang dibutuhin sama cowok, dan Febi ... bocah kayak dia nggak bakalan bisa ngasih itu ke lo," ucap Caca tersenyum penuh arti. Nathan menatap tajam Caca, sudah tiga kali wanita di depannya dengan kurang ajar menghina gadisnya. Nathan mendekat dan menatap Caca tajam. "Gue nggak butuh jalang nggak guna kayak lo." Lalu Nathan berlalu meninggalkan Caca yang memasang wajah kesal setengah mati. "Liat aja nanti, awas ya lo," ucap Caca menggeram.   ---   "Adit lama. Febi laper, nih," rengek Febi membuat Nathan yang tadi mood-nya hancur karena Caca kini kembali membaik. "Sorry, Babe. Ada anjing yang menggangguku tadi, begitu berisik dan menyebalkan," ucap Nathan mengecup lembut pipi Febi yang menggembung kesal membuat Caca yang akan duduk menggeram pelan. Apa katanya? Anjing?! batin Caca kesal. "Ada anjing di sini?" tanya Febi bingung dengan wajah menggemaskannya. "Ada, Sayang," ucap Nathan tersenyum lembut. "Mana?" tanya Febi bingung. "Ini," ucap Nathan menunjuk Caca membuat semua orang terdiam. "Adit! Kok gitu sih ngomongnya!" kesal Febi. "Just kidding, Babe," ucap Nathan mengecup lembut bibir Febi. "Aku potongin, ya? Sudah lapar, hmm?" tanya Nathan lembut. Nathan asik memotong steak dan menyuapi gadis itu. Sedangkan yang lain memakan makanannya dengan canggung. Ya, menurut mereka bercandaan level manusia es macam Nathan sama sekali tidak lucu.   TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD