Aku tersenyum pada layar HP membuat wajah Bang Rivan di layar HPku semakin merah padam seperti kepiting rebus, ia tampak menahan amarah. Disentaknya napas keras lalu berkata dengan wajah jengkel.
"Kamu kan sudah menghabiskan uang Abang," katanya sambil merendahkan suaranya. "Dan kamu juga sudah membeli perhiasan sebagai ganti perhiasanmu yang Abang berikan pada Fani."
Astaga, disaat seperti ini, dia sedang minta belas kasihku bukannya membujuk malah berkata seolah kesannya membela Rifani, itu membuatku semakin jengkel saja padanya.
"Abang," kataku, tersenyum padanya sambil menatap penuh kemenangan.
"Uang suami adalah milik istrinya berarti uang Abang adalah milikku juga. Sementara perhiasanku, itu pemberian dari almarhum ayahku jadi itu sepenuhnya milikku. Bahkan kalung yang dipakai PEREMPUAN PENGGODA itu," Aku sengaja mengeraskan suara saat menyebut perempuan penggoda lalu kembali melanjutkan, "juga adalah milikku karena Abang sudah memberikannya padaku. Abang mengambilnya dariku tanpa ijin dan memberikannya pada selingkuhan Abang, itu artinya Abang mencuri barang milikku."
"Ila kamu jangan keterlaluan! Cepat pulang sekarang!"
"Macet," kubilang. "Jadi aku belum bisa pulang."
"Awas saja kamu sesampainya di rumah nanti! Awas kamu, La!" Bang Rivan mengepalkan tangan ke udara. Sumpah tatapannya yang tampak begitu dendam membuatku takut, tapi aku tak ingin menunjukkan ketakutanku padanya.
"Aku gak takut!" kataku.
Klik! Telepon dimatikan oleh Bang Rivan. Aku mendesah kuat dan mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh di pipi. Walau aku berencana mengajukan gugatan cerai setelah puas memberi perhitungan pada Bang Rivan juga Rifani, tapi tetap saja sikap Bang Rivan sekarang membuatku sedih. Katanya bakal adil kalau sampai ia poligami, tapi apa yang terjadi? Belum-belum, ia sudah tak adil begini lebih condong pada Rifani timbang membela istri sahnya. Padahal, Rifani hanya selingkuhannya sementara aku adalah istri yang sedang mengandung anaknya. Kembali kuusap air mata yang turun di pipi. Aku langsung mendongak saat sebuah tisu diulurkan ke udara.
"Makasih, Pak." Aku menerima tisu dari tangan Pak Adam lalu mengusapkannya pelan ke mata. Saking terbawa perasaan aku sampai lupa saat ini sedang duduk berhadapan dengan Pak Bos. Pak Adam pasti mendengar ucapanku dengan jelas. Ah, aku jadi tidak enak hati sekarang pada Pak Adam. Aku menunduk menatap makananku lalu mencubit daging di sekitar kepala ikan kakap lantas menyuapkannya ke mulut. Sungguh aku canggung. Aku dan Pak Adam sama-sama diam. Hening di antara kami tapi ramai di sekeliling, orang-orang makan dan minum teh sambil bercakap-cakap. Aku menatap Pak Bos dengan perasaan semakin tak enak saja dan kembali makan. Pak Adam, dia makan sambil sesekali menatapku. Saat kami secara tak sengaja beradu tatap, kami langsung sama-sama mengalihkan pandang ke arah lain.
Aku menatap ke luar jendela, hujan turun semakin deras. Kutatap jam di HP, sudah setengah 7. Duuh, benar-benar tidak nyaman. Ingin rasanya segera pulang lalu mandi, setelah itu meringkuk di kamarku.
"Mau pulang sekarang?" tanya Pak Adam. Aku mengangguk tanpa menatapnya.
"Iya, udah kenyang," sahutku. Ia kembali mengangguk, segera membayar, lalu kami menuju pintu keluar. Untuk sampai mobil Pak Adam yang diparkir di halaman rumah makan lumayan jauh, pasti baju bakalan basah kuyup jika nekat dan aku bisa masuk angin karena hujan-hujanan. Pak Adam memperhatikanku, lalu ia melepas kancing kemejanya membuatku langsung melebarkan mata.
"Bapak mau ngapain?" tanyaku, mengalihkan pandang saat menatap ke tubuhnya yang kini hanya mengenakan kaus dalam putih saja, mataku ternoda melihat tubuhnya yang atletis dengan perut sixpack yang membuatnya terlihat maskulin, lelaki banget.
"Seharusnya tadi membawa payung. Payung ada di mobil. Ayo." Masing-masing tangannya memegang bagian lengan bajunya lalu mengangkatnya ke atas kepalanya. Duuuh. Yang benar saja aku ... berjalan di bawah bajunya melangkah berdekatan beriringan menuju mobil? Membayangkan kami akan sedekat itu membuat dadaku berdebar.
"Ayo." Ia menoleh, mengernyit memandangku.
Aku nyengir.
"Atau kamu mau hujan-hujanan lalu sakit? Kamu sedang hamil, kasihan anak dalam kandunganmu kalau kamu sampai sakit."
Benar juga yang dikatakannya. Tapi melangkah berdekatan dengannya ... sumpah rasanya, deg-deg kan banget. Tapi apa boleh buat karena tak ingin masuk angin, akhirnya aku mendekat ke arahnya bernaung bajunya lalu kami melangkah di bawah hujan yang mengguyur deras. Dibukanya pintu mobil, lalu aku pun masuk. Ia menyusul masuk tak lama kemudian, mengelap wajahnya yang basah dengan tisu kemudian memakai bajunya. Baju basah dia pakai, mungkin karena tak enak denganku yang terus menatap ke luar jendela.
Mobil mulai melaju pelan membelah jalanan bersinar lampu jalan yang temaram. Langit begitu pucat. Hujan terus turun mengetuk-ngetuk atap mobil. Aku sesekali menoleh menatap Pak Adam.
"Bapak tidak ingin berhenti ke toko baju untuk membeli baju?" tanyaku. Dia menoleh memandangku lalu menggeleng.
"Setelah mengantarmu pulang saya akan langsung pulang," sahutnya. Aku pun mengangguk.
Hening. Aku sesekali menatap ke luar jendela, lalu menatap ke depan, menatap ke luar jendela lagi, intinya menghindari agar tak menoleh ke arah kanan di mana Pak Adam sedang mengemudi. Sumpah keheningan yang tercipta di antara kami sungguh membuatku tak nyaman. Aku sesekali menghela napas untuk meredam gemuruh d**a. Ah kenapa aku harus terjebak situasi seperti ini dengan Pak Bos?
"La?"
Dia memanggilku. Aku pura-pura tak mendengar. Karena jika menjawab panggilannya, tentu saja harus menoleh dan itu berarti memandangnya.
"Lana." Panggilnya lagi.
"Iya, Pak?" Aku akhirnya menoleh, tanpa sengaja menatap ke arah tubuhnya yang terlihat seksi mengenakan kemeja basah yang mengetat di tubuh, menatap tubuhnya sungguh membuatku merasa malu dan akhirnya aku menatap wajahnya.
"Ada apa, Pak?" tanyaku salah tingkah.
"Karena motor kamu ada di warung, jadi besok saya jemput. Jam 8 pagi sudah siap. Dengar?"
Kuanggukkan kepala. "Iya, Pak, dengar."
Ia menghela napas. Lalu kembali hening di antara kami. Karena tak nyaman terus diam-diaman, aku pun mengajaknya mengobrol.
"Bapak tinggal sama siapa di rumah?"
Dia menoleh dan mengerutkan kening, tapi tak lama kemudian menjawab pertanyaanku. "Mama."
"Oh, begitu." Aku mengangguk-angguk.
"Iya," jawabnya, menoleh memandangku sekilas lalu kembali menatap jalanan yang dipadati kendaraan. Hujan mulai reda hanya menyisakan rinai kecil. Aku menarik napas, heran kok ada, ya, orang seperti Pak Adam? Kalau ditanya itu seharusnya bertanya balik jadi yang nanya tak akan merasa tak enak seperti yang sedang kurasakan.
"Btw apa bapak tidak ingin menikah lagi?"
Ciiiiit. Pak Adam tiba-tiba mengerem mendadak membuat kepalaku terantuk dasboard. Aku memijit-mijit kepala lalu meringis sakit.
"Maaf jika pertanyaanku membuat bapak gak nyaman," kataku menatapnya tak enak hati.
Ia menghela napas. "Saya tidak bisa mempercayai perempuan lagi sejak istri saya mengkhianati saya."
Aku mengangguk. Memang dikhianati rasanya sangat sangat menyakitkan. Tapi menyamaratakan perempuan adalah hal yang salah.
"Gak semua perempuan sama, Pak. Kalau istri bapak mengkhianati bapak, belum tentu perempuan lain akan mengkhianati bapak juga. Aku misalnya, aku selalu berpegang teguh pada janji suci pernikahan, tidak mungkin mengkhianati pasanganku," kataku, mencoba menjelaskan padanya bahwa tak semua perempuan sama.
Ia memandangku dengan sebelah mata terpicing. "Maksud kamu?" tanyanya yang membuatku langsung tergagap. Bisa-bisa, dia berpikir aku berkata seperti tadi karena menaruh hati padanya. Maka aku cepat-cepat berkata agar ia tak salah paham.
"Aku gak ada maksud apa-apa, Pak. Jangan berpikir yang aneh-aneh," ucapku cepat. Lalu aku menyalakan musik di HP dan ikut bersenandung kecil.
"A-ku diam-diam su-ka kaaa--" Aku berhenti bernyanyi saat Pak Adam menoleh ke arahku, astaga apa-apaan aku ini. Bisa-bisa Pak Adam semakin salah paham. Aku pun mematikan musik dan tersenyum canggung padanya.
"He he." Aku tertawa kecil. Dia memandangku tanpa mengatakan apa pun, segera melajukan mobil saat lampu merah berubah hijau.
Hening sepanjang jalan. Saat akhirnya mobil tiba di halaman rumahku, aku bergegas turun. Pak Adam kembali melajukan mobilnya. Aku pun segera menuju rumah yang tertutup rapat. Saat aku mendorong pintunya, ternyata terkunci. Untung aku memiliki kuncinya. Aku segera membukanya lalu melangkah masuk, menghela napas saat melihat lantai kotor tampak belum disapu. Aku ke dapur, piring-piring bekas makan semalam ditumpuk di wastafel. Benar-benar jorok. Seharian sebelum polisi datang ngapain aja sih, si Rifani?
"I-la!"
Aku terlonjak kaget, refleks menoleh ke belakang. Bang Rivan melangkah cepat menuju ke arahku lalu begitu dekat, ia menyambar pergelangan tanganku kuat.
"Ayo ikut Abang ke kantor polisi dan bilang bahwa semua hanya kesalah pahaman!" katanya. Aku menepis tangannya kuat.
"Gak, bang!" sahutku.
"Nanti perhiasanmu Abang kembalikan!" katanya setengah berteriak.
"Tanpa Abang kembaliin pun perhiasanku pasti akan kembali!" Karena polisi akan menyerahkannya padaku nanti begitu aku ke sana.
"Ka-mu!" Tangan Bang Rivan terangkat ke udara dan ia menatapku seperti harimau kelaparan. Aku berkacak pinggang membalas tatapannya dengan berani.
"Mau mukul aku? Pukul aja, Bang! Nanti bakal kulaporkan polisi dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga!" Gertakku. Ia menurunkan tangannya dan menyentak napas keras.
"Ayo, nanti Abang beri kamu uang lagi," ucapnya terlihat terpaksa. Aku menatapnya penuh minat. Uang yang mana lagi nih, uangnya kan sudah kuhabiskan.
Seolah mengerti keraguanku, ia merogoh saku celananya lalu mengeluarkan dompet. Diambilnya ATM lalu mengangkatnya ke udara. Aku menatap Bang Rivan tak percaya. Ia memiliki tabungan lain yang tak kutahu, ternyata.
"Di sini ada uang dua milyar lebih."
Mataku membulat kaget mendengar jumlah nominal yang disebutkannya.
"Abang akan transfer kamu sepuluh juta jika mau membebaskan Rifani dengan bilang semua hanya kesalahpahaman. Bisa saja Abang mengeluarkan Rifani dengan uang, tapi tentu saja jumlahnya lebih sepuluh juta."
"Abang dapat uang sebanyak itu dari mana?" tanyaku begitu penasaran.
"Abang jual satu hektar tanah kita yang dekat jalan raya itu. Mumpung ada proyek pembangunan supermarket di lokasi tanah kita dan dibeli mahal berkali-kali lipat dari harga umumnya makanya abang jual. Ini nanti kita belikan tanah lagi yang lebih murah."
Mataku semakin membulat tak percaya. "Bisa-bisanya Abang jual tanah kita tanpa sepersetujuanku, Bang!"
"Kalau Abang bilang kamu bahwa Abang mau jual tanah, Abang yakin kamu tidak akan setuju. Kata Rifani tidak usah bilang kamu karena kamu tidak mungkin setuju. Tenang saja nanti akan Abang belikan tanah lagi." Ucapnya dengan wajah sungguh-sungguh.
Wow, aku sebagai istri sah dibuat kaget sekaget-kagetnya. Bisa-bisanya Bang Rivan mendiskusikannya dengan Rifani tapi tidak denganku. Nilai uang yang disebutkan Bang Rivan benar-benar menggiurkan jadi aku harus main cantik agar bisa mendapatkan uang itu.
"Bagaimana? Mau tidak?" tanya Bang Rivan tak sabar.
"Abang yakin mau kasih aku uang? Tadi aja Abang begitu marah karena aku habiskan uang hampir seratus juta."
"Rifani yang menyuruh Abang mengambil sisanya padamu. Mau tidak, tapi jangan bilang Rifani kalau Abang transfer kamu 10 juta. Ya?"
Aku ternganga dibuatnya. Oh astaga, tak kusangka Bang Rivan mau melakukan apa saja untuk Rifani dan takut padanya. Aku berpikir dengan cepat dan akhirnya mengangguk.
"Mau. Tapi sebelum itu, Bang, kita ke pengacara untuk memindah aset kita atas namaku. Rumah dan lainnya jadikan atas namaku. Dengan begitu aku akan merasa lega jika Abang menikahi Rifani. Karena uang kita, itu untuk masa depan Umi," kataku.
"Iya, tenang saja, Sayang. Abang kan sudah mengiyakan waktu itu."
"Kalau begitu, kita ke kantor polisinya besok setelah yang kita punya dipindah atas namaku."
Besok rencanaku setelah memindah semua aset atas namaku, aku akan merayu Bang Rivan agar semua uang ditransfer ke rekening pribadiku. Dengan iming-iming aku akan membebaskan Rifani perempuan pujaannya setelah ia mentransfer semua uang ke tabunganku, ia pasti mau. Aku melangkah meninggalkan Bang Rivan dan tersenyum licik. Sebenarnya, aku tidak sungguh-sungguh akan membebaskan Rifani. Aku sengaja berbohong pada Bang Rivan agar segalanya menjadi mudah. Setelah ia mentransfer uang, aku akan datang ke kantor polisi dengan Bang Rivan, mengatakan pada polisi bahwa Bang Rivan menyuruhku mengatakan bahwa semua hanya kesalah pahaman. Sudah dapat kubayangkan akan seperti apa reaksi Bang Rivan juga Rivani besok. Aaah sungguh tak sabar menyaksikan mereka mati kutu besok. Ha ha, aku tertawa dalam hati.