7. Inisial 'Y'

2061 Words
     Kekokohan tenaga Jee tumbang di sofa rumahnya. Sambil menikmati musik Jazz dan Jee melepas dasi, Jee mendengar langkah menggema dari belakang dan Jee mengikuti suara itu dengan baik. Tetapi Jee sama sekali tidak ingin tahu siapa yang sedang berusaha mendekat, karena lelahnya saja masih menimang batin Jee tentang kegagalan menemukan Yoanna di Berlin.      "Jee, kau sudah kembali rupanya?"      Telinga Jee menemukan suara Aloysia saat mengunci tengkuk lalu Aloysia mengecup pipi Jee secara bergantian. Hal itu sangat menguji kesabaran Jee namun rasa muak sudah menjalar dan sulit menunda lagi. Jee melepas tangan Aloysia dari leher lalu menarik tubuh molek Aloysia ke depan hinggap di pangkuan Jee.      "Peringatan seperti apalagi agar kau mengerti Bruna?" dagu tegas Aloysia menjadi titik sentuhan Jee.      Aloysia mendekap lalu menancapkan bibir halusnya di area sisi wajah Jee, mengeksplor rahang yang baru saja terpangkas. Bukan hanya itu, Aloysia mulai melepas satu persatu buah baju Jee dan membelai lengan sampai d**a dan pikiran Jee mulai ternodai. Pelan jemari lentik Aloysia terjerumus ke bagian perut dan arah yang dituju, Aloysia menangkap organ kuat dalam satu genggaman lalu Aloysia beringsut agar melepas kaitan celana Jee dengan mudah.      Bayangan tentang Yoanna memang tidak dapat tenggelam dalam sanubari, tetapi reaksi otak dan otot tubuh meregang ketika Jee mencerna tatapan binal Aloysia dalam jarak sepuluh centimeter. Gelenyar itu merangkum keinginan tetapi Jee menerjang pinggang Aloysia ke atas pahanya lagi, tangan kasar Jee menyeka helai rambut menutupi iris biru Aloysia. Senyum meremehkan terpatri di lekukan wajah Jee meski sebenarnya Jee menginginkan sentuhan yang lebih dari Aloysia.      "Kau cerdas dan seksi," pandangan Jee memanah manik mata Aloysia. "Jadi gunakan saja kecerdasan dan kesempurnaan mu untuk membimbing bujukan lain. Seperti... mencari pria lain misalnya."      Otak Aloysia tetap enggan membina ucapan Jee. Karena wajah tampan Jee sudah membuat rakus tentu Aloysia tidak akan melepas dengan mudah. Tangan Aloysia kembali memberi racun dan ekstasi di otak Jee, keduanya pun kini saling menautkan lidah dengan mengabsen deretan gigi. Menukar rasa dan gairah pada saliva.      "Tapi aku ingin menjadi wanita bodoh agar terus di samping mu Jee. Untuk hari ini dan besok mungkin kau akan menolak! Tetapi lusa tidak ada yang tahu, bisa saja kau akan sujud di kakiku." balas Aloysia tersenyum culas.      Jee malas menanggung komitmen jika di depan Aloysia. Ia bangkit agar tubuh Aloysia terlepas dan mata mengitari arah sekitar ruangan utama Penthouse lalu Jee melengos tanpa menanggapi wajah Aloysia.      "Seharusnya aku hanya kasihan kepadamu, tetapi pikiran dan hatiku sangat b******k sehingga cinta ini tumbuh dan berkembang." cegah Aloysia merasa diremehkan oleh sikap Jee.      "Bisa beri tahu alasannya kenapa kau mesti kasihan kepadaku?"      Bukan jawaban lagi tetapi Jee merasa napas Aloysia menjamah leher dan sisi wajahnya. Tapi gemuruh itu lagi-lagi Jee tolak dan mendorong ringan tubuh Aloysia menjauh.      "Ada kegiatan lebih menarik yang harus dilakukan! Untuk besok pagi jangan terlambat barang sebentar saja!" tubuh menjulang Jee hanya meninggalkan aroma kejam di hati Aloysia.      Vas di atas meja Aloysia tangkap kemudian melemparnya ke arah Jee, namun emosi Aloysia merusak keseimbangan dan kaca hanya mengenai sisi perapian. "Besok aku datang tepat waktu karena kau akan bersujud di kaki ku!"      Tangan Jee melambai tanpa menoleh saat menaiki lift menuju kamar. Bagi Jee menolak sosok Aloysia merupakan hal t***l dan sulit untuk menghindari reaksi. Tapi nama yang terpajang di lentera lebih memburu kemauan Jee untuk bertemu dan mengulang satu malam yang gila di hawa dingin lereng Eiger. [...]      Semangat pagi merenda semua harapan para tatapan penghuni JE'O Picture. Tidak terkecuali Lucky yang merasakan gelisah dalam hati karena menunggu kedatangan model asal Indonesia, sudah berulang-ulang Lucky melakukan panggilan tetapi hasil suara voice mail semakin membuat amarah Lucky berapi-api.      Jarak sekitar dua puluh meter dari lobby terlihat dua wanita berlari sambil menenteng tas dan map dari pintu gerbang perusahaan. Lucky berkacak pinggang dan kepalanya menggeleng tidak percaya karena orang yang dipilih oleh Dimas tidak profesional terhadap waktu.      "Maaf pak," Thalita terengah-engah sekaligus membenarkan rambut yang tersibak angin. "Kita cuma telat lima menit 'kan?"      Lucky berdecih, "Lima menit di bioskop kamu udah ninggalin scene yang penting dan ngerusak film yang kamu tonton."      "Ya 'kan kita udah berusaha Pak, lagian juga Pak Dimas kasih taunya mendadak kalau kita suruh ke sini hari ini juga." protes Thalita membela diri.      "Emang jam berapa Dimas telepon kamu? Coba ya bos di sini terus liat kamu telat, kamu bisa di serut!" tandas Lucky masih tidak terima karena Thalita membantah.      "Kayu kali Pak, tapi aku rela kok di serut si Jamie itu." lidah Thalita mulai menggila.      Lucky mengoreksi beberapa pesan di ponsel dan malas menanggapi ucapan Thalita. Lalu Lucky menoleh dan seketika hampir pingsan saat melihat wajah Yoanna. "Ada apa Pak?" tanya Thalita menatap wajah Yoanna dan mengecap tanpa suara 'mengapa?'.      Dalam hati Lucky memang tidak percaya bertemu dengan wanita yang sedang diburu oleh Jee. Tapi ini merupakan keberuntungan besar bagi perusahaannya dan akan menarik Jee menandatangani kontrak perpanjang kerjasama mereka.      "Pak? Bapak nggak apa-apa 'kan?" dua kali Thalita memastikan.      "O--h," Lucky gugup. "Nggak, nggak apa-apa kok. Ini.... Siapa?"      Lalu Yoanna tersenyum dan menyodorkan tangan. "Saya Yoanna Marcella Pak."      Saat ini Lucky melihat harapan indah di awang-awang sahabatnya. Pucuk dicinta karena apa yang dicari oleh Jee selama enam tahun menemukan ujungnya dengan cara sepele. Apalagi Jee akan melakukan segala cara untuk merebut Yoanna bekerja di perusahaan JE'O.      "Pak?" sekali lagi Yoanna berusaha memperkenalkan diri. "Anda sehat 'kan?"      "O--h," sialannya Lucky terkesan seperti terpana. "I--iya, Lucky Hakim. Eh--eh bukan, kenalin saya Lucky Pratama!"       "Ya, saya udah tau kok Pak! Saya temen Thalita." aku Yoanna mengulang diskusi pekerjaan yang diberi.      "Oh ya, yang fotografer itu 'kan?" kekeh Lucky tidak paham dengan sikapnya.      Tidak berbincang lama-lama dan memang Lucky terburu-buru menuju ruangannya dan juga membuat alasan. Lucky menyingkir untuk memberi kabar kepada Jee. Satu, dua kali panggilan Lucky tidak ada respon sampai Lucky mendengar suara wanita mendesah di voice mail.      "Jee, kamu sibuk? Telepon aku atau kamu bisa datang langsung ke kantor!" napas Lucky mulai tidak beraturan. "Ada kejutan spesial dalam hidupmu, dan kamu bakal nyesel kalau sampai lewatin hari ini."      Lucky segera mengakhiri sambungan telepon lalu ia kembali menemui Yoanna dan Thalita di ruang studio. Karena JE'O tidak memiliki hak penuh atas diri Yoanna dan Thalita, mau atau tidak Lucky memimpin rapat kecil pagi ini. Apalagi di waktu yang sama perusahaan JE'O Picture mengadakan acara kontes resmi.      Lain pada acara mencari sumber fotografer profesional. Lain halnya di tempat jasa penyewaan mobil di Berlin. Apa yang baru saja dicari hilang tanpa jejak karena Jee gagal lagi menemukan tempat Yoanna. Hanya bermodalkan plat nomor saja memang tidak cukup, karena dua hari lalu mobil sudah kembali dan kartu identitas Yoanna sudah tidak ada di tempat penyewaan.      Matahari terik membakar isi kepala Jee. Sudah cukup rasanya Jee melakukan apa yang seharusnya tidak ada dalam daftar kegiatan hari ini. Lalu Jee mulai mengaktifkan ponsel dan menerima pesan suara dari Lucky.      Setelah mendengar Jee mencampakkan smartphone ke jok belakang mobil. Dengan berat hati Jee memutuskan untuk kembali ke Hamburg tanpa sesuatu harapan yang baru. Semuanya sia-sia dan sudah sepantasnya Jee menjalani hidup lebih berguna lagi selain menangkap bayangan tentang Yaonna. Percuma! Sampai tahun ke tahun Jee mendekam di dalam lamunan indah malam di lereng gunung Eiger.      Jarak 289 kilometer Berlin menuju Hamburg ditempuh dengan waktu singkat. Jee membanting pintu mobil dan melempar kunci ke anak buahnya.      "Pastikan tidak ada yang menggangguku!" ucap Jee ingin waktunya lebih santai.      "Tapi tuan Lucky terus menghubungi saya tuan! Ada sesuatu yang sangat penting, dan Anda harus ke kantor sekarang!" jawab asisten pribadi Jee.      Tidak ada yang lebih penting selain menikmati suasana santai Jee hari ini. Sebuah massage sudah menggelayut di pikiran tetapi mendengar urusan kantor, Jee seketika frustasi.      "Jika Lucky menelpon, katakan aku banyak urusan hari ini! Dan jangan sekali kau mengganggu! Aku ingin rileks sebentar!" aturan Jee tidak bisa dielakkan.      "Tetapi... Sedang ada acara penting yang berjalan di JE'O, ada tamu-tamu penting Anda dan... Wanita itu."      Jee berhenti melangkah. Ia menoleh ke arah pria dengan nama panggilan Rd. "Wanita itu? Wanita yang mana?"      "Tentu pemilik lentera itu tuan!" Rd memperjelas.      Bullshit! Jee melengos pergi dan tersenyum remeh karena hal itu mustahil.      Tapi tunggu! Di tangga area parkir apartemen menuju kamar, Jee berpikir tentang festival di Berlin dan kontes. Semua memiliki hubungan. Ya, tentunya Jee mengingat jika inisial Y adalah fotografer. Tidak menutup kemungkinan dan itu tugas besar yang semestinya Jee melakukan usaha untuk datang jika memang wanita cantik berambut sebahu itu hadir di JE'O.      Seolah seperti pria t***l Jee kembali merebut kunci dan melupakan jadwal santai hari ini. JE'O menjadi salah satu pilihan Jee untuk melakukan kegiatan penting selanjutnya. Meski Jee tahu semua itu belum dipastikan kebenarannya namun bagi Jee tidak akan ada kesempatan satu pun yang terlewatkan, jika semuanya salah Jee sudah mulai terbiasa dengan kegagalan.      Rasa lelah belum juga hilang sampai Jee harus melakukan perjalanan lagi ke kantornya yang berjarak sekitar 15 kilometer dari apartemen. Kecepatan mobil pun tidak terhingga karena acara kontes tahunan di perusahaan sudah berjalan sekitar 2 jam lamanya. Bayangan wajah itu terus mengendap di benak Jee sampai mobil sudah bertengger di atas lantai dingin tempat parkir.      Alih-alih waktu sudah terkuras banyak Jee lekas berlari ke tempat acara kontes berlangsung. Jee melamun banyak hal mengenai inisial Y di dalam lift sampai di koridor perusahaan ke arah ruangan khusus. Karena gejolak itu tidak mengontrol pikiran akhitnya Jee seperti anjing liar yang menyerobot masuk ke ruangan. Semua orang terkejut akan kehadiran Jee yang tiba-tiba, apalagi saat itu Jee terlihat berantakan hanya dengan mengenakan sweater hitam dan celana jeans berlubang di bagian lutut. Bukan penampilan elegan dan berwibawa seperti biasanya.      "Jee!" sedikit berteriak Lucky menarik lengan Jee.      "Apa-apaan sih kamu? Nafsu jangan dibawa kerja dong! Liat, ini kantor! Hormati diri kamu sebagai pemilik perusahaan!" Lucky terlihat sangat kesal saat memandangi penampilan Jee.      "Mana dia?" Jee tidak sabaran.      "Siapa?"      "Gadis itu," Jee terus menoleh ke sepenjuru ruangan. "Mana dia?"      Menjadi pria bodoh selama enam tahun rasanya tidak cukup karena Jee masih tidak waras saat mencari keberadaan inisial Y di antara kursi-kursi para tamu. Dari baris pertama hingga deretan ketiga kursi tamu dan kandidat, Jee masih tidak menemukan di mana Yoanna berada. Namun menyerah bukan situasi yang harus Jee pilih tetapi di deretan kursi terakhir usaha Jee sia-sia, tatapan orang-orang pun tidak dipedulikan.      Kedua tangan Jee terangkat sampai ujung kepala dan Jee meremas-remas rambutnya. Ia membungkuk untuk melihat setiap keringat yang menetes tak berguna, Jee merasa dipermainkan oleh harapan karena gagal untuk kesekian kali mencari Yoanna. Hari yang sudah sangat menyiksa Jee memilih berdiri dan masih menatap lantai beralaskan karpet biru sampai terngiang jika sudah cukup Jee menjadi b***k masa lalu.      Dari lain arah pintu ruangan lain yang secara langsung menembus aula khusus kontes Yoanna keluar untuk memberikan hasil karyanya, ia merasa gugup saat berada di depan para tamu dan kandidat kelas atas. Tangan Yoanna gemetar memegang alat pengeras suara saat akan membe sedikit berpidato.      "Selamat siang Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya! Perkenalkan, saya peserta no.30. Nama saya Yoanna Marcella umur 26 tahun berasal dari Indonesia." sambut Yoanna pada pembukaan pidatonya.      "Pengalaman saya tidak terlalu banyak dibanding para senior saya. Terutama untuk Tuan Arnold, saya sangat termotivasi dengan karya beliau. Hasil kerja keras dan memang beliau seorang..."      Tenggorokan Yoanna tercekat. Ucapan yang sudah terangkum di dalam kepala hilang begitu saja saat Yoanna menemukan tatapan itu tepat di depannya, berjarak sekitar sepuluh meter.      Dua bola mata saling bertemu dalam keterasingan masa. Jee dan Yoanna saling menyadarkan diri jika ini bukan mimpi namun tatapan keduanya mulai menggelap karena mengulas malam enam tahun lalu. Satu sisi tatapannya mulai merasa jengah meski sudah lama hal itu berlalu, di sisi lain manik matanya berbinar menerjang harapan berubah menjadi ambisi. Mereka masih menuangkan rasa tidak percaya sampai keduanya sadar saat alat pengeras di tangan Yoanna terjatuh.      Tidak ingin merusak suasana Yoanna meraih alat pengeras meski sebenarnya Yoanna ingin segera enyah dari sana. Rasa gugup dan seluruh anggota tubuh Yoanna gemetar namun Yoanna berusaha profesional meski Jee terus mendekap dengan pandangan lain.      Kata demi kata Yoanna rangkai kembali memberikan definisi objeknya meski perasaannya tiba-tiba mengarah ke Shaila. Entah situasi ini sangat mengunci pikiran, Yoanna berubah menjadi takut karena mulai berandai-andai jika Jee akan menemukan Shaila. Jujur Yoanna merasa waktu telah berubah saat menemukan tatapan Jee di tempat yang berbeda di kota Hamburg.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD