“Kamu telepon dia … bilang maaf. Mungkin ada sikap kamu yang tidak dia sukai.”
“Sikap yang bagaimana? Aku tidak menakutkan. Semua baik-baik saja ketika kita berkumpul di ruangan menunggu pesawat Farid tiba. Sikapnya juga sangat menenangkan. Tapi dia berubah saat pulang,”
“Menurutku waktu itu dia hanya ingin menjaga perasaan anak dan menantunya saja. Agar mereka berangkat dengan perasaan tenang. Ola itu pandai, Yar. Dia tidak ingin perasaan anak-anaknya terluka atau sedih. Aku tau dia. Mungkin ketika pulang, dia tidak ingin diganggu siapapun.”
Percakapan yang sedikit mengganggu pikiran Hanin. Tiba-tiba dia teringat sosok Akhyar yang menurutnya agak aneh. Mengaku memiliki anak dan cucu kandung, tapi tidak pernah menikah. Ada rumor pula yang mengatakan bahwa dia pecinta gadis-gadis muda. Dan Akhyar tidak pernah menyinggung rumor tentang dirinya tersebut. Karena Hanin juga tidak ingin bertanya. Hanin menganggap itu adalah privasi Akhyar yang tidak baik dipertanyakan. Semua orang berhak memilih jalan hidupnya masing-masing.
Tapi kali ini, Akhyar sudah mulai berani menembus lingkaran hidupnya. Akhyar ingin memiliki hubungan khusus dengan besannya. Hanin menganggap sudah waktunya dia mengenal mantan sugar daddy itu lebih dalam. Bagaimana dia mendekatkan seseorang dengan besannya, sementara dia tidak mengenal sosok orang itu secara dekat. Bagi Hanin, permasalahan Ola juga berarti permasalahan dirinya. Apalagi Akhyar sudah terang-terangan menginginkan bantuannya untu mendekatkan dirinya dengan Ola.
“Anggiat. Bisa kamu datang ke rumah Guntur. Ada yang ingin aku bicarakan. Tentang Akhyar.…”
***
Anggiat sebenarnya sudah agak bosan menangani persoalan yang berhubungan dengan percintaan atau permasalahan keluarga-keluarga kaya raya yang menjadi kliennya. Dalam beberapa tahun terakhir, dia selalu dilibatkan dalam masalah peliknya urusan percintaan atau masalah keluarga kalangan atas tersebut. Terutama yang berhubungan dengan keluarga Hanin. Dari persoalan Guntur, mantan tunangannnya, pernikahannya, persoalan anaknya, pernikahan anaknya lagi.
Terkadang ada saat-saat dia merindukan menangani kasus-kasus menantang, seperti kasus anaknya yang terlibat pemerkosaan di negeri kangguru, atau kasus kekerasan yang menimpa beberapa tenaga kerja indonesia di beberapa negara lain. Tapi sepertinya akhir-akhir ini dia memang tidak bisa terpisah dari masalah yang berhubungan dengan keluarga Hanin. Yang agak membuat bahunya bergidik, nama Akhyar disinggung kali ini oleh Hanin.
“Akhyar itu sebenarnya sangat tertutup. Dia sebelumnya sama sekali tidak pernah melibatkan urusan kehidupan pribadinya ke persidangan atau pengadilan manapun lewat saya. Saya hanya dilibatkan dalam urusan perusahaannya saja. Sejak dia percayakan saya mengurus pengangkatan seorang perempuan yang bernama Sabine Mahfouz sebagai anaknya, barulah dia lebih terbuka.”
Hanin menghela napasnya. Kata-kata pembuka Anggiat tidak mengenakkan baginya. Ada kesan Anggiat tidak ingin berterus terang dengan jelas tentang siapa Akhyar yang sebenarnya. Anggiat sepertinya tidak ingin menjelaskan lebih jauh tentang Akhyar. Wajarlah, ini demi menjaga rahasia privasi kliennya juga.
Cukup lama suasana hening antara Hanin dan Anggiat.
Anggiat tampak gelisah melihat gelagat Hanin yang tidak seperti biasanya. Dia merasa ada yang aneh dengan kliennya satu ini.
“Maaf, Bu. Akhyar itu seleranya yang muda-muda dan kinyis-kinyis. Seperti Nayra, atau Ayu. Bukan … hm ... maaf, Bu. Maaf sekali,” ujar Anggiat pelan dan hati-hati.
Hanin terkesiap mendengar dugaan Anggiat. Dia baru saja menyadari bahwa dia belum menjelaskan alasan mengapa dia ingin mengenal kehidupan kepribadian Akhyar lebih dalam lewat Anggiat.
Dia tersenyum menggeleng. Mengingat kejadian yang sama sebelumnya bahwa besannya mengira dirinya menyukai Akhyar atau sebaliknya.
“Anggiat. Akhyar menyukai besanku. Ola,” jelas Hanin dengan suara pelan. Namun ada ketegasan di balik nada pelan suaranya.
Anggiat terperangah tidak percaya. Selama ini, dia mengenal Akhyar adalah sosok pengagum gadis-gadis muda. Menyayangi mereka tanpa batas, memberi mereka kasih sayang, memberi kenyamanan serta ketenangan. Akhyar yang selalu memastikan bayi-bayinya tenang di sisinya.
“Maksud Ibu?” tanya Anggiat. Dia putar tubuh besarnya menghadap ke Bu Hanin. Dia mulai tertarik dan serius.
“Akhyar itu suka sama Ola, Anggiat. Hampir beberapa kali dia curhat ke aku sejak dia bertemu dan berkenalan dengan Ola di rumah ini.”
Mata Anggiat mengerjap tidak percaya.
“Hm … nggak percaya kamu?” sergah Bu Hanin.
“Ya. Mana percaya saya, Bu. Jelas-jelas Akhyar itu seleranya begitu ... hm ... Febyola?”
Anggiat menggelengkan kepalanya membayangkan sosok ibunya Nayra itu. Sederhana, wajah yang tidak terlalu cantik, berkulit gelap tapi bersih, sama sekali tidak glamour. Lalu bayang-bayang sosok Akhyar yang gagah terbayang di benaknya. Berbanding terbalik dengan Bu Ola, Akhyar sangatlah glamour, barang-barang yang melekat di tubuhnya serba mahal. Meski Akhyar mengaku tidak lagi ‘memelihara’ gadis-gadis, tapi sifat-sifat Akhyar yang menyayangi gadis-gadis muda masih sesekali tampak. Kehidupan Akhyar pun tidak pernah bersentuhan dengan orang-orang kelas bawah, selalu kelas atas dan setinggi-tingginya. Apalagi Ola? Hanya seorang buruh cuci yang hanya hidup di sebuah rumah yang disewanya.
“Jangan begitu, Ang. Aku saja sebagai besannya sangat nyaman kalo dekat-dekat dia. Semua pegawaiku juga ngerasa begitu. Kalo Ola datang ke rumah ini, orang-orang di rumah ini semua senyum-senyum senang. Beda kalo aku yang datang.”
Anggiat menarik napasnya dalam-dalam. Dia mengingat momen ke rumah Ola di suatu sore sebelum acara lamaran Guntur kepada Nayra. Ola sangat ramah dan sopan terhadapnya, juga terhadap teman-temannya.
Kali ini Anggiat menganggukkan kepalanya. Mungkin ada ‘sesuatu’ yang dilihat oleh Akhyar dari sosok Ola.
“Jadi. Akhyar menyukai Febyola?” tanyanya memastikan.
Hanin mengangkat alisnya sekaligus mencebikkan bibirnya. Baru kali ini Anggiat tidak mempercayainya.
“Sudah aku bilang. Akhyar beberapa kali menghubungi aku, meminta aku mendekatkan dia dengan Ola. Dan aku sudah sampaikan ke Ola. Tapi Ola menolak.”
Anggiat menghela napas panjang.
“Menolak?” gumam Anggiat. Raut wajahnya masih menunjukkan ketidakpercayaan.
“Iya. Ola menolak lebih dekat atau sekadar ngobrol dengan Akhyar,” tegas Hanin. “Pagi tadi Akhyar baru saja mengeluh sikap Ola kemarin di bandara. Akhyar ikut mengantar Farid ke Bandara. Mereka bertemu lagi di sana. Tapi Akhyar kecewa karena Ola menolak diantar Akhyar pulang,”
Anggiat meraih gelas berisi jus stroberi dingin yang disuguhkan Hanin sebelumnya.
“Hm … menurut Ibu apa yang membuat Ola menolak ?” tanya Anggiat setelah menikmati jus favoritnya.
“Hm, kita-kita taulah Akhyar itu gimana. Ola juga tau. Sayang yang muda-muda, glamour, ramah dengan orang-orang. Menurutku, Akhyar bukan tipe Ola. Apalagi Ola itu memang udah kayak aku, Ang. Nggak berpikir untuk cari pasangan lagi.”
Anggiat mendengus tersenyum.
“Terus untuk apa Ibu ingin aku menceritakan Akhyar yang sebenarnya? Sudah tau Ola tidak akan mau berdekatan dengan Akhyar.”
Hanin menarik napas dalam-dalam.
“Aku ingin mereka bersatu dalam cinta. Aku sangat merasakan sejak Nayra hadir di tengah-tengah keluargaku, ada sesuatu yang selama ini tidak aku rasakan selama aku hidup. Dan itu yang membuat aku semangat menjalani hidup. Hal yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Hal yang hanya bisa aku rasakan.”
Anggiat menelan ludahnya mendengar ucapan Hanin kali ini. Wanita tujuh puluh tahun lebih itu memang melalui hidup yang sangat sulit sebelumnya. Wanita tangguh dan pekerja keras. Dengan tangan dinginnya mampu memiliki beberapa perusahaan di berbagai bidang, dari tanah, properti, hingga perkebunan. Anggiat mengakui, sejak anaknya menikah dengan seorang gadis yang bernama Nayra, kepribadian Hanin sangat berubah.
“Yah. Kalo saya ceritakan tentang Akhyar yang sebenarnya. Saya pikir malah akan menjauhkan Ola dan Akhyar.”
Hanin tersenyum tipis.
“Setidaknya, ada yang aku laporkan ke Ola mengenai Akhyar. Biar Ola bisa menentukan sikapnya selanjutnya terhadap Akhyar. Aku ingin Ola bahagia. Aku tidak tega membayangkan hidupnya ke depan. Nayra sudah nyaman di sini, Farid yang pasti akan sibuk, dan istrinya juga akan sibuk. Kehidupan anak-anak dan cucu-cucunya pasti berubah. Sementara dia sendirian tidak ingin mengubah hidupnya.”
Hanin memperbaiki selendang sutra halus yang melingkar di lehernya. Dia tahu betul sikap teguh besannya itu.
Anggiat melirik Hanin kagum.
“Aku ingin tidak ada yang Akhyar tutup-tutupi tentang dirinya.”
Bersambung