10

1256 Words
Segera setelah mandi, aku keluar rumah berniat menjemput Umi. Tapi saat aku mau melajukan mobil, Bang Rivan melangkah mendekat lalu membuka pintunya, ia duduk di sampingku. Aku menatapnya heran. "Kenapa ikut naik, Bang?" tanyaku karena biasanya memang selalu aku yang menjemput Umi. "Bapak katanya sedang sakit. Abang ingin tengok bapak." "Bapak sakit? Aku baru tau," timpalku. "Iya, katanya asam lambungnya naik. Masa ibu tidak menghubungimu?" tanyanya balik. Aku menggeleng lalu merogoh saku jins, ternyata banyak panggilan tak terjawab dari ibu. "Ternyata ibu nelepon aku tapi gak keangkat," kataku. Aku pun segera melajukan mobil menuju rumah ibu mertuaku. Bang Rivan sesekali memandangku. "Kenapa?" tanyaku heran. "Mengenai uang dari hasil tanah itu, nantinya kamu akan Abang beri 20 juta. Seratus juta untuk nikahan Abang dan Fani, beli tanah dua hektar, sisanya ditabung." Wow. Seratus juga untuk biaya nikahannya dan Fani, katanya? Gila. Sumpah aku tidak rela. Aku pun menyentak napas keras untuk menunjukkan padanya bahwa aku keberatan. "Kalau mau nikah sama dia ya cari uang sendirilah, Bang! Enak aja pakai uang bersama!" kataku protes. Dadaku panas seperti dibakar. "Uang tabungan Abang kan sudah kamu habiskan," ucapnya mengingatkan. Aku kembali menyentak napas. Kataku sambil menatapnya sinis. "Uang Abang kan uangku juga. Tapi uang dari penjualan tanah itu adalah uang bersama. Jadi aku berhak atas uang itu." "Iya kamu berhak. Makanya abang akan berikan kamu dua puluh juta. Sisanya kan untuk beli tanah lagi dan untuk tabungan juga." Itu namanya licik kalau dia kebagian seratus juta sementara aku hanya dua puluh juta. Dan aku gak menjamin bahwa uang yang ada di tangannya akan benar-benar dibelikan tanah, takutnya nanti malah diberikan pada Rifani setelah menikahinya. Dia itu kan seperti kerbau d***u di hadapan Rifani. Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi, enak saja. Dalam hati aku berjanji akan mendapatkan uang dua milyar di tangannya bagaimana pun caranya. Saat melihat kami turun dari mobil, Umi langsung berlari mendekat. Aku pun merentangkan tangan lalu memeluknya. "Anak bunda tidak nakal, kan?" tanyaku sambil mengusap rambutnya yang diurai penuh sayang. Entah kenapa melihatnya yang begitu ceria melihatku datang bersama ayahnya, aku tiba-tiba jadi tak tega mau berpisah dengan ayahnya, tapi aku juga tak mau terus disakiti. Kelakuan Bang Rivan semakin membuatku muak saja. Maafkan bunda, Sayang. Bunda tidak bisa bertahan dengan ayahmu yang seperti binatang, berzina tanpa takut dosa tanpa memikirkan istrinya. Juga lebih condong ke selingkuhannya yang statusnya hanya orang asing. Daripada makan hati jika terus bertahan, lebih baik mengakhiri. Karena lelaki tidak hanya satu. Akan kubuktikan bahwa aku bisa move on. "A-yaaah." Umi ganti memeluk kaki Bang Rivan. Bang Rivan sedikit membungkuk lalu mencium pipinya. Setelah itu kami melangkah beriringan menuju rumah. Berjalan berdekatan seperti ini membuat kami jadi seperti pasangan harmonis, padahal yang terjadi sejak adanya Rifani, kami terus bersitegang. "Assalamualaikum," ucap Bang Rivan, terdengar sahutan waalaikum salam dari dalam. Aku dan Bang Rivan menuju ruang tamu di mana bapak duduk bersandar pada tumpukan bantal, tatapannya tertuju pada televisi. Aku pun mendekat lalu mencium tangannya seperti yang dilakukan oleh Bang Rivan. "Bapak jangan capek-capek," kata Bang Rivan menatap bapak dengan wajah khawatir, ia lalu duduk beralas ambal dekat bapak. "Bapak hanya kelelahan," sahut bapak. "Pasti bapak kebanyakan mikir, dan makannya pasti tidak dijaga," ucap Bang Rivan tak percaya pada ucapan Bapak. Aku menuju dapur untuk menemui ibu. Ibu tengah memasukkan sayur ke mangkuk, kulihat di meja piring-piring ditumpuk ke atas, juga ada piring berisi lele goreng dan sambal. Ada lalapan timun, kemangi dan kol di piring lainnya. Ibu menoleh memandangku dan tersenyum kecil. "Sana dibawa ke depan, kita makan bareng-bareng," ucapnya. Aku mengangguk. "Bapak makan apa kok asam lambungnya bisa kambuh, Bu?" tanyaku sambil mengangkat mangkuk berisi tumis kangkung yang tampak hijau menggiurkan dengan irisan rawit merah. "Biasa banyak pikiran. Itu lho, Nduk, tanah yang dekat jalan raya itu ditawar orang terus-menerus untuk pembangunan mall, katanya. Nawarnya 2 M, bapakmu ya bingung. Ingin dijual tapi tanah itu kenang-kenangan dari almarhum ayahnya bapakmu, tidak dijual lha kok, sayang." "Tanah yang dekat punya kami?" tanyaku. Ibu mengangguk. Jadi, aku dan Bang Rivan membeli tanah dekat milik bapak karena waktu itu ada yang butuh uang mendadak, istri atau siapanya begitu kecelakaan dan butuh dana cepat. Akhirnya aku dan Bang Rivan membeli tanah itu. "Ya sudah dilepas saja, Bu. Kan bisa dibelikan tanah lagi yang jauh lebih murah dan dapatnya jadi banyak juga." "Iya, Nduk, kami sudah omong-omongan. Kalian sendiri bagaimana? Apa tanah dekat jalan raya itu akan dilepas?" tanyanya. "Iya, mungkin, Bu," sahutku seolah tak tahu kelakuan Bang Rivan yang menjual tanah itu tanpa sepengetahuanku. Ingin aku menuntutnya, memperkarakan ke ranah hukum tapi kasihan pada ibu dan Bapak kalau sampai Bang Rivan dipenjara. Aku sangat menyayangi ibu dan Bapak yang begitu baik memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Selain itu, aku juga kasihan pada Umi. Bisa-bisa, ia diejek teman-temannya kalau sampai ayahnya di penjara. Jadi daripada membawa ke ranah hukum, lebih baik kuambil uang yang ada pada Bang Rivan dengan caraku sendiri. Yang penting, Umi tidak malu pada teman-temannya kalau sampai ayahnya masuk bui. Aku membawa sayur ke ruang tamu, lalu kembali lagi untuk mengambil piring berisi lele goreng juga lalapan. Tak lupa juga wadah besar berisi air untuk cuci tangan. Ibu membawa toples berisi kerupuk singkong lalu kami makan bersama. "Van, tanah yang dekat jalan raya itu apa mau kamu lepas?" tanya bapak di sela makannya. Bang Rivan mengangkat wajahnya. "Iya, Pak, rencananya akan kami lepas lalu dibelikan beberapa hektar kebun di kampung bapak, jadi tolong bapak yang uruskan semuanya. Nanti, uang dari penjualan tanah akan kami berikan pada bapak," jawabku yang membuat Bang Rivan langsung tersedak-sedak. Aku tersenyum penuh kemenangan menatap Bang Rivan. Sengaja aku bilang begini untuk menyiksanya. Aku akan berusaha mendapatkan uang itu bagaimanapun caranya, lalu membelikan tanah atas namaku sendiri. Setelah itu rencanaku, aku akan meminta tanda tangan Bang Rivan yang menerangkan bahwa semua harta akan diberikan pada Umi setelah Umi berusia 18 tahun, tapi tentu saja bang Rivan tak boleh tahu bahwa yang ditandatanganinya adalah peralihan semua harta ke anak jika dia menikah lagi. "Iya, Pak, rencananya memang akan kami jual," kata Bang Rivan sambil melirikku. Aku bersikap masa bodoh. Keesokan harinya, aku mengirim pesan pada Pak Adam bahwa aku tak bisa membantunya di warung makan. Aku dan Bang Rivan berangkat menemui notaris. Tanpa curiga rencanaku, Bang Rivan menandatangani semua harta sekarang jadi atas namaku. Beres dan semudah itu ternyata. Langkah selanjutnya adalah, meminta tanda tangan Bang Rivan di atas matrei yang menerangkan jika dia menikah lagi baik resmi atau siri, maka semua harta akan diberikan pada Umi setelah anak kami berusia 18 tahun, sebelum itu semua harta menjadi tanggung jawabku dan hak asuh Umi jatuh ke tanganku. "Sekarang yang kamu inginkan sudah Abang kabulkan. Kamu harus tepati janjimu membebaskan Rifani." "Tentu saja. Tapi transfer dulu sepuluh juta yang Abang janjikan." Aku tersenyum senang. Lalu mengeluarkan kertas yang sudah kusiapkan saat mobil berhenti di halaman kantor polisi. "Iya." "Bang," kataku. Ia melepas sabuk pengaman dan memandangku. "Ini, jadi, besok aku, sama bosku, sama Rini mau ada acara di Bandung dan harus menginap selama dua hari, Bang. Katanya bosku, harus minta tanda tangan Abang dengan begitu artinya aku sudah mendapat ijin suami. Kalau gak ada tanda tangan Abang, aku gak bisa pergi karena bos aku pasti akan ngira aku gak diijinin," kataku, menyodorkan kertas dengan d**a berdebar. Aku takut dia membacanya lalu rencanaku gagal. "Ayo bang cepat ditandatangani," kataku saat ia menerimanya. Dadaku semakin berdebar dan jantungku berdetak kencang sekali. Aku tahu ini curang namanya, tapi terserahlah, toh uang kami akan jatuh pada Umi buah hati kami bukan pada orang asing. Deg deg deg. Detak jantungku semakin keras saja dan aku begitu gugup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD