***
"Karena mungkin, apa yang terjadi udah direncanakan dari sananya. Meskipun gue nggak mau, kalo udah takdirnya, gue bisa apa?"
~Radiska Agatha Mahardika~
***
"Tha, kata Atlan gue mau diajak ketemu sama orang yang penting di hidupnya. Kira-kira siapa ya?" tanya Kay.
Atha sedikit tersenyum. Kay sudah tidak marah padanya. Tapi ia juga heran, siapa orang yang penting dalam hidup Atlan?
Kenapa pula Atlan mengajak Kay untuk ... ah, belum selesai pertanyaan dalam otaknya, Atha sudah tahu jawabannya lebih dulu.
Tentu saja karena Kay juga termasuk orang yang penting, 'kan? Lagipula apa hak Atha bertanya hal seperti itu? Memalukan.
"Oh, kapan?" tanya Atha semangat. Ia tidak ingin Kay ngambek lagi.
"Enggak tau sih ... katanya minggu-minggu ini aja," jawab Kay.
Atha mengangguk-angguk paham.
"Tha, bikinin s**u dong," pinta Kay.
Atha mengangguk lalu keluar dari kamar luas Kay, berjalan menuju dapur.
Namun langkahnya terhenti kala melihat tiga cowok sedang duduk di ruang tamu.
"Jadi ini rumah Kay juga? Kok bisa kalian serumah, sih?" tanya Heru heran.
Agra tampak berpikir cepat. "Gue sama Kay sodaraan."
"Yee kenapa nggak bilang dari dulu k*****t!" protes Atlan. Agra mengangkat bahu.
Atha melanjutkan perjalanannya yang sempat terhenti. Tapi detik berikutnya ia tersentak kaget saat seseorang memanggilnya, "Atha! Itu lo, 'kan?"
Atha masih belum balik badan. Ia menggigit bibir bawahnya. Bagaimana ini?
Perlahan, Atha memberanikan diri menghadap ruang tamu. Dilihatnya Agra sedang menatap dirinya dengan pandangan lurus dan tajam.
Atha meneguk ludah. "Ya?"
"Lo di sini juga? Bukannya lo tetangganya Agra, ya?" tanya Atlan.
"Gue ... gue ... ah, ya, lagi main sama Kay," jawab Atha tersendat.
Atlan dan Heru tampak manggut-manggut.
"Lo mau ke dapur? Sana sekalian bikinin buat Atlan sama Heru," perintah Agra.
Atha mengangguk. "Kalian minum apa?"
"Apa aja. Kalo yang bikin manis mah, racun pun gue minum!" gombal Atlan.
"Jijik! Lo di mana-mana gombal, gue yang merinding, nying," cibir Agra sembari menggeplak kepala Atlan.
"Tau, si Atlan kerjaannya gombalin anak orang mulu!" Heru ikutan menggeplak kepala Atlan.
"Heru, sadar diri lo!" sinis Atlan.
Atha tersenyum mendengar candaan ketiganya. "Tunggu, ya." Lalu ia melengang ke arah dapur.
***
"Ada Atlan, tuh, di bawah," kata Atha setelah memberikan segelas s**u pada Kay.
Kay tersedak. Atha mengelus punggung sahabatnya itu. "Beneran?"
Atha mengangguk sekali.
"Temenin yuk."
Kay segera menarik tangan Atha. Mereka berdua turun dan beranjak ke ruang tamu.
"Halo, Kay!" sapa Heru.
"Hai," balas Kay.
"Oh, ya, Kay, gimana kalo perginya hari Sabtu aja?" tanya Atlan. Kay langsung mengangguk antusias.
Sedangkan Heru mengernyit heran. Bukankah Atlan sedang dekat dengan Atha? Tapi kenapa mereka merencanakan akan pergi di depan Atha?
"Loh, loh, loh. Bentar deh. Kok jadi lo sama Kay yang jalan? Bukannya lo sama Atha—"
"Gue sama Atlan nggak ada apa-apa kok, Her," sela Atha.
