Rasa Penasaran

1281 Words
Hal yang sekarang terasa membingungkan bagi Chandra adalah alasan Lily tidak melarikan diri darinya kemarin malam, jika dia tidak punya alasan untuk menghabiskan malam bersama. Jika Lily tidak terafiliasi dengan pihak yang bersebrangan dengan keluarga Gouw, dia tidak punya alasan kuat untuk menghabiskan malam bersamanya, apalagi, Lily bukanlah 'pemain', dia gadis suci yang pertama kali melakukan hal intim bersamanya. Apakah, dia melakukan kesalahan kali ini? Apakah tanpa sengaja dia meniduri Lily? Dan kejadian malam itu bisa disebut sebagai pemerkosaan? "Bos? Kenapa sih?" Ben melongok ingin tahu apa yang sedang diamati Chandra. "Ben, gue minta tolong ke lo dan please jangan ngember." "Siap!" "Jangan siap-siap aja lo! Gue nggak bakalan ngasih ampun kalau rahasia gue ini terbongkar atau nenek gue tahu." Chandra menatap Ben serius dan suaranya berubah lebih rendah, membuat Ben merasa ada sesuatu yang penting sedang terjadi. Dia menebak, jangan-jangan sebuah skandal lagi? Archandra dan Lily? Ah, sungguh edan! Bisa-bisanya Lily yang sepolos kelinci juga digasak oleh Chandra. Ben mendadak merasa kasihan pada Lily. "Iya janji Bos, aku bakalan tutup mulut!" Ben bertingkah meyakinkan, berpura-pura mengunci mulutnya dan membuang jauh kunci itu. "Kirim uang tiga ratus juta ke Lily." Mata Ben melebar. "Tiga ratus juta Bos? Buat apa?!" "Nggak usah banyak tanya, transfer aja." "Tapi, Bos...." "Sorry, gue nggak sepenuhnya percaya pada lo. Jadi, silahkan lo menebak-nebak sendiri kenapa gue minta lo transfer duit ke Lily." "Bos abis anu sama Lily?" "Bukan urusan lo." "Woh ya urusan aku lah, nanti kalau ada apa-apa yang suruh beresin aku!" Ben memprotes keras dan memperingatkan Chandra bahwa keberadaan dirinya adalah sesuatu yang penting. Chandra mendecih, sebenarnya dia malas mengakui betapa pentingnya keberadaan Ben, karena lelaki itu semakin lama semakin menyebalkan, tapi Ben memang punya peran yang cukup signifikan dalam kehidupan sehari-harinya. Tanpa Ben, Chandra akan kesulitan mengingat jadwal dan segala macam dokumen yang harus dia kerjakan, lalu, bagian terpenting lainnya, saat Chandra sedang nakal-nakalan dan ketahuan publik, itu artinya peran Ben akan meningkat secara signifikan untuk menyelesaikan segala urusan dan kekacauan yang bisa berdampak buruk pada saham perusahaan dan karir politik Jeremiah Gouw. "Kalau Bos mau transfer duit ke Lily, aku harus tahu apa alasannya." "Halah...." desau Chandra. "Ya udah oke, gue kasih tahu tapi jangan ngomong sama Nenek." "Iya Bos! Iya! Selama ini kan aku udah jadi partner in crime-nya Bos Chandra!" "Gue rasa, gue bikin kesalahan." "Nah toh! Aku uwes batin! Mesti koyo ngene kedadeane, Rek!" Bahasa daerah Ben auto muncul saat mendengar ucapan Chandra. (Tuh kan, aku udah ngebatin, pasti kaya begini kejadiannya!) "Gue belum selesai ngomong!" "Oh ya monggo deh lanjut." "Gue abis pesta, mabuk dan gue masuk ke kamar yang salah. Gue kira itu kamar gue tapi ternyata bukan dan di sana ada Lily. Gue kira Lily naksir gue dan pengen ONS sama gue...." "Sek genah wae, Bos! Orak kabeh wedok koyok mantan-mantan sampeyan sek seneng nganu!" Ben kembali bicara dengan kecepatan cahaya. (Yang bener aja, Bos! Nggak semua perempuan seperti mantan-mantanmu yang suka anu) "Languange, please! Pusing gue denger omongan lo!" "Lha abisnya Bos selalu aja bikin masalah! Kenapa sih nggak bisa pacaran yang wajar aja?! Kenapa ganti-ganti cewek?!" "Lho kok ngatur? Siapa yang bosnya di sini?" "Bos Chandra." "Nah tuh tau. Lho cuma sekretaris jadi nggak usah sok nasehatin gue. Tugas lo adalah beresin semua hal kacau yang terjadi." "Owalah, nasib wong ra due...." (Ya ampun, nasib orang nggak punya....) "Ngomong apa lo?" "Bukan apa-apa Bos." "Awas lo kalau sampai ngatain gue pakai bahasa jawa." "Sumpah! Aku nggak ngatain Boss!" Chandra menghela napas lelah. Benaya adalah satu-satunya sekretaris yang membuatnya muak, tapi juga sudah berada di sampingnya selama lebih dari empat tahun. Benaya punya bakat cerewet melebihi perempuan dan bahasa Jawa yang keluar setiap saat membuat Chandra merasa pening. Sayangnya keberadaan Ben tidak tergoyahkan karena dukungan Ibu Suri perusahaan. Selain itu, Ben sebenarnya juga cukup mumpuni melakukan semua kegiatan asistensi termasuk menyelesaikan huru hara yang Chandra timbulkan, jadi, suka tidak suka, Chandra harus berjuang keras untuk menyesuaikan diri dengan Ben. "Eh, terus tadi gimana ceritanya Bos? Lily ternyata nggak naksir sama Bos?" Mendengar pertanyaan Ben, Chandra merasa tersinggung. Tidak mungkin Lily tidak jatuh cinta padanya bukan? "Naksir lah! Dia pemuja rahasia gue. Ya masa lo nggak tahu kalau 99% cewek yang lihat gue pasti naksir gue." Chandra menjawab dengan percaya diri level langit. "Oh gitu, 99% cewek termasuk anjing cewek sama kucing cewek?" Chandra menatap Ben, ada bara di matanya. "Eh, sorry, Bos yang gantengnya nggak ketulungan. Jadi, gimana lanjutan ceritanya?" Ben mengalihkan pembicaraan. "Ya pokoknya gitu. Gue ngasih cewek itu tiga ratus juta karena dia ternyata masih perawan. Gue nggak mau dianggep ambil keuntungan dari dia atau dianggap melecehkan dia tanpa tanggung jawab. Jadi, anggap aja tiga ratus juta harga yang gue beri ke dia." "Hah?" Ben terkejut mendengar penjelasan Chandra. Ternyata benar, Chandra sudah menjerumuskan Lily ke lembah nista. "Ya udah jangan hah heh hoh aja lo. Cepet transfer. Kabari gue kalau udah." "Oke deh Bos." "Ingat, sembunyiin transaksi ini dari laporan keuangan yang bakalan diperiksa Nenek." "Siap Bos." "Kalau sampai bocor, lo tau akibatnya!" Chandra menggesekkan jari di leher tanda ancaman dan Ben mereguk saliva, kadang-kadang, Chandra bisa mendadak menjadi raja tega, meski selama ini Ben masih selamat karena Connie yang menjadi bekingannya. Tapi, Connie tidak akan hidup selamanya, dari gosip yang dia dengar, Connie tidak akan mencampuri urusan perusahaan lagi jika Chandra sudah menikah. Jika perjodohan Chandra dengan Hannah Wangsadinata berhasil, maka, perusahaan akan dikuasai Chandra, tidak akan ada yang membelanya lagi dan Ben menyadari bahwa dia harus bersiap-siap karena selama lima tahun bersama Chandra, dia kadang membuat Chandra murka, hanya karena Connie beperan sebagai bekingannya, dia masih hidup dengan baik dan tanpa potongan gaji apapun, tapi Ben yakin hidupnya tidak akan semulus hari ini jika Connie sudah mundur dari perusahaan. "Oke, siap Bos." Ben berkata cepat menanggapi Chandra. "Aku balik ke ruanganku dulu Bos. Kalau ada apa-apa telpon aja." "Ya udah deh sono." Chandra mengibaskan tangannya dan menoleh pada layar komputer yang masih menampilkan area lobby di mana Lily berada. Selepas Ben keluar dari ruangannya, Chandra malah asyik mengutak atik fitur zoom in pada cctv dan dia bisa melihat secara jelas wajah Lily. Benar-benar tidak ada yang istimewa pada wajah itu, tapi Chandra merasa bahwa dia pernah bertemu dengan Lily jauh sebelum malam kemarin dan juga hari ini. Chandra mengerutkan kening, rasa penasaran terhadap Lily merambat pelan tapi pasti dalam dirinya, padahal selama ini dia setiap hari lewat di depan Lily, tapi tidak pernah menganggap ada seseorang di sana. Baginya selama ini, Lily tak kasat mata, hingga malam di mana Chandra melakukan kesalahan. Chandra mengambil telpon, menghubungi Benaya. "Ha-lo." Suara Benaya seperti orang tercekik sejenak, lalu sepertinya dia minum, dan suaranya kembali normal, mengulang kembali kata halo. "Lagi ngapain lo?" "Nggak ngapa-ngapain kok Bos, kenapa yah?" tanya Benaya sok innocent, sambil menjauhkan mangkok stereofoam bekas baso cuanki level lima. Barusan, dia tersedak kuah pedas tepat di saat Chandra menelpon. "Gue mau tanya soal Lily." "Ihiy." "Ben...." "Oh, sorry, Bos. Gimana?" Ben segera menangguhkan ledekannya dan bersikap serius. Sebenarnya, Ben juga tidak tahu mengapa sikap konyolnya pada Chandra selalu datang begitu saja dan tidak bisa dicegah, meski saat dia berada di waktu tenang di mana dia bisa berpikir, sikap konyolnya itu jelas bisa membuatnya kehilangan pekerjaan dan juga penghasilan. "Apa lo tahu latar belakang Lily?" "Dia bukan siapa-siapa." "Iya tahu, tapi maksudnya, bisa nggak lo jelasin siapa keluarga dia? Meski keluarga dia pasti juga bukan siapa-siapa." "Dia nggak punya keluarga, Bos." "Nggak punya?" "Yes, she's lonely. Bos ngerasa kasihan ya? Kayak di sinetron-sinetron?" "Benaya, sekali lagi lo bicara nggak penting, gue bisa tendang lo ke divisi uji coba senjata bagian target percobaan tembak." "Siap salah, Bos!" Ben merutuki mulutnya yang entah mengapa selalu sulit diajak kerja sama menjaga kata di depan Chandra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD