Bukankah tidak dianggap itu menyakitkan?
***
Di kamar sederhana yang tidak terlalu luas, seorang gadis duduk melamun dekat jendela. Belakangan ini hidupnya terlalu datar, seperti biasa. Dia tidak tahu bahwa kisahnya baru akan dimulai. Rentetan masalah akan menghantuinya setiap hari. Sebuah panggilan membuyarkan lamunannya. "Athaaaa!"
Yang dipanggil segera menoleh dan menampilkan senyum lebar. "Eh, Kay."
"Ngelamun mulu!" Kay menggerutu kesal karena lawan bicaranya ini kadang suka melamun tidak jelas. "Atha, udah siap? Gue chat lo, tapi lo offline."
Atha segera mengangkat sebelah alisnya. "Ngapain?"
"Ish, 'kan, tadi gue udah bilang mau ketemu Cakra!" Kay mendecak, "lo juga udah janji mau nemenin gue."
"Cie yang mau ketemuan sama mantan!" Atha meledek. Yang diledek tambah cemberut. Atha menghela napas, lalu tersenyum. Kay sangat suka mengambek karena hal sepele, tetapi Atha tidak pernah keberatan. "Enggak lupa, kok. Gue ganti baju dulu."
"Oke, dandan yang cantik, biar dapet gebetan! Gue juga mau siap-siap dulu. Nanti kalo udah langsung ke garasi aja, ya?"
Atha hanya tersenyum tipis menanggapi. Kay keluar dari kamarnya. Beberapa menit setelah itu, seseorang masuk ke ruangan mini yang dia tempati. Wanita paruh baya dengan wajah lelah terpancar. Dialah Ani---ibu Atha. "Mau ke mana, Tha?"
Atha memilin ujung pakaian, berujar dengan hati-hati agar ibunya tidak marah. "Mau nemenin Kay keluar, Bu, boleh?"
"Kamu jangan ngerepotin Kay, jangan bikin dia malu, kamu harus sadar, kamu siapa," ujar Ani.
Atha diam-diam berusaha menahan diri agar tidak menghela napas dan bersikap tidak sopan. Dia harus kembali sadar akan hal itu. "Iya, Atha selalu paham."
"Ya sudah, Radi di mana?"
"Enggak tau, tadi keluar naik motor."
Ani menepuk jidatnya pelan. "Tolong kamu bilangin juga sama Radi, dia udah diberi fasilitas, jadi tolong jangan lupa berterima kasih dan jaga sikap." Ani melengang pergi, meninggalkan Atha yang hendak bersiap. Dia membuka lemari usang di sudut kamar, mengambil sebuah kaus lengan panjang dan celana kulot tiga per empat.
***
"Hai, Cakra!" panggil Kay senang.
Cakra balas menyapa, "Hai, sini duduk."
Kay memosisikan dirinya di hadapan Cakra. Sedangkan Atha duduk di meja lain, tak ingin menganggu dua orang tersebut. Toh, dia di sana memang hanya untuk menemani Kay, bukan ikut ketemuan dengan Cakra.
"Itu Atha enggak diajak ke sini aja? Kasian sendirian," ucap Cakra.
Kay mengangguk menuruti ucapan Cakra. "Atha, sini!"
Yang dipanggil menoleh, lantas menggeleng kecil. Atha hanya mengangkat jempolnya tanda dia tidak apa-apa duduk sendirian. Atha sengaja memilih tempat di bagian pojok kafe, agar dia tidak terlalu ngenes dengan melihat pasangan muda-mudi yang duduk berdua.
"Sendiri aja?" tanya seseorang yang Atha kenal siapa dia. Ah, tidak akrab sampai tahu segala tentangnya, Atha hanya tahu sekelumit saja. Dia Garis Lintang Atlanta, Atlan dipanggilnya. Namanya aneh, tetapi Atha menyukainya. Ehm, suka namanya. Atlan tidak menjabat sebagai apa pun di sekolah. Baik ketua OSIS, kapten futsal, pemimpin basket, ataupun jabatan-jabatan bergengsi lainnya.
Atha tahu informasi seperti itu dari Kay, karena Kay punya banyak relasi, dia pasti akan mengetahui hal-hal yang sedang menjadi hot gossip, terutama tentang kelakuan Atlan dan teman-temannya. Walaupun sudah memasuki tahun kedua di sekolah SMA Permata, baru kali ini Atha bicara langsung dengan Atlan.
"Lah, malah bengong." Atlan terkekeh.
Atha menatap Atlan canggung. "Eh, sori."
"Enggak papa. Boleh duduk enggak?" tanya Atlan.
Atha menarik satu alisnya ke atas. "Bukannya itu udah duduk?"
Atlan cengengesan. "Tadi cuma izin, kok, biar dibilang sopan gitu." Atha geleng-geleng kepala sembari mengulum senyum. "Udah pesan minum belum?"
Melihat gelengan dari kepala Atha membuat Atlan memanggil salah satu pelayan kafe. "Mau pesen apa? Gue yang bayar."
"Enggak per--"
"Ribet, buruan pesen!" pinta Atlan setengah memaksa.
"Milkshake oreo aja," kata Atha.
Atlan menambahi, "Gue espresso satu."
Tak lama pesanan datang. Atlan meniup minuman tersebut sebelum menyesap espresso-nya yang panas. "Lo suka oreo?" tanya Atlan.
"Enggak terlalu, but it's better than coffee."
"Lebih suka mana, gue apa oreo?" tanya Atlan lagi.
"Ya oreo, lah," jawab Atha jujur.
"Ye, bohong sedikitlah, biar gue seneng." Atlan mengerucutkan bibirnya. Atha terkekeh.
Ternyata memang benar, Atlan enak diajak ngobrol, orangnya tidak kaku dan suka bercanda.
"Tuh, bengong lagi."
"Eh, maaf." Atha menggaruk tengkuknya.
"Mikirin gue, ya?" tanya Atlan menaikturunkan alis tebalnya.
"Iy--eh, enggak!" Atha segera mengelak. Hampir saja ia keceplosan.
Terlambat, Atlan sudah mendengarnya. "Cie mikirin gue." Atha mengalihkan pandangan matanya-malu.
"Sori sebelumnya, gue pernah liat lo tapi enggak tau nama lo. Lo juga sekolah di Permata, 'kan?" tanya Atlan yang diangguki oleh Atha. "Wuih, tajir dong!" celetuk Atlan sambil terkekeh.
Mungkin candaan bagi Atlan, tetapi bagi Atha ... ida menghela napas ringan, sejurus kemudian ikut terkekeh. Fyi, SMA Permata adalah sekolah swasta yang cukup terkenal. Terkenal karena muridnya yang rata-rata pintar, bertampang lebih, dan kaya. Jadi jangan heran jika banyak yang bilang SMA Permata adalah sekolahnya anak-anak berduit.
"Nama lo?" Atlan mengulurkan tangan kanannya, mengajak Atha salaman.
"Radiska Agatha Mahardika, Atha aja biar gampang." Atha membalas uluran tangan Atlan.
"Nama kita hampir mirip. Atlan sama Atha, apa jangan-jangan kita jodoh?" Wajah Atlan dibuat dramatis ibarat baru saja menemukan sebongkah berlian di padang pasir, oke, skip.
"Dih." Atha terkekeh melihat reaksi Atlan. Sebenarnya dia juga baru ngeh dengan nama mereka yang agak mirip.
"Yah, kok reaksinya gitu? Padahal kalo gue gombal ke cewek yang lain, rata-rata pada baper."
Atlan merengut kala gombalannya hanya dibalas kekehan kecil oleh Atha. "Yah, terus gimana dong, gue, 'kan enggak kayak cewek yang lain," sahut Atha.
"Ututu, ternyata lo jago gombal, makanya kebal gue gombalin." Atlan tertawa, disusul Atha. "Btw, nama lo sama kayak Agra sahabat gue deh. Ada Mahardika gitu belakangnya," ujar Atlan.
Astaga. Atha lupa hal itu. Ia mulai gelagapan. "Gue--"
"Lan!" panggil sesosok laki-laki yang tiba-tiba menepuk pundak Atlan. Laki-laki itu mirip dengan Atha. Matanya, hidungnya, alisnya, bibirnya. Bisa dibilang, ia adalah Atha versi laki-laki. Atha terkejut melihatnya. "Ayo, udah ditungguin sama yang lain, lo malah apel sama Atha," ucapnya tanpa menoleh ke arah Atha.
"Eh, lo juga kenal Atha?" tanya Atlan.
Laki-laki itu tampak berpikir cepat. Lantas mengangguk sekilas. "Dia anggota OSIS, 'kan? Lagian, dia tetangga gue."
Nyut. Hati Atha sedikit nyeri mendengar pernyataan cowok itu. Dia hanya dianggap sebagai tetangga. Ha-ha-ha, tetangga?
"Oh, gitu." Atlan tampak manggut-manggut.
"Ayo."
"Bentar. Tha, boleh pinjem ponsel lo?" tanya Atlan pada Atha. Atha mengangguk lalu memberikan ponsel yang bisa dikatakan jadul untuk ukuran anak SMA Permata. Karena, hampir semua anak Permata memakai i-Phone. Dengan cepat tangan Atlan membuka layar Atha yang memang tidak dikunci, lalu mengetikkan sesuatu. Setelah urusannya itu selesai, Atlan mengembalikan ponsel Atha. "Nih, makasih." Atha mengangguk.
"Ya udah, gue duluan, minumannya udah gue bayar," pamit Atlan.
"Iya, makasih, hati-hati."
Atlan tersenyum lalu pergi lebih dulu, meninggalkan lelaki yang masih terdiam di depannya. "Gue mau ngomong sama lo nanti di rumah," ucap lelaki itu cepat dan tegas. Belum sempat Atha menjawab, cowok itu sudah duluan melangkahkan kakinya menyusul Atlan.
Atha menatap nanar punggung itu hingga hilang dari pandangannya. Fokus Atha beralih ke ponselnya yang tadi sempat dipinjam Atlan. Atha mengaktifkan layarnya, lalu muncullah sebuah nama kontak.
Atlan Jodohnya Atha
Atha terkekeh membaca nama kontak Atlan yang ia beri nama sendiri. Mungkin agak alay, tetapi Atha tidak ada niatan mengganti nama itu. Biarlah, dia tidak keberatan.
***
"Gue liat, lo tadi disamperin Atlan?" tanya Kay. Atha mengangguk, memang benar, 'kan? "Gila! Aduh, kok bisa, ya? Kenapa nggak nyamperin gue aja, sih?" pekik Kay histeris.
"Lo tadi sama Cakra. Lagian, nih, ya, enggak usah segitunya kali, Kay," balas Atha malas. Jika sudah membahas Atlan, Kay akan sangat semangat.
"Enggak usah segitunya gimana? Ini tuh Atlan, Tha! Dia ganteng banget tau!"
Ya, jika soal ketampanan, sih, Atha juga mengakuinya. Atlan ganteng. "Udah, mending kita bahas mantan lo yang berharap balikan sama lo."
Kay seketika merengut. "Ih, gue sama Cakra temen tau. Ya gue masih nyaman sih sama dia, tapi gue udah enggak bisa, Cakra udah nggak seperhatian dulu."
"Kalo Cakranya masih suka ke elo, gimana?"
"Ya udah, itu hak dia. Lagian enak kok, biarpun gue jomlo, ada yang perhatiin, enggak kayak yang di sebelah," ucap Kay menyindir Atha.
"Sialan," desis Atha.
"Ish, jangan gitu, ah, galak. Ntar nggak ada yang naksir tau rasa!" ledek Kay.
"Gue ke kamar dulu ya? Ada PR buat besok," ujar Atha.
Kay menyengir, menampilkan deretan gigi putihnya. "Punya gue sekalian."
"Iya, iya, bukunya aja masih di gue. Besok gue bawa sekalian."
Sudah biasa. Dari dulu, jika ada tugas atau PR, Atha selalu mengerjakan miliknya dan milik Kay. Beruntunglah Kay karena dia selalu sekelas bahkan sebangku dengan Atha dari PAUD.
Senyum Kay mengembang. "Sayang Atha! Gue doain jadi deh sama Atlan, cocok kok kalian!"
"Ngaco!" Atha keluar dari kamar luas Kay.
Baru saja ia hendak menuju kamarnya yang terletak di pojok belakang rumah, sebuah tangan mencekalnya.
Atha yang terkejut refleks membalikkan badannya.
"Agra ...."
***