Agra sejak tadi diam memperhatikan sikap Atha. Ia tahu persis apa yang tengah dirasakan Atha.
"Oh, gitu. Jadi bener ya, lo cuma main—"
Belum selesai berucap, kepala Heru sudah lebih dulu ditabok oleh Atlan. Tetapi Atha paham betul apa yang hendak Heru katakan.
"Gue balik dulu, ya," kata Atha.
"Loh, buru-buru? Sini dulu, kumpul-kumpul sore," tawar Atlan.
Atha menggeleng sembari tersenyum. "Enggak, deh. Duluan."
Atha melengang dari ruang tamu yang sedang dipenuhi gelak tawa.
***
"Atha!" teriak Kay heboh.
Atha yang sedang mengerjakan PR terlonjak kaget. "Kenapa?"
"Ini, loh!"
Kay menunjukkan ponsel mahalnya pada Atha. Di sana terdapat roomchatnya dengan Atlan.
"Masa Atlan bilang suka sama gueeeeee!" pekik Kay sambil melompat-lompat di atas kasur Atha.
Dadanya bergemuruh. Aduh, Atha ini kenapa sih?
"Oh, ya? Wah, bagus dong!" ucap Atha antusias, atau tepatnya pura-pura antusias?
"Iya, ih, gue seneng banget!"
Atha tersenyum tipis. Ia suka melihat Kay bahagia seperti ini. Namun ... kenapa ada secercah rasa yang mengganggu Atha?
"Udah, udah, sana tidur. Besok ketemu Atlan, loh. Kalo nggak tidur nanti mata lo kayak panda, mau?" Kay refleks menggeleng.
"Ya udah gue balik ke kamar dulu, ya, dadah Atha!"
Kay mencium pipi Atha sekilas. Atha tersenyum mendengar Kay berbisik, "Mimpi indah."
Lantas Kay keluar dari kamarnya setelah menutup pintu berwarna putih itu.
Atha terdiam sembari menatap pekerjaan rumahnya yang masih banyak. Ia sudah tidak berminat melanjutkannya. Biarlah, lagipula tugas itu dikumpulkan lusa.
Baru saja Atha hendak beranjak dari duduknya, suara derit pintu terdengar. Atha kira itu Kay, jadi ia langsung menoleh.
Matanya seketika melebar ketika tahu seseorang yang masuk ke kamarnya itu Agra.
Atha menunduk. Pasti Agra hendak membahas masalah tadi sore. Laki-laki itu berjalan memasuki kamarnya.
"Sampe kapan lo bakal ngalah terus sama Kay? Enggak puas harga diri lo diinjak Lolita hari itu? Jadi orang enggak usah sok suci sama sok baik deh. Munafik tau enggak?" tukasnya tajam.
Atha mengernyit tak mengerti. "Maksudnya?"
"Gue denger semuanya. Yang Kay omongin tadi."
"Iya, terus kenapa?"
"Lo cemburu, 'kan sama Kay?" tanya Agra telak.
Atha diam. Ternyata arah pembicaraan ini bukan kejadian tadi siang. Ia mengembuskan napas lega. Tapi ia juga terbebani oleh pertanyaan Agra.
Bukankah seharusnya jawabannya adalah tidak? Tapi tunggu. Batinnya berkata lain.
Hampir saja Atha menyuarakan isi hatinya, otaknya teringat kata-kata ibunya 10 tahun silam.
***
Flashback on.
"Radi di mana, Diska?" tanya ibu seorang gadis.
"Main sama Kay," sang gadis menjawab seadanya.
"Sini Ibu bilangin."
Sang gadis mendekat ke arah ibunya. "Kenapa, Bu?"
"Nanti, kalau Diska sudah besar, jangan lupa berterima kasih sama mama dan papa, ya? Jangan nakalin Kay. Pokoknya Diska harus terus bareng sama Kay, turuti kemauan Kay, dan jangan jahatin dia. Walaupun nanti, Kay jahat sama Diska, Diska enggak boleh dendam dan ikut berbuat jahat, ya? Itu berlaku buat semua orang. Jangan dendam sama orang lain, enggak baik. Pokoknya Diska harus jadi orang yang baik. Paham, Diska?"
Sang gadis mengangguk patuh.
"Tapi, Ibu ... kenapa Diska harus terus sama Kay? Kay, 'kan, bukan saudaranya Diska," celoteh gadis berumur 7 tahun itu.
"Karena kamu memang sudah ditakdirkan buat melindungi Kay. Apa pun yang terjadi, jangan tinggalin Kay, kecuali Kay yang minta, ya? Kamu harus ngalah sama Kay. Apa pun alasannya," jawab sang ibu.
"Takdir itu apa, Bu?"
"Nanti kalau kamu besar, kamu pasti tahu. Sudah sana, ikut main sama Radi dan Kay."
Sang gadis mengangguk. "Diska main dulu, Bu!"
Mulai saat itu ... semua yang diucapkan sang ibunda melekat kuat di hati sang gadis.
Atau dengan kata lain ... si gadis dipenjara oleh aturan dan macam-macam kata 'harus'. Sang ibu tak tahu jika yang diucapkannya hari itu akan berdampak besar bagi kepribadian putrinya.
Tidak seperti harapannya dahulu.
Flashback off.
***
"Tha?" panggil Agra.
Atha tersentak. Ternyata ia melamun.
"Lo cemburu sama Kay?" ulang Agra.
Atha menggeleng setelah menghela napas panjang. "Enggak, Gra."
"Ya udah, gue ganti pertanyaannya. Kenapa lo selalu ngalah sama Kay?" tanya Agra.
Atha diam sebentar. "Karena mungkin, apa yang terjadi udah direncanakan dari sananya. Meskipun gue enggak mau, kalo udah takdirnya, gue bisa apa?"
"Enggak usah bohong. Gue tau alasan lo bukan itu," kata Agra memojokkan Atha.
"Enggak, Agra."
Agra berdecak. "Munafik."
Lalu Agra keluar dari kamar berukuran 4×4 meter itu.
Atha menghempaskan tubuhnya keatas kasur. Ia menghela napas lelah.
Banyak kejadian hari ini yang menguras hati dan pikirannya.
Saat mata Atha hampir terpejam, sayup-sayup ia mendengar ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi. Atha membukanya.
Atlan Jodohnya Atha
Hai Jodoh!
Iya.
Udah tidur?
Belum.
Lagi mikirin gue, ya?
Nggak.
Kok cuek sih ... 'kan jadi sayang.
Atha hanya membaca pesan terakhir Atlan. Apa maksudnya Atlan chat seperti itu?
Tidak berarti Atha baper, justru ia bingung. Bukankah Atlan dekat dengan Kay? Kenapa masih mengirim pesan pada Atha?
Lalu tiba-tiba Atha tertawa hampa.
Jangan-jangan selama ini ia hanya kegeeran? Ya bisa saja. Bukankah Atlan memang playboy?
Tunggu. Memang selama ini Atha kenapa?
Tanpa basa-basi, Atha segera memakai selimut hingga ke kepalanya. Ia ingin segera tidur agar ia bisa terhindar dari kehidupannya saat ini. Walaupun hanya sementara.
Atha akui, ia pengecut. Ia selalu lari dari kenyataan. Tapi, jika tidak begitu, apa yang bisa dilakukannya? Rasanya tidak ada. Tertawa pun serasa tak pantas.
Satu lagi. Ia harus memberitahu Kay soal ini. Ia tak ingin Kay sakit hati karena Atlan nantinya. Karena sudah tugasnya, menjaga dan melindungi Kay, seperti kata ibunya dahulu.
***