11. Kandas

1592 Words
     Alasan apapun sudah dirancang meski Yoanna tampak buruk di depan sahabatnya. Bukan tidak ingin menyesal karena Yoanna sudah menyembunyikan identitas Shaila di depan orang kantor, kejadian saat Yoanna memperkenalkan kepada sesama rekan fotografer bahkan para model jika Shaila adalah keponakan. Yoanna merasa lebih aman dan seakan tidak perlu mengkhawatirkan Jee akan menemukan fakta siapa Shaila sebenarnya. Ya, itu lebih baik.      Sambil memainkan ujung bara rokok di asbak meja dapur kantor, Yoanna rutin menilik wajah dan langkah Thalita kesana-kemari. Yoanna tahu apa yang akan Thalita katakan soal Shaila.       Menit beriringan pergi Yoanna masih belum mendengar satu patah kata pun dari Thalita. Lalu Yoanna bangkit sambil merampas gelas karton untuk diisi dengan kopi panas. Sambil berdiri di depan alat pembuat kopi Yoanna tidak mengurangi pandangannya kepada Thalita.      Solusi agar Yoanna tidak mengikuti telepati yang selalu ngawur, Yoanna bertanya, "Kok dari kemarin kamu diemin aku sih Li?"      "Kenapa? Kamu ngerasa sekarang Eh? Dari kemarin kamu juga pura-pura nggak tau tuh, mau aku marah kek, mau aku gimana juga kamu kan emang nggak pernah peduli Yo." jawab Thalita dengan nada meninggi.      Kopi yang sudah mengeluarkan aroma nikmat tiba-tiba hilang, Yoanna kaget saat mendengar jawaban Thalita. "Ih kok kamu ngomongnya gitu sih Li? Aku nggak peduli gimana? Aku kemarin bener-bener sibuk, pulang nggak sempet nyapa atau ngobrol sama kamu. Maaf Li, aku capek banget dari kemarin."      "Sibuk ngerancang akting lagi di depan anak-anak kantor? 'Oh ini siapa ya yang belum dikasih tau tentang Shaila? Siapa lagi ya yang kudu tau kalau Shaila itu keponakan aku?' " Thalita sengaja sok tahu tentang isi hati Yoanna.      Hawanya terlalu dingin dan mulai membuat suasana tidak nyaman. Yoanna merasa tercabik namun berupaya seperti biasa dan seolah tidak terjadi hal berarti, Yoanna ingin sedikit tenang dan lebih memilih menggoda Thalita dengan melempar gelas karton kosong ke arah Thalita.      "Oh itu," Yoanna menyesap kopi hitamnya. "Nggak gitu Li, aku cuma nggak mau Shaila itu stres karena nanti pasti anak-anak itu kepo dan nanya tentang ayahnya. Jadi ya..,"      Walau tidak sanggup meneruskan Yoanna masih mengatur napas saat hampir menumpahkan air mata. "J--jadi aku... Ya--"      "Apa? Kasih alasan kalau Shaila itu keponakan kamu? Bukan anak kamu hah?!" tandas Thalita dengan kedua mata terbuka lebar dan berkacak pinggang.      "Terus kalau tiba-tiba anak kantor atau Pak Lucky itu nanya sama Shaila tentang identitas yang dianggap ponakan kamu itu gimana Yo? Hm. Kamu punya penjelasan bijak apa buat Shaila?" tutur Thalita seketika membungkam mulut Yoanna.      "Pernah nggak kepikiran sampai ke situ kamu hah?"      Yoanna tertunduk dan menggeleng. "Um... A--ku nggak pernah kepikiran sampai ke situ Li, maafin aku."      "g****k!" sentak Thalita pergi begitu saja.      Gelas yang sempat Yoanna lempar sengaja diinjak oleh Thalita. Semurka itu Thalita menanggapi kebodohan Yoanna, bahkan tidak ada alasan yang ingin diterima meski sebenarnya Yoanna tidak bermaksud demikian. Pengakuan palsu yang tempo hari tidak terencana dan memang Yoanna takut jika kabar tentang Shaila sampai terdengar di telinga Jee. [...]      Angin yang terasa segar menerpa bulu lebat pada area kelopak mata Yoanna telah menandakan penantian sangat melelahkan. Bagaimana tidak? Sudah sekitar tiga puluh menit menunggu di tengah-tengah kawasan Hafencity, tapi taksi yang Yoanna pesan dari salah satu aplikasi uber tidak menunjukkan tanda. Bahkan titik merah pada gps tidak menunjukkan satu pun mobil ke arahnya.      Karena matahari sudah mulai merunduk malu di balik suasana yang mulai sore Yoanna memutuskan untuk berjalan kaki. Di dalam pikirannya mungkin saja ada taksi yang akan lewat, tapi tetap saja Yoanna harus berjalan kaki sampai hampir 1 kilometer menuju apartemen Thalita.      Meski sebenarnya bertemu dengan sahabatnya itu merupakan hal yang tidak nyaman akhir-akhir ini, tapi tabungan Yoanna belum bisa memenuhi biaya sewa apartemen di Hamburg. Belum lagi dengan biaya obat yang harus ditebus, sepertinya Yoanna butuh tenaga dan tambahan jam kerja untuk menyanggupi itu semua.      Sekitar pukul lima sore waktu sekitar Yoanna beristirahat sampai akhirnya harapan terkabul dan satu taksi lewat di depannya. Tidak pikir panjang Yoanna langsung menghentikan taksi dan menyuruh sopir untuk mengantarnya pulang ke daerah sekitar Universitas Hafencity.      Dari kejauhan mobil merah bernomor polisi sudah siap mengintai dari belakang taksi. Jee mengamati ke mana arah taksi pergi dan sedikit menjaga jarak agar Yoanna tidak curiga. Sampai beberapa menit Jee masih berkeniatan untuk tahu di mana tempat tinggal Yoanna saat ini. Dan tidak lama taksi berhenti di salah satu perkampungan tidak terlalu rame dan terlihat bersih.      Masih memperhatikan daerah sekitar, Jee merasa tidak ingin membiarkan Yoanna hidup dalam keterbatasan fasilitas. Jadilah saat Yoanna keluar dari taksi dan mulai berjalan ke salah satu gang kecil, Jee tetap mengikuti Yoanna. Pelan Jee menatap beberapa rumah yang ada di sana, lalu Jee berhenti saat Yoanna mulai mengambil kunci dari dalam ransel.      "Bunda."      Bukan hanya Yoanna namun Jee seketika menoleh ke arah di mana pembatas jalan dan gang itu berada. Teriakan kecil itu berasal dari Shaila, dan hari itu Jee tidak melupakan wajah cantik gadis kecil yang ia temui di festival.      "Hai Bunda." ulang Shaila berlari ke arah Yoanna.      Belum sampai Shaila memungut rasa suka karena Yoanna sudah kembali, tapi Shaila berhenti karena melihat Jee mematung di antara pot besar sebagai tempat Jee sembunyi dari Yoanna.      "Om Superman?" Shaila mendongak. Berharap agar Jee mengatakan sesuatu.      Antara Yoanna atau Jee saling mengikat tatapan. Satu mencoba berharap agar Shaila tidak mengatakan hal berarti, namun Yoanna terlambat saat ia menghalangi karena Jee berada di depan Shaila. Seketika Yoanna merasakan kakinya lemas, menangis karena ia melihat Jee mengusap wajah Shaila.      "Hai Sweety, kok kamu ada di sini?" sapa Jee membelai lalu memegang hiasan cantik di rambut panjang Shaila.      "Aku baru aja belanja sama tante Superman." jari telunjuk Shaila mengarah di mana Thalita berdiri.      "Sore Pak?" ucap Thalita memperhatikan wajah Yoanna. Thalita berharap agar Yoanna tidak memperluas kebohongan mengenai Shaila.      "Ya." Jee bangkit namun tiba-tiba Shaila menggenggam jari manisnya.      "Om mau ke mana?" tanya Shaila penuh harap.      "Um... Om mau..."      "Ikut makan malam kita aja Pak! Tadi saya udah belanja banyak loh, anggap aja kita nyambut Bapak gitu. Ya kan Yo?"      Yoanna tidak memiliki nyali penuh untuk menjawab 'ya' saat Jee terus mengamati Shaila. Lalu tidak disangka Jee menggendong Shaila.      "Siapa namamu?"      "Shaila Marcella Om."      Marcella? Hampir Jee melontarkan pertanyaan tentang nama panjang Shaila, tapi itu sudah cukup untuk telinga Jee mendengar pengakuan dari Shaila. Apalagi saat jemari Shaila melambai ke arah Yoanna kemudian mengulangi panggilan 'Bunda' kepada Yoanna.      