Perjalanan dari Singapura ke Jakarta terasa lama bagi Arafan. Mereka sengaja mempersingkat waktu dengan tidak berpamitan ulang pada Pak Rajandra. Arafan tak bisa lagi menunda waktu penerbangan.
“Makasih, Dim. Udah pengertian. Gue langsung ke rumah sakit, ya.” Arafan menepuk lengan Dimas. Ia bergegas menuju taxi online yang sudah datang menjemputnya.
“Sama-sama, Bro. Salam buat Hanania dan putri loe, ya. Sorry gue gak bisa langsung ke sana. Besok bareng Anita aja, ya.”
Arafan mengangguk. “Gue duluan.”
Mobil taxi beserta Arafan melaju dari bandara Soekarno Hatta menuju rumah sakit Siloam Karawaci Kota Tangerang. Laki-laki yang kini berstatus sebagai seorang ayah itu tak sabar menantikan pertemuannya dengan Hanania dan putrinya. Jalanan kota yang selalu padat tetap sama. Secepat apa pun mobil itu melaju tetap membutuhkan waktu.
“Gak bisa lebih cepat lagi, Pak?” tanya Arafan. Ia ingin segera sampai di rumah sakit.
“Macet, Pak. Biasa,” jawab pengemudi taxi online.
Mau bagaimana lagi memang begitu kondisi lalu lintas di negeri tempat ia tinggal. Arafan harus bersabar menantikan pertemuannya. Untuk membunuh waktu, ia memainkan ponselnya. Sekadar ingin mengetahui berita yang sedang bergulir di lini masa. Satu menit kemudian ia tercengang.
Hubungan Panas CEO perusahaan El-Malik Company dengan Putri Konglomerat.
Arafan mengulang judul berita yang berada di halaman utama. Nama perusahaannya disebut dengan sangat jelas. Ia sampai memicingkan mata untuk memperjelas susunan huruf yang tertera di berita itu. Ia pun mengklik tautan tersebut dan mendapati foto dua orang tengah berbaring di atas ranjang tanpa mengenakan busana.
Skandal putri pewaris perusahaan asal Singapura yang ketahuan menginap di kamar hotel dengan pebisnis muda asal Indonesia berinisial A. Kabarnya mereka terikat hubungan kerja yang berkembang menjadi hubungan asmara. Mengingat sang ayah adalah salah satu pemilik saham terbesar pada perusahaan tersebut mungkinkah mereka sebenarnya diam-diam sudah menjalin hubungan tanpa diketahui khalayak. Padahal seperti yang diketahui publik C.E.O tersebut sudah beristri dan sebentar lagi melahirkan.
Meski wajah serta tubuh mereka dibuat blur, Arafan tahu persis siapa yang ada dalam foto tersebut. Melihat interior kamar yang ditampilkan serta keterangan dalam berita jelas merujuk padanya. Ia pun meneruskan membaca berita yang sebentar lagi pasti viral. Di negeri ini berita semacam itu selalu menjadi nomor satu di kolom pencarian. Terlebih ini menyangkut perusahaan besar.
Arafan menahan napas saat sampai di akhir kalimat berita itu. Tak tanggung sang pembuat berita menyebutkan bahwa pria dalam foto tersebut sudah berkeluarga dan istrinya tengah hamil. Arafan seperti tak lagi bisa berpijak di bumi yang ia tinggali. Seakan semua hancur hanya dalam waktu semalam.
Apa yang akan ia lakukan? Apa yang harus ia katakan pada Hanania?
Laki-laki itu pun menatap kosong layar ponselnya. Ia juga membenci dirinya yang begitu bodoh terjebak dalam skandal semacam itu. Tak ada lagi cara untuk mengelak. Konfirmasi dan klarifikasi pun hanya akan membuat berita tersebut semakin ramai diperbincangkan. Orang-orang kadang lebih suka fakta yang dimanipulasi.
“Sembarangan! Main nyelonong aja!” teriak pengemudi taxi online yang Arafan tumpangi. Mobil berhenti mendadak karena nyaris menabrak pengendara motor yang main berbelok arah.
“Yang bener, Pak!” pekik Arafan. Jantungnya serasa akan lepas.
“Maaf, Pak, Maaf.” Pengemudi tersenyum. Arafan mengangguk meski hatinya kesal sekali.
Selang tak begitu lama pengemudi taxi online berhasil mengantarkan Arafan ke rumah sakit Siloam Karawaci Kota Tangerang. Tanpa melakukan transaksi tunai, Arafan meluncur menuju bangunan besar itu. Ia harus segera bertemu dengan Hanania dan putrinya. Baru membayangkan menggendong darah dagingnya saja sudah sangat istimewa. Bisa berada dekat dengan istri yang memberinya seorang anak sudah sangat mendebarkan. Membuatnya semangat.
Namun, sisi hatinya yang lain berkata berbeda. Seolah mengoloknya yang bahkan pagi tadi telah berbuat dosa. Memang bukan mutlak salahnya dan hanya kesalahpahaman. Namun, ia sendiri tak yakin berita itu tidak akan menimbulkan masalah kedepannya. Nama baik yang selama ini terjaga akan dengan mudah hancur hanya karena satu judul berita. Semua hal indah yang sudah ia siapkan nampak seperti air ludah yang tidak mungkin bisa ia ambil lagi.
Arafan tak perlu bertanya dengan petugas resepsionis. Ia tahu betul di mana kamar inap istrinya. Dengan berlari Arafan menuju kamar itu. Tak sabar berjumpa dengan belahan jiwanya. Dari luar terlihat seorang laki-laki sedang berdiri dekat dengan Hanania yang tampak menangis. Arafan pun cepat mendorong pintu itu.
“Abbas? Kenapa bisa di sini?!” tanya Arafan dengan sedikit bentakan. Segera ia melangkah lebih dekat pada istrinya.
“Kamu kenapa nangis, Nin?” Arafan memfokuskan diri menatap Hanania yang justru membuang muka. Perempuan itu mencoba mengusap air matanya.
“Gak apa-apa, Mas,” jawabnya.
“Syukurlah kamu udah sampai, Fan. Aku hanya berniat memberi ucapan selamat untukmu dan Hanania. Ternyata kamu justru sedang di Singapura.” Abbas mencoba membuat alasan yang paling memungkinkan untuk sekarang. Ia berusaha mengakrabkan diri seperti sebelumnya. Namun, Arafan tidak begitu menghiraukan.
“Kamu kenapa, Nin?” tanya Arafan lagi. Hatinya memikirkan tentang berita viral pagi ini. Bisa jadi Hanania sudah tahu.
“Gak apa-apa.” Hanania tetap menjawab sama.
Terdengar suara tangis bayi di kamar itu. Sontak mengalihkan fokus semua yang ada di sana. Arafan langsung menoleh ke box bayi yang berada tak jauh dari jangkauannya. Ia nyaris melupakan kehadiran putrinya itu. Perlahan Arafan mendekat. Ia menyapa buah hatinya.
“Hai, bagaimana kabarmu, Nak? Maaf, Papa baru datang.” Arafan menepuk lembut tubuh mungil itu.
“Tolong bawakan ke sini, Mas. Biar aku pangku,” ucap Hanania. Ia belum bisa mengambil putrinya dengan mudah. Arafan mengamati wajah istrinya. Ia seperti kebingungan.
“Gak bisa?” tanya Abbas tiba-tiba. Dengan cepat ia melangkah, lalu mengangkat bayi mungil itu. Mendekatkan pada jangkauan Hanania. “Hati-hati. Jahitan kamu bisa rusak,” ucap Abbas.
“Terima kasih.” Hanania mengulas senyum.
Hati Arafan yang memang sedang bergejolak semakin tidak keruan. Ia tak terima melihat Hanania mendapat perhatian dari laki-laki lain. Arafan mengamati gestur tubuh Abbas yang memerhatikan betul istrinya.
“Kamu udah selesai belum ngasih selamatnya, Bas? Apa perlu diulangi saat ada aku?” tanya Arafan dengan mimik wajah tak suka.
Ada dua perasaan yang muncul saat ini. Pertama tentang kekesalannya mendapati fakta Syara memilih Abbas juga tentang perhatian yang ditunjukkan laki-laki itu pada Hanania. Arafan entah sebab apa tidak suka akan keduanya.
Abbas tersenyum. Dari segi usia juga pengalaman hidup ia jauh lebih matang. Meski Arafan sukses dibidang karier, belum tentu pemimpi perusahaab itu bisa menandingi kebijaksanaan Abbas dalam mengambil sikap.
“Selamat, Bro. Harapanku kamu bisa jadi idola untuk putri cantikmu. Tidak perlu kamu ingat masa lalu. Cukup fokus saja dengan keluarga kecilmu ini.” Abbas menepuk lengan Arafan. Ia mengulas senyum tertulusnya.
“Han, sekali lagi selamat atas kelahiran putri pertama kamu. Semoga kelak anak itu bisa menjadi jalan untuk kalian semakin bahagia. Aku pamit ya, Han.” Abbas mengukir senyum lagi.
Hanania mengangguk lemah. Memandangi putri kecilnya yang tampak nyaman dalam dekapannya. Abbas merasa waktunya sudah cukup untuk bertemu dengan Hanania. Ia bersiap melangkah keluar dari kamar itu.
“Tunggu,” ujar Hanania. “Tunggu sebentar!” imbuhnya mengurungkan niat Abbas.
“Apa lagi, Han?!” tanya Arafan tak suka.
“Terima kasih sudah menjadi orang pertama yang memberi ucapan selamat untuk saya. Semoga pernikahan anda dengan Syara nanti berjalan lancar.” Sengaja Hanania menyebut nama perempuan itu. Ia ingin mengetahui reaksi Arafan saat mendengarnya.
Senyap. Arafan tampak terhenyak tapi tak bicara banyak. Abbas pun tersenyum. Ia paham arah pembicaraan Hanania. Perempuan itu bisa jadi ingin memberi sedikit peringatan pada suaminya.
“Pastikan datang bersama putri kalian, ya.” Abbas undur diri dari keluarga kecil itu.
***
Hanania melakukan tugasnya sebagai seorang Ibu. Meski merasakan sakit di bagian tubuh tertentu, ia tetap melakukan tugasnya dengan baik. Arafan yang berada di samping Hanania langsung terbagi fokusnya.
“Kenapa, Mas?” tanya Hanania dengan tetap melakukan tugasnya memberi sumber kehidupan untuk putrinya.
“Maafin aku.” Arafan mencoba memegang tangan Hanania.
“Untuk?”
“Tidak menepati janji menemani kamu operasi. Maafin aku datang begitu terlambat.” Meski nama Syara membuatnya kepikiran, ia tetap harus memikirkan cara terbaik agar istrinya tidak curiga. Maka seperti yang sudah-sudah kata maaf menjadi solusianya.
Hanania mencoba tersenyum. Ia tidak mau kepulangan Arafan dihabiskan hanya untuk membahas hal-hal yang tidak perlu. Ia masih ingin menikmati rasa haru atas terlahirnya buah hati.
“Aku tahu kamu melakukan itu semua karena urusan pekerjaan, Mas. Jadi aku maklumi. Buatku tidak masalah sama sekali. Kalaupun janji itu tidak ditepati, toh aku tetap bisa melahirkan. Aku yakin putri cantik kita yang belum punya nama ini juga sama.” Hanania menatap lembut wajah putrinya.
Arafan kembali terhenyak. Kata-kata Hanania di luar dugaannya. Ia memang lupa memberi pesan pada Hanania perihal nama. Sudah menjadi kesepakatan mereka jika bayi yang terlahir adalah perempuan, maka tugas papanya untuk memberi nama. Jika laki-laki baru menjadi tugas mamanya. Bahkan mereka tidak saling berdiskusi dan berjanji akan menyepakati perjanjian itu.
Arafan tersenyum. Ia pun bangkit dari posisi duduknya. Berpindah ke sebelah kanan tempat kepala sang putri berada. Dengan lembut, Arafan mengusapnya.
“Selamat datang putriku. Putri cantik nan baik kebanggaan Mama, Papa.” Arafan menggantung kalimatnya. Ia sengaja membuat Hanania penasaran. Ia pun diam sejenak.
“Siapa, Mas? Aku mau tahu,” ujar Hanania. Ia sudah ingin menangis melihat Arafan begitu bahagia.
“Hira, Nin. Aiza Hira.” Dengan lembut Arafan mengusap ubun-ubun putrinya, lantas memanjatkan doa.
Menyaksikan momen itu, membuat Hanania tak kuasa menahan haru. Ia tahu kenyataan yang ada di belakang mereka berbeda dengan apa yang ia rasakan saat ini. Menjadi seorang ibu bersamaan dengan setumpuk masalah naik ke permukaan. Menghadang kehidupan rumah tangganya yang semula baik-baik saja. Membuat perempuan lemah itu berusaha menguatkan diri. Sejatinya, hatinya juga menangis. Bukan karena keharuan yang membersamai momen kelahiran, melainkan tentang kebohongan suaminya yang akan terus ditutup dengan kebohongan-kebohongan berikutnya.
Hanania membuang muka. Ia menghalau air matanya yang kian deras alirannya. Kebahagiaannya tersamarkan oleh tangis. Ia tak yakin harus percaya dengan siapa untuk saat ini.
“Maafin aku, Mas,” ujar Hanania pelan. Ia beralih menatap wajah Arafan yang menawan.
Arafan menoleh. Pandangan keduanya beradu syahdu. “Untuk apa?”
“Maafin aku tidak pernah bisa membahagiakanmu. Maaf, aku terlambat memberikan kabar bahagia ini untuk keluarga kita.” Hanania kian tersedu. Ia benar-benar tak bisa membedakan perasaan yang ia rasa. Ada sesal juga karena harus menunggu lama bisa memberikan Arafan keturunan. Namun, yang paling menyayat hati tetaplah fakta di mana Arafan yang berhianat.
“Nggak, Nin. Kamu gak perlu minta maaf. Harusnya aku yang minta maaf.” Manik mata Arafan mulai terasa basah. Ia kembali menyadari masalah yang akan menimpanya. Jika putrinya mengetahui suatu hari nanti tentang papanya bagaimana reaksinya.
“Kita mulai dari awal, Mas. Apa pun itu kita hadapai bersama.” Hanania mulai meracau. Ucapannya tidak jelas akan ke arah mana.
“Iya, Nin. Iya. Kita sudah punya Hira sekarang.”
Arafan sedikit merasakan kegelisahan Hanania. Entah karena istrinya itu sudah tahu tentang berita itu atau karena apa. Terkadang mengakui sebuah kesalahan jauh lebih memberatkan dibandingkan menutupi dan menganggap semua akan selesai pada waktunya. Arafan mengukir senyum. Sebuah kecupan lembut ia berikan pada Hanania.
“I love you.”
Hanania mengangguk. Ia meraih ponsel dan memutar memori indah milik mereka. Tak lupa meminta Arafan untuk meletakkan kembali Hira di box bayi.
**