Ketemu

1839 Words
Tidak lama kemudian, para mahasiswa berlari bahkan saling tabrak menuju lapangan. Mereka saling berebut jalan sambil tergesa-gesa. Saling mendahului satu sama lain. “Ada apa?” Tanyaku kepada salah seorang yang ku kenal. Menarik lengan orang itu. “Itu!” Wajahnya kelimpungan, tangannya menunjuk-nunjuk arah lapangan. “Itu apa Ugun!” Geramku, pria gimbal ini memang sedikit aneh, yaitu lambat jika ingin berbicara. Entah ngidam apa ibunya dulu. “Itu, itu!” Ulangnya sambil memukul-mukul bibirnya yang tak kunjung berucap. Puk! Aku memukul lengan pria berambut gimbal tadi. Seseorang memang biasa melakukan hal itu jika ingin ngobrol lancar dengannya. Dan benar saja, Ugun langsung bisa bicara setelah aku memukulnya. “Itu! Rektor kita berubah jadi tampan dan keren!” Jawab Ugun akhirnya kemudian dengan cepat ikut berlari bersama ratusan mahasiswa yang masih berlari menuju lapangan. “Hah?” Aku menatap kepergian Ugun aneh. “Berubah tampan dan keren? Aneh-aneh saja! Huh. Kukira ada apa.” Ujarku tak menghiraukan. Aku berjalan santai menuju lapangan. Tubuhku memang sedang di kampus namun ku rasa pikiranku masih di dalam Apartemen Vian. Memikirkan Vian dan Gina yang baru saja bangun. Cih! Mereka keluar tanpa tahu malunya. Aku kembali geram mengingat hal itu. Seiring kaki menapak menuju lapangan, seiring itu juga suara riuhan mahasiswa memenuhi pendengaranku. Suara teriakan dan kaguman mahasiswa mengiringi langkah kakiku. Aku tidak bisa melihat apa yang mereka bicarakan, di depannya begitu padat. Seluruh mahasiswa dan dosen berkumpul di lapangan besar kampus. Semuanya langsung rapi ketika seseorang merapihkan barisan. Hening seketika. “Selamat siang semuanya.” Rak Randy membuka pembicaraan, di tengah-tengah kami. “Siang Pak!” Jawab semuanya serentak. Aku masih mendengarkan, tak jauh dari posisinya Ugun dan temannya terlihat menoleh kesana kemari. “Pada kesempatan kali ini, kami ingin memperkenalkan Rektor kampus kita yang sesungguhnya.” Semua mahasiswa kembali riuh, para wanita bahkan menjerit-jerit. Rektor sesungguhnya? Keningku langsung berkerut. “Ada apa ini sebenarnya?” “Kepada yang terhormat, Bapak Rangga Prasetya. Tempat dan waktunya kami persilahkan.” “Huhhhhhhh!” Semua bertepuk tangan ramai. “Pak Rangga?” Ucapku menggantung. Baru saja aku terkejut dengan sikap dingin Pak Rangga tadi. Pria itu kini mengejutkanku lagi dengan membuka identitasnya. Pria itu berjalan dengan gagah dan berwibawa ke depan. Sedang seorang pria lain membuntutinya dari belakang. Aku menatap Rangga sendu. Tubuh itu! Tubuh itu yang biasa datang dan menjadi penyelamatku. Tapi tubuh itu tadi berbalik tanpa sedikitpun menolehku. Dia seorang Rektor? Bukankah dia hanyalah seorang dosen biasa? Batinku semakin bertanya-tanya. Dunia Rangga yang bersimpang di kehidupanku seperti teka-teki yang harus ku pecahkan sendiri. Mahasiswi semakin dibuat histeris. Mereka semakin menggilai dosen tampan itu, di tambah dengan kekuasaannya yang dia punya saat ini membuat para mahasiswi semakin tergila-gila. Sepatunya yang mengkilat mengiringi langkah kakinya yang lebar. Seperti adegan slowmo, pria itu berjalan gagah dengan fashion sempurna. Tidak ada yang berubah, dia memang selalu tampil sempurna. Hanya satu saja yang berubah saat ini yaitu ketampanannya. Ketampanannya kini bertambah berkali kali lipat. Deg! Pandangan kami bertemu, aku menatap Rangga tak percaya. Namun di detik selanjutnya, Rangga memutus kontak mata kami, memalingkan wajah dan menatap mahasiswa lain dengan wajah dingin seperti biasanya. “Selamat siang semuanya.” Suara dingin Rangga yang khas sukses membuat semua mahasiswi dan para dosen bungkam. Hanya diam mendengarkan apa yang dia ucapkan. “Perkenalkan nama saya Rangga Prasetya, Rektor Universitas XXX." Aku masih mendengarkan, begitu juga dengan yang lainnya. “Sebagian besar mungkin sudah mengenal saya. Ya, dosen pemampu management. Kabar perihal rektor kali ini memang benar adanya, saya sengaja melakukan penyamaran hanya untuk mengusut kasus seks di universitas kita yang kian memburuk.” Ucap Rangga tegas dengan wajah datarnya. Semua menelan ludah, memang benar. Kasus itu seperti hal lumrah bagi mereka walau di lingkungan kampus sekalipun. Tatapan Rangga semakin tajam, kian menghardik para dosen dan mahasiswa satu persatu. “Dan saya telah menemukan dalang itu dan menghukumnya. Mencabut gelarnya secara tidak hormat! Saya juga tidak akan mentolelir mahasiswa yang bersikap demikian.” Semakin hening. “Pertemuan ini merupakan salah satu bentuk sapaanku pada kalian semua. Dan ingat satu hal! Akan ada banyak yang memerhatikan kalian selama proses belajar mengajar berlangsung. Belajar dan kejarlah cita-cita kalian.Terima kasih.” Tutur Rangga tegas mengakhiri ucapannya. Semua masih terdiam, menatap kepergian Rangga dengan bungkam. Aku menatap kepergiannya dengan nanar, sepertinya kasus ini sangat menyiksa pria berusia 35 Tahun itu sampai harus melakukan penyamaran. Aku semakin di buat merasa bersalah. Semua orang bubar, aku berlari mengejar Rangga. Entah keinginan macam apa ini, yang jelas aku ingin bertemu Rangga saat ini, meminta maaf sekaligus berterima kasih atas semua yang telah dia lakukan. “Bapak! Bapak!” Aku terus berlari mengejar Rangga yang hendak masuk ke mobilnya. “Bapak kumohon berhenti.” Sedikit berteriak tatkala Rangga tak mendengarku dan malah masuk kedalam mobil. “Tuan....” Dari balik kaca spion, Rey sedikit iba melihat nona Nadia berlari seperti itu. “Jalan Rey!” Ujar Rangga tegas. “Tapi tuan,” Rangga berdecih, sepertinya dia sangat tidak ingin bertemu denganku dan aku mengerti hal itu. Namun Rangga mengabaikan kehadiranku yang sudah berdiri di samping mobil. Menatapnya lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. Aku hanya diam, menatap Rangga yang tak kunjung menoleh padaku. “Katakan!” Ujar Rangga dingin. Tidak sedikitpun menoleh. Matanya hanya fokus ke depan. namun jauh di dalam hatinya terenyuh, tangannya mengepal kuat. “Ak-aku hanya ingin meminta maaf sekaligus berterima kasih padamu, Pak.” Tuturku lirih. Aku sangat malu, pria baik yang selalu menjadi malaikatku itu kini tak hanya peduli dia bahkan tidak mantapnya walau sekilas. “Ada lagi?” Ujar Rangga lagi-lagi dengan dingin. Aku semakin menatapnya sendu. Apa Rangga marah karena ucapanku tempo hari? Ingin sekali aku menangis dan membalas cinta Rangga. Namun aku tak kuasa. Fakta tadi bahkan semakin membanting kesadaranku bahwa aku tidaklah pantas untuk Rangga. Rangga bagai langit yang tidak akan pernah bisa aku gapai walau segenggam. “Kuharap kau memaafkan semua ucapanku.” Tuturku akhirnya. Aku menerima semua jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Masih diam, pria itu tak menjawab apapun walau hanya ya atau tidak. “Jalah Rey!” Hah? Aku semakin di buat terkejut. Rangga benar-benar sudah berubah. Sikap Rangga kali ini membuatku sedih, mataku sudah berkaca-kaca. Apa yang diucapkan orang lain memang benar, pria ini sangat dingin bahkan lebih dingin dari bongkahan es di kutub utara. Pria yang di panggil Rey memacu kendaraannya dengan cepat sesuai perintah, sesekali Rey melirik kaca spion melihat perubahan wajah tuannya walau hanya sedikit. Namun tidak ada, Rangga hanya diam tanpa ekspresi. Aku menatap kepergian Rangga dengan sendu, apa dia telah melakukan kesalahan? Tapi aku hanya menjalankan peranku dengan baik, Rangga. Peran seorang istri yang tidak anggap. Hiks.... *** Di dalam mobil. “Tuan.” "Apa kau sudah bosan hidup Rey! " "Tapi tuan ada yang ing-." “Mengendara saja dengan benar Rey!” Ujar Rangga dingin. Dia tidak ingin membahas apapun saat ini. Rey kembali diam, menahan hal besar di benaknya membuat dia gusar tapi perintah Rangga jauh membuatnya takut. “Bagaimana dengan wanita yang ku maksud?” Tutur Rangga tiba-tiba. Melihat Nadia tadi semakin membuat hatinya sakit. Penolakan gadis itu terus memutar di kepalanya. Tak lama ingatan gadis kecil yang cengeng muncul di kepalanya membuat Rangga ingat perintahnya pada Rey untuk menemukan dia. Lagi pula, bukankah sakit karena wanita akan sembuh oleh wanita lagi? Begitu tutur Dave. Pertanyaan tuannya membuat Rey tersenyum tipis. “Aku sudah menemukannya tuan!” Jawab Rey semangat. “Aku tidak ingin ini Nadia yang salah lagi.” Ini adalah jawaban ketiga yang ia dengar dari mulut Rey, namun nyatanya selalu salah. “Tidak tuan, aku bahkan menemukan kalungmu.” Tutur Rey mantap. “Benarkah?” Memajukan badan mendekati Rey. “Ya tuan.” Jawab Rey percaya diri, kemudian mengeluarkan kalung yang selama ini ia cari dan sukses membuat Rangga membulat dan menyambarnya. “Kenapa kau setenang ini bodoh! Aku mencarinya bertahun-tahun dan kau hanya berdiam diri karena aku tidak menanyakannya?” Rangga tak habis pikir, Rey memang pintar, cerdik dan sigap. Namun kadang-kadang. “Maaf tuan, bukankah anda sendiri yang mengatakan tidak ingin mendengarnya.” Mencoba membela diri. Ya walaupun dia tahu tidak ada yang bisa menentang Rangga dan menyalahkannya. “Lalu?” Pertanyaan berkedok hardikan itu terdengar sangat mematikan. Rey menelan ludah kasar ketika pandangan mereka bertemu lewat spion. “Maaf tuan. Maksud saya, saya diam ketika anda bilang tidak ingin mendengarnya.” Pilih kata yang benar Rey! “Lantas dimana Nadiaku yang sesungguhnya?” Tanya Rangga tak sabar. “Anda baru saja meninggalkannya, tuan.” Tutur Rey membuat mata Rangga memicing. Menimbang benar atau tidak apa yang diucapkan sekertarisnya itu. Tapi kalung ini Menatap kalung perak miliknya. Ini benar-benar kalung milikku. Terdapat nama Rangga di liontin kalung itu. “Katakan dengan jelas Rey!” Suara bariton kembali menghardik Sekertaris Rey yang sedang fokus mengemudi. “Nadia yang sebenarnya, adalah Nadia yang anda temukan tuan!” Citttttt Rey menginjak rem kuat tatkala tangan Rangga menarik kemejanya kuat-kuat. “Aku benci bercanda Rey!” Hardik Rangga dengan tangan yang masih menggenggam kemeja Rey. Matanya seakan ingin melahap Sekertaris Rey hidup-hidup. “Maaf tuan, tapi itu memang benar adanya.” Rey menjelaskan dengan tenang. “Salah satu bodyguard anda menemukan kalung itu dirumah nona Nadia, dan dia menyerahkannya pada saya.” Lanjut Sekertaris Rey. “Dia menemukan hal besar dan malah menyerahkannya padamu? Cih!” Rangga melepas mencengkramnya dengan sedikit dorongan. Dia semakin mendesah kesal. Bisa-bisanya para bodyguard bodoh itu berlaku demikian. Memang benar Rey adalah orang pertama yang selalu turun tangan langsung, namun ini pelanggaran namanya. Kembali duduk tenang sambil menatap kalungnya. “Jelaskan” Masih nada kesal. “Serahkan pada nona Nadia, dia pasti senang kalungnya telah di temukan.” Tutur Rey menghindari pertanyaan Rangga. dia tidak perlu menjelaskan pernah masuk rumah Nadia diam-diam seperti maling dan mengamati foto-fotonya kan? Rangga kembali berdecih. Siapa memangnya dia, sok tahu kau! Menebak Nadia akan senang jika aku memberikan kalung ini. “Aku bertanya perihal lain Rey putra Federic!” Ujar Rangga tegas menekan setiap kata dari kalimat itu. Rey terpojokkan, bernafas perlahan kemudian menjawab. “Hm, saya menyelinap masuk kerumahnya. Mencari sesuatu yang bisa dijadikan bukti kuat untuk saya.” Tutur Rey membuat Rangga langsung tertawa terbahak-bahak. “Hahaha kau alih profesi Rey?” Masih tertawa. Dia membayangkan Rey yang selalu berjalan tegap dan berwibawa jalan membungkuk-bungkuk seperti maling di rumah Nadia? Rey hanya diam tak menjawab. “Tapi tunggu, lalu apa kau temukan.” “Saya menemukan ini.” Mengeluarkan benda kecil dari dalam sakunya, Rangga segera menyambar. Hatinya langsung tersentak, matanya memanas. Bahkan buliran bening sudah memupuk di ujung matanya. “Nadiaku....” Lirih Rangga mengusap wajah gadis kecil yang sedang tersenyum manis, rambutnya diikat dua, sedang seorang bocah laki-laki berdiri di sampingnya. Merangkul pundak gadis itu dengan senyum di bibirnya. “Iya tuan.” “Rey! Jangan bilang kau mengambil ini diam-diam.” Rey diam, tak mau menjawab. “Bodoh! Aku tidak pernah memintamu berbuat hal diluar batas Rey!” Mengambil barang orang misalnya. “Maaf tuan, tapi kita tidak akan tahu jika aku tidak menyelinap masuk kerumahnya.” Kembali membela diri. Dasar Sekertaris Rey... ngeles aja kayak bajaj! Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD