When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Setumpuk pekerjaan sudah cukup membuat Jee terdampar di atas alas tidur. Hampir 2 hari ini Jee tidak menikmati bagaimana rasanya tidur di kamar dengan kasur nya yang empuk. Bahkan Jee seolah sudah lupa dengan suasana rumah yang dulu sempat Jee tempati bersama dengan ayahnya yang sudah lama pergi. Ya, hanya dengan ayahnya Jee memilih untuk tinggal bersama, selain Jee merasa tidak tega karena ayahnya sudah lama sakit-sakitan, hanya orang tua laki-laki lagi yang selalu Jee jadikan tempat untuk menumpahkan keluh kesah bahkan masalah tentang vonis dokter. Sambil mengamati langit-langit ruangan yang sama sekali tidak Jee rubah bahkan warna ruangan itu sendiri masih sama, Jee terus memikirkan ucapannya saat menyebut Shaila sebagai anaknya. Entah Jee menganggap jika gadis kecil itu sudah