Atala membuka pintu rumahnya dengan kasar, hal pertama yang ia lihat adalah sang Mama yang tengah duduk di lantai sembari menangis terisak. Sedangkan sang adik perempuan kecilnya yang Barusia berusia 7 tahun tengah duduk di pangkuan seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah tetangganya.
"Atala," Isak Ratna-sang mama dengan sendu. Atala langsung bergerak memeluk sang Mama dengan sangat erat lalu mulai ikut terisak bersamanya.
"Ayah kamu," adu Ratna yang membuat Atala langsung melepaskan pelukannya pada tubuh sang Mama. "Ayah di mana, Mah?" Tanya Atala dengan panik.
"Dia di bawa sama preman itu."
"Ya Allah, Mah. Terus di mana keadaan Ayah sekarang? Di mana dia, Mah?" Tanya Atala dengan khawatir, Ratna yang mendapatkan pertanyaan seperti itu hanya menggelengkan tahu dan semakin keras menangis. Ia khawatir terjadi sesuatu pada sang suami.
"Atala," panggil seseorang dari arah belakang. Atala menoleh, menatap seorang pemuda yang berstatus tetangganya.
"Gue tau di mana bokap Lo,"
"Di mana?"
"Di markas rentenir. Tapi Lo mendingan jangan ke sana deh. Bahaya."
"Kalo bahaya, kita telepon polisi aja, biar mereka yang nolongin ayah."
"Eh jangan Atala!" Larang wanita paruh baya yang sedari tadi memangku adik perempuannya.
"Kenapa?"
"Kalau sampai kamu telepon polisi, bisa bahaya sama nyawa ayah kamu. Jangan!"
"Terus, aku harus gimana dong, Tante? Aku gak mau Ayah kenapa Napa." Tangis Atala kembali pecah, bersamaan dengan tangis sang Mama dan juga adik perempuannya yang bernama Celia.
"Gue juga bingung harus gimana," pemuda tetangga Atala itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia ingin membantu, tapi bingung harus membantu apa. Ia juga takut datang ke markas para preman rentenir tersebut. Datang ke sana sama saja seperti memberi mereka santapan empuk untuk mereka bunuh.
"Bang, Lo tau di mana markasnya, kan?" Tanya Atala pada Jordi, atau Atala biasanya memanggilnya dengan embel-embel Abang.
Jordi mengangguk pelan. "Anterin aku ke sana!" Pinta Atala dengan nekat.
"Jangan macem-macem kamu ya Atala, kamu gak boleh kesana. Di sana itu bahaya." Tante Sarah berseru dengan keras.
"Gak papa kok Tante, Atala harus bisa nemuin ayah terus bawa pulang ke rumah."
Ratna mengulurkan salah satu tangannya, menyentuh tangan Atala lalu mulai memeluk tangan mungil putrinya dengan erat. Dengan isakan tangisannya yang masih terdengar memilukan ia berucap. "Jangan ke sana. Mama gak mau kamu kenapa Napa, Mama percaya kok, Tuhan pasti sedang melindungi ayahmu."
"Enggak Mah! Atala harus nemuin Ayah sekarang. Gak mau tau, Ayah gak boleh kenapa-kenapa." Atala dengan pelan melepaskan tangan Sang Mama dari lengannya dan mulai menggandeng Jordi dan memaksa pria tersebut untuk segera mengantarnya ke sana.
"Atala!" Teriak Ratna yang di abaikan oleh Atala. Gadis itu bahkan sudah berada di atas motor yang di kendarai Jordi.
"Lo beneran mau ke sana?" Tanya Jordi dengan sungguh-sungguh. Dan dengan sungguh-sungguh tanpa ragu sedikitpun, Atala mengangguk mantap. "Iyah."
"Tapi, gue gak berani ke sana. Takut gue,"
"Gue gak minta Lo temenin gue ke sana kok, gue cuma mau Lo anterin gue di depan markasnya. Setelah itu, Lo boleh pulang. Dan gue bakal nemuin ayah."
"Seriusan Lo berani sendirian?"
"Gue gak sendirian, ada Ayah di sana dan juga ada Tuhan."
Melihat keseriusan serta keberanian Atala untuk menyelamatkan sang Ayah, Jordi langsung mengangguk mengerti. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang menuju tempat di mana Anton-Ayah Atala di sandera.
Jalanan sepi dan gelap mulai mereka lewati, hari masih sore tapi jalanan terlihat sangat gelap karena pepohonan yang rimbun di sekitarnya menghalangi cahaya matahari. Di tambah lagi dengan keadaan yang sunyi dan juga sepi, membuat kesan seram di jalanan.
Lokasi markas para rentenir itu berada di tengah hutan, tidak ada yang tahu keberadaan mereka kecuali orang-orang tertentu yang kerap meminjam uang pada mereka. Mereka juga tidak akan ada yang berani membocorkan di mana letak markas mereka pada para polisi, karena mata-mata mereka menyebar di semua daerah. Berani memberi tahu pihak berwajib tentang mereka serta markas mereka, maka bersiaplah untuk menjemput ajal.
Kebanyakan mereka yang meminjam uang pada rentenir adalah orang-orang miskin yang tak punya jaminan apapun. Mereka yang sangat membutuhkan uang tak ada pilihan lain selain meminjam uang para rentenir karena tak ada batasan meminjam uang serta tak ada jaminan. Jika mereka meminjam pada bank, setidaknya mereka harus memiliki jaminan berubah sertifikat rumah ataupun kendaraan. Sedangkan di rentenir, mereka bebas. Hanya saja, kadang mereka harus mendapatkan penipuan besar-besaran, bunga yang setiap bulan semakin naik serta kekerasan yang mereka dapatkan kalau tak mampu membayar cicilan.
"Serem banget, ya Allah." Cicit Jordi sembari bergidik ngeri. Atala nampak serius, ada rasa sedikit takut dalam dirinya saat ini. Tapi ia mencoba menyembunyikan serta menghilangkannya. Ia tidak boleh takut, demi ayahnya ia akan melakukan apapun.
"Kita udah sampai Atala. Gue anterin sampe sini aja ya, gue gak berani sampai gerbang depan. Takut." Motor yang kendarai Jordi berhenti 50 meter dari jarak dengan pagar sebuah rumah di ujung jalan. Atala turun dari motor lalu mengangguk mantap.
"Makasih ya bang, udah mau anterin Atala."
"Iya sama-sama, Lo hati-hati ya. Kalo ada apa-apa, telpon gue aja. Entar gue bawa orang-orang satu kelurahan ke sini buat bantuin Lo. Jaga diri baik-baik, dan semoga bokap Lo gak kenapa-napa."
"Iya bang, makasih doa serta bantuannya. Gue pergi dulu." Pamit Atala dan Jordi hanya mengangguk pelan.
"Eh tunggu!" Seru Jordi sembari menahan lengan Atala, gadis itu menoleh lalu mengernyitkan dahinya. "Bawa ini Atala, buat lindungi diri. Ini adalah cairan merica yang setiap hari gue bawa. Gue bawa ini buat ngelindungin diri pas pulang kerja malem, takut ada yang begal. Kalo Lo nanti di macem-macemin sama preman yang ada di dalem, semprot aja mereka pake ini di depan matanya. Matanya pasti perih tuh, setelah itu Lo kabur deh." Terang Jordi dengan panjang lebar..
"Makasih ya bang, Lo baik banget." Ucap Atala usai menerima sebotol air merica yang di berikan oleh Jordi.
"Ya sama-sama, hati-hati."
Atala membalikkan tubuhnya, menatap gerbang rumah yang berada di hadapannya lalu dengan langkah mantap ia berjalan mendekat. Meninggalkan Jordi yang sudah siap pergi meninggalkannya untuk kabur. Sebagai seorang laki-laki, ia terlalu penakut.
Usai berjalan sejauh 50 meter, akhirnya Atala sampai di tempat tujuan. Mulut Atala membuka dengan lebar tatkala melihat rumah bak istana yang ada tepat di hadapannya. Ia menatap ke sekeliling, bagaimana bisa rumah sebesar dan semewah ini berada di tengah hutan yang sepi dan juga gelap?
"Apa bos mafia nya adalah seorang vampir? Manusia serigala atau apa? Udah kayak di film-film Hollywood aja. Rumah Segede istana begini ada di tengah hutan yang sepi. Makin ngadi-ngadi aja." Gerutu Atala tak habis pikir. Dengan gerakan pelan, ia membuka gerbang rumah tersebut, tidak terkunci dan juga tidak ada penjaganya. Sangat sepi.
"Yakin di sini tempatnya? Kok gak ada orang?" Gumam Atala berbicara sendiri.
Usai masuk ke dalam area rumah tersebut, Atala kembali di buat terkagum-kagum, ia melihat hamparan kebun buah dan bunga yang luasnya Atala tidak tahu, yang pasti itu sangat luas dan indah terpampang nyata di halaman sebelah kanan dan kiri rumah megah tersebut.
"Istana merdeka, kah?" Tanya Atala dengan bingung.
"Baru tau markas rentenir kayak begini, gue kira tempatnya sempit, kucel dan jelek. Lha begini?"
"Wah!" Entah berapa kali Atala akan memekik kagum, ia bahkan membuka matanya dengan lebar saat melihat air mancur mewah di halaman depan rumah bercat putih tersebut.
"Udah kayak rumah putih yang ada di sinetron."
Atala terus saja berjalan, hingga akhirnya ia sampai di depan pintu rumah megah tersebut. Atala menarik nafasnya dalam-dalam lalu perlahan mulai membuangnya. Salah satu tangannya sudah siap bergerak untuk memencet bel, namun belum sempat jarinya memencet bel, suara derap langkah dari arah belakangnya membuatnya reflek langsung menoleh ke belakang.
"Siapa Lo?!"