Hanania terperanjat saat ia menyadari telah terlelap di sofa ruang tamu mereka. Refleks perempuan yang tengah mengandung itu menatap jam di dinding. Sudah pukul sembilan malam. Ia benar-benar tak sengaja tidur di sana. Harusnya Arafan sudah pulang. Namun, ia sama sekali tak mendengar lelaki itu masuk ke rumah.
Hanania mengumpulkan kesadarannya. Ia mencari ponselnya segera. Seingatnya terakhir kali ada di ruang televisi. Dugaan Hanania tepat. Ponsel itu ada di sana. Hanania pun menyambar dan siap menelepon Arafan. Baru saja ia akan mengetuk nomor suaminya, bel pintu berbunyi. Wajahnya langsung semringah. Orang yang ia nantikan telah datang. Dengan cepat Hanania kembali ke ruang tamu seraya membuka pintu rumahnya.
"Belum tidur?" tanya Arafan. Hanania mengangguk. "Aku baru mau pake kunci cadangan, Nin. Takut kamu udah tidur, tapi malah lupa mencet bel," sambung Arafan. Hanania mengukir senyum. Ia sangat menantikan kehadiran suaminya.
"Aku ketiduran sebentar, Mas. Baru mau telepon kamu. Kamunya udah datang," ucapnya.
Dari sekian waktu kebersamaan baru kali ini ia menantikan kepulangan Arafan. Sebelumnya rasa itu tak pernah ada. Arafan pun membalas senyum itu. Meski perasaan bersalah masih menyertainya. Dengan cepat ia pun menutup pintu. Mengajak Hanania masuk lebih dalam ke ruang tamu. Saat itu juga memeluk istrinya erat.
"Eh, ada apa?" tanya Hanania tak siap menerima pelukan itu.
"Aku kangen kamu, Nin. Kangen banget," ucap Arafan tulus.
"Really?" tanya Hanania seraya mengusap punggung suaminya. Sebuah anggukan dari tubuh itu meyakinkannya. "Kamu baik-baik aja,’ kan, Mas? Kamu gak habis melakukan kesalahan?" tanya Hanania masih dalam dekap hangat Arafan.
Feelingnya sebagai perempuan berkata beda. Ia takut sebuah kesalahan lama akan terulang. Arafan semakin mengeratkan pelukan. Ia tak tahu harus menjawab apa. Jujur sama saja menyakiti hati Hanania. Tidak jujur sama saja melukai juga. Arafan hanya mampu menutupi kembali kesalahan yang ia lakukan, sembari memperbaiki di kemudian hari.
"Aku cuma kangen, Nin. Kangen banget," ucap Arafan lagi. Ia pun melepas pelukannya. Memandangi wajah Hanania mesra. "Ada makanan gak? Aku lupa kalau belum makan." Paras tampan itu tersenyum lebar. Menyibak aura kebohongan yang sedang ia jalankan.
"Ada, masakan Bu Ranti. Nanti tinggal diangetin lagi. Kamu mandi dulu, ya."
Arafan mengikuti saran Hanania. Dengan cepat ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Hanania berjalan ke arah dapur. Menghangatkan menu yang dibuat oleh Bu Ranti. Momen memasak nyaris tak pernah ia lakukan. Namun, demi Arafan yang berkata lapar ia tidak malas sekadar mengangkat panci itu kembali. Suaminya memang bisa segalanya, tapi akan terasa istimewa saat ia juga bisa melayaninya. Hanania tak mau kejadian di apartemen terulang kembali.
***
Abbas dan Syara menikmati malam dengan suatu hal yang sudah pasti dilarang. Namun, rasa rindu yang telanjur lama itu tak bisa dibendung. Syara sejak awal suka menggoda Abbas. Tak terkecuali malam ini.
"Jangan buat aku melakukan hal di luar kewajaran, Syara. Aku mohon," ucap Abbas saat mereka tengah duduk di sofa.
"Maksud kamu?" Mata Syara membulat sempurna. Yang justru membuat Abbas semakin terganggu.
"Gak apa-apa. Intinya kita tetap harus punya batasan sampai kita resmi menikah nanti." Abbas membelai lembut rambut Syara. Perempuan itu pun mengangguk.
Ada banyak rasa yang ingin Abbas bagi dengan perempuan cantik itu. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia sampaikan. Namun, ia tak tega melakukannya malam ini. Mereka baru saja berjumpa setelah berpisah cukup lama.
"Tidak ada masalah dengan Daisha, ‘kan? Kamu beneran izin sama Bapak buat nemuin aku, ‘kan?" Syara justru menangkap perasaan resah itu.
Abbas menggeleng. Sekuat hati menahan ekspresi agar Syara tak merasa ganjil dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Meski sebenarnya ia memang kabur dari penjara itu.
"Apa kamu juga dekat dengan Hanania? Mengingat Arafan suka main ke sini?" tanya Abbas mengalihkan fokus pembicaraan.
"Baru dua kali. Jadi gak sering. Sejauh ini aku cuma kenal sama Arafan aja," jawab Syara jujur.
"Hati-hati. Hanania udah mau lahiran, jangan sampai kamu malah menyakiti mereka." Syara menatap tajam Abbas. Ia semakin merasa aneh. Harusnya Abbas berada pada posisi sama dengan Hanania, tapi laki-laki itu justru tidak merasa. "Kita udah putus, jadi bagi aku wajar aja kamu mau deket sama laki-laki lain. Kalau setelah ini kita gak putus lagi. Actually aku marah besar." Mata Syara berbinar. Abbas memang tak pernah lugas, tapi kecemburuannya kali ini terlihat jelas.
Syara mengangguk. Tentu bermain api dengan Arafan adalah sebuah kesalahan. Mengingat mereka saling mengenal. Syara merasa hubungan singkatnya dengan Arafan hanya kebetulan. Berlangsung tiga bulan hanya sebagai pelarian. Hatinya sejak dulu utuh untuk Abbas seorang.
***
Hunian Mewah di Singapura
Seorang perempuan terus memantau akun media sosial milik seseorang yang sedang ia kagumi. Tak henti menatap wajahnya yang tampak berseri. Namun, saat sadar ada perempuan lain di sisi lelaki itu membuatnya berang. Dengan cepat ia melempar ponselnya.
Pyarr!!!
Ini ponsel ke sekian yang ia lempar di kamar mewah miliknya. Hanya karena rasa cemburu pada seseorang yang sudah pasti tidak tahu kalau ia mencintai pria itu diam-diam. Asisten pribadinya yang sejak tadi hanya bisa menunggu mulai kewalahan dengan sikap majikannya itu. Kalau bukan karena pesan yang disampaikan oleh ayah dari perempuan itu, ia sudah menghabisi nyawa perempuan di hadapannya sejak pertama mereka berjumpa.
"Cukup, Nona! Jangan sampai anda gagal menguasai diri lagi," pintanya dengan nada tegas. Ia mencoba untuk tidak membentak.
Seketika perempuan dengan rambut panjang itu memicingkan mata. Ia benci setengah mati ada seorang laki-laki yang terus menempel di kehidupannya. Sejak semua ingatan yang ia punya pulih, ia ingin kembali hidup bebas saat masih bersama mantan suaminya yang menghianatinya dulu. Ia ingin terlepas dari segala obat penenang yang diresepkan ayahnya.
"Aku muak melihat mereka. Harusnya aku yang ada di sisi laki-laki itu," ucap perempuan tadi seraya melangkah menuju meja tempatnya membaca buku. Sebuah n****+ kenangan ia genggam. "Kalau dia tidak suka denganku, harusnya dia tak memberikan ini untukku." Perempuan itu memegang n****+ yang menjadi semangat barunya. Semangat untuk merebut pria itu dari istrinya. Padahal n****+ itu hanyalah sebuah barang yang kebetulan tertinggal.
"Anda tinggal melakukan apa yang anda mau. Jelas-jelas anda mampu melakukannya," ucap lelaki bertubuh kekar itu. Perempuan berambut panjang tadi tampak berpikir sejenak. Ia menemukan ide besar tiba-tiba.
"Apa kau mau membantuku?" tanyanya dengan sorot mata yang mengerikan.
"Tentu. Saya adalah asisten pribadi anda. Bekerja untuk anda. Apapun akan saya lakukan termasuk menghadirkan pria itu ke depan wajah anda." Laki-laki bertubuh kekar tadi sudah malas menghadapi perempuan itu sendiri. Ia ingin penderitaannya segera berakhir.
Dengan perasaan senang perempuan itu memeluk n****+ miliknya. Menghidu bau lembar demi lembar halaman buku itu meski sudah kumal. Angannya mengudara. Dengan segala obsesinya, menginginkan pemilik n****+ di tangannya agar menjadi miliknya juga. Secepat mungkin.