Pelan Jee mengonsumsi semua canda Shaila saat ingin mendapat perhatian khusus kepada Yoanna. Tidak lama Jee memiliki ide lain dan menginginkan jawaban lebih.      "Kamu belanja apa aja hm? Pasti beli banyak boneka 'kan?" tanya Jee bukan semata basa-basi.      Shaila menggeleng sambil mengutak-atik kancing mantel Jee. "Kata Bunda Shaila harus berhemat. Nggak boleh banyak..."      "Um... Sayang! Sini turun," tetiba Yoanna merampas Shaila dari Jee. "Kamu nggak boleh lama-lama diluar, kan dingin."      Sontak Jee menjauh. Yoanna mengerjap karena beranggapan Jee akan melakukan hal lain. Tapi nyatanya Jee tersenyum manis dan mengecup pipi Shaila.      "Kamu mau nggak main-main sama Om?" tawaran Jee bukan bualan semata.      "Maaf, Shaila harus... Em..."      "Shaila mau 'kan? Ngajak Om main kapan-kapan ke rumah Shaila?" Jee mengulangi pertanyaan untuk Shaila.      Rasa senang Shaila tumbuh. Ia mengangguk cepat seakan tidak ingin meninggalkan keputusan Jee.      "Ya pasti boleh dong Om. Kan Om temen Shaila." tutur Shaila masih dengan raut polos dan memainkan kancing baju Jee.      "Wah. Asyik!" Jee melirik wajah Yoanna yang terlihat cemas. "Nanti kita bisa main sama-sama ya? Oh iya, kamu nggak ingin kenalin Om ke ayah kamu hm?"      Semua orang terdiam. Shaila mengamati mulut Jee kemudian melihat wajah Yoanna. Gadis cantik itu nampak bingung dengan jawaban yang harus diberikan. Shaila hanya bisa tertunduk tanpa ingin mengungkapkan sesuatu.      "Sayang, ayo?" ajakan Yoanna berhasil. Shaila menuruti perintah Yoanna.      Kemudian Jee mematung melihat Yoanna menggendong Shila. Apa yang barusan Jee lihat dan dengar masih tidak bisa dicerna secara baik, Jee terlihat kecewa karena ternyata Yoanna telah berkeluarga. [...]      Rasa penasaran bukan hanya patokan melainkan Jee menyimpan sejuta tanya dalam pikiran tentang Shaila dan Yoanna. Bukankah waktu itu Yoanna mengakui jika dirinya masih lajang? Lalu mengapa ada Shaila? Apa Yoanna dan Shaila sebatas anak dan orang tua asuh saja? Ah sialnya Jee hampir gila dengan semua ini.      Kursi yang biasanya terasa nyaman berubah kejam seakan menusukkan duri tajam di setiap ruas tubuh. Jee mengendurkan dasi lalu melemparkan sepatu ke sembarang tempat. Hatinya kacau, Jee merasa semua yang dinanti sia-sia.      "Bos." suara Ira tiba-tiba memekakkan telinga Jee.      "Eike bawa berita gembira buat Bos. Gini," Ira memberi pijatan di tengkuk Jee. "Jadi... Besok Mami nya Bos nyampe di Jerman."      Sama sekali Jee tidak terkejut. Apalagi Jee paham jika ibunya hanya akan datang ke Jerman jika ada sesuatu yang penting.      "Terus?" tanya Jee ingin memastikan jika Ira sudah selesai berbicara.      "Aku tadi nanya si Tawon katanya Mami bos bakal percepat pertunangan kalian," Ira menampar wajahnya sendiri. "Salah! Bukan, maksud aku mempercepat pernikahan kalian."      Kedua alis Jee saling menaut. Sikapnya terlalu santai untuk menerima berita yang seharusnya tidak perlu Jee dengar. Terutama pernikahan. Jee sudah malas mendiskusikan masa depan apalagi dengan pendamping.      Tidak lama setelah Ira berkicau tanpa ada rem yang mengontrol, Jee berjalan sambil menyampingkan jas ke pundak. Satu demi satu anak tangga mulai merontokkan semangat Jee. Bukan tentang kebencian melainkan Jee merasa telah menyadari kebodohannya selama 6 tahun terakhir. Dalam pikiran Jee ingin merampas Yoanna dari kehidupan di dalam prasangka Jee namun demikian wajah cantik gadis kecil itu membuat Jee ingin mengadopsi Shaila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD