Dengan perasaan kesal Arafan melaju kencang bersama mobilnya. Menerobos hujan yang terus mengguyur kota besar itu. Ia tak peduli akan selarut apa sampai di rumah. Yang pasti ia merasa sangat kotor. Mengabaikan istrinya yang tengah hamil besar, mencuri kesempatan berduaan dengan Syara dan mendapati perempuan itu juga mengekspresikan rasa yang sama untuk cinta pertamanya. Arafan merasa muak seketika. Ponsel yang sejak tadi sengaja ia tinggalkan di mobil pun ia buka. Kunci layar itu ia usap segera. Sembari mengemudi Arafan membuka kotak pesan. Hanania tak henti menanyakan kapan ia pulang. Hanania juga menanyakan apakah ia sudah makan. Dengan bergetar Arafan mengetuk nomor istrinya. Melakukan panggilan.
Halo, Mas, Kamu pulang jam berapa? tanya perempuan itu dengan nada kencang. Guyuran hujan membuat suaranya tertahan.
Arafan menghela napas berat. Sesesak ini rupanya dihianati. Sesakit ini mengetahui orang yang disukai juga menyukai orang lain. Arafan melakukan itu semua. Ia diam-diam menggeser Hanania dari hatinya.
"Bentar lagi. Bentar lagi aku pulang. Ini hujan deras sama sedikit banjir. Aku gak bisa cepet-cepet," terang Arafan.
Ya, Mas. Yang penting hati-hati, ya.
"Tunggu aku sebentar lagi, ya," ucap Arafan seraya menahan tangis. Ia telah melakukan kejahatan besar.
Selepas menutup panggilan, Arafan kembali memfokuskan diri agar cepat sampai di Harkit kota Tangerang. Anak dan istrinya menantikannya untuk pulang. Menanti seorang ayah yang nyaris saja menghancurkan kebahagiaan mereka. Arafan melaju cepat bersama hujan dan perasaan tak keruan.
***
Syara dan Abbas menikmati waktu berdua mereka. Sekian lama tak bersua membuat satu sama lain merasa lebih mencintai dari biasanya. Keduanya terus mengeratkan pelukan membuat baju Syara juga ikutan basah terkena air hujan.
"Nanti masuk angin, lho. Yakin gak dilepas dulu?" tanya Abbas menggoda Syara. Meski ia sempat kesal ada Arafan, ia berusaha membuat suasana nyaman terlebih dahulu.
"Aku kangen ... kangen banget. Aku gak mau kamu pergi lagi," ujar Syara tanpa melonggarkan pelukan.
"Aku gak akan pergi honey. Aku janji. Tapi please ijinin aku mandi dulu, ya. Kamu juga ganti baju biar gak masuk angin." Disindir dua kali membuat Syara merasa. Ia pun melepaskan diri dari pelukan kekasihnya.
"Aku duluan yang mandi," ucap Syara seraya berlari. Menaiki satu per satu anak tangga menuju kamarnya. Sudah pasti wanita itu sangat bahagia.
Abbas mengulas senyum. Meski merasakan bahagia sama seperti Syara, ada sesak juga. Ia berlari jauh dari kehidupan mengerikan yang baru saja ia sadari. Dengan bekal seadanya lelaki bertubuh kekar itu nekat pulang ke Indonesia. Mengabaikan semua peekerjaan yang ia punya. Abbas pun melangkah maju. Ia juga ingin membersihkan diri di kamar mandi lain di rumah wanita yang ia cintai.
Syara tipe wanita yang sangat pengertian. Ia sering membelikan baju untuk Abbas. Meski baju-baju itu terus tersimpan di lemarinya. Hari ini ternyata apa yang ia beli sangat membantunya. Dengan cepat ia membawa satu set baju lengkap untuk Abbas. Meletakkannya tak jauh dari kamar mandi tempat Abbas mengguyur tubuhnya. Aliran air yang terdengar sampai luar membuat jantungnya berdegup kencang. Segugup itu mendapati Abbas ada di rumahnya. Ia pun semakin melangkah maju.
"Aku gantungin di kenop pintu, Yank. Kalau udah selesai langsung ke dapur, ya. Kita makan!" seru Syara berusaha mengalahkan guyuran air. Abbas yang meski samar tetap mendengar, menyahut seruan itu.
"Ya."
Syara tersenyum geli. Kepalanya tak henti memikirkan hal-hal aneh yang selama ini ia inginkan. Sayang, mereka belum halal. Dengan cepat perempuan itu beranjak dari depan pintu kamar mandi. Melanjutkan niatnya membuat hidangan untuk orang terkasihnya. Area dapur di rumah itu tampak masih berantakan. Beberapa sisa bahan teronggok di meja keramik tempatnya biasa memasak. Arafan benar-benar menggunakan bahan yang ada. Dua piring spaghety tersaji di meja. Dipastikan sudah dingin. Syara pun mencicipi sedikit hidangan itu. Sontak ia dibuat tak percaya dengan rasa yang menempel di lidahnya.
"Enak, sangat enak," guman Syara.
"Masakan Arafan?" tanya Abbas yang tiba-tiba sudah berada di belakang Syara.
"Eh, iya, Bas. Tadi dia sempet masak," terang Syara. Meski merasakan hal aneh menyadari Arafan ada di rumahnya.
"Oh, sini biar aku makan. Sayang malah kalau dibuang." Abbas mengulurkan tangan. Bersiap menerima piring di depan Syara.
"Serius, gak apa-apa?" tanya Syara ragu. Laki-laki bertubuh kekar itu pun mengulas senyum. Ia mengambil piringnya sendiri.
"Gak apa-apa, semua orang pernah melakukan kesalahan. Hari ini kamu diselamatkan karena aku datang." Syara tercengang. Ucapan Abbas menusuk hatinya. Miris nan perih. Perempuan itu pun langsung meghambur ke pelukan Abbas.
"Sorry, yank. Sorry. Aku gak bermaksud menghianatimu," ucapnya pilu.
"Salahku juga terlalu lama membiarkanmu kesepian. Aku yang kelewat batas menjaga jarak. Aku yang berlebihan menunggu terlalu lama. Sekarang aku tahu, kamu teramat berharga." Syara mendongak. Ia mencari ketulusan pada ucapan Abbas.
"Right. Aku jujur kali ini. Aku ... Tak akan membiarkanmu menunggu lebih lama lagi," tegas Abbas.
"Bagaimana kabar Bapak dan Daisha? Apa mereka baik-baik aja kamu tinggal?" tanya Syara. Fakta tentang keluarga angkat Abbas cukup mengganggunya.
Abbas melangkah maju. Membuat tubuh Syara ikut terdorong. Ia meletakkan kembali piring di tangannya. Sejenak menekuni paras manis Syara. Ia tak akan lagi membiarkan perempuan itu kering kerontang haus akan kasih sayang. Dengan penuh kelembutan, Abbas mengusap wajah Syara. Menyalurkan rasa sayang yang selama ini ia pendam.
"Aku sudah tidak ada ikatan lagi dengan mereka. Tugasku sudah selesai. Daisha sudah membaik dan bisa hidup tanpa bantuan psikiater lagi. Sekarang aku baru tahu, akulah yang tak bisa hidup tanpa kamu." Mata Abbas sedikit berkaca. Ia memang terlalu kejam dengan Syara karena sebuah alasan.
"Kamu yakin tidak akan memikirkan balas budi lagi?" Syara selalu pandai menebak suasana hati seseorang. Ia tahu, Abbas datang tanpa persiapan. Pasti sebuah masalah sedang terjadi. Abbas mengangguk. Ia sudah mantap meninggalkan segala kemewahan yang ia punya. Tujuannya hanya satu. Kembali mendekat pada Syara dan bahagia bersama wanita itu. Ia tak mau membahas masalah berat di hari pertama pertemuan mereka.
"Aku kangen banget sama kamu. Jadi, please jangan tanya hal yang lain dulu," pinta Abbas dengan wajah memelas.
"Okey, okey. Aku gak akan cari tahu." Syara memamerkan senyum manisnya. Senyum yang seketika membuat hati Abbas luluh.
"Sweet banget," ujar Abbas. Ia membingkai manis senyum itu dalam hatinya. "Syara," panggil Abbas mesra.
"Apa?" tanya Syara menggoda.
"Will you Marry, Me?" tanya Abbas dengan keseriusan tingkat tinggi.
Syara tak perlu ditanya untuk kedua kali. Ia dengan cepat mengangguk. Pernikahan mereka memang sudah direncanakan, tetapi selalu batal. Kali ini dengan segala yang telah mereka lalui, Syara tak ingin kehilangan lagi. Abbas semakin mendekatkan jarak. Membuat Syara terduduk di salah satu kursi di dapur itu. Dengan penuh kasih sayang Abbas meraih dagu Syara. Membantu perempuan itu mendongak. Sebuah pelepasan kerinduan kembali mereka lakukan. Keduanya menyelami makna cinta yang mereka punya.