"Kamu sudah pernah kawin ya Tari?" Tanya Raka tiba-tiba.
"Aa tidak baca ya kalau statusku gadis bukan janda!" Seru Tari kesal karena pertanyaan Raka.
"Maksudku kawin" Raka mendekatkan kedua telapak tangannya yang jari-jarinya di satukan jadi membentuk kerucutan.
"Bukan nikah" ucap Raka lagi.
"Ya ampunnn..aku masih perawan tahu, iiih Aa nyebelin kenapa berpikir aku gadis seperti itu sih!!?" Tari turun dari atas tubuh Raka. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, dan duduk membelakangi Raka.
"Ya habisnya kamu seperti sudah pengalaman" sahut Raka tanpa rasa bersalah. Raka juga bangkit dari berbaringnya, ditutupnya bagian bawah tubuhnya dengan selimut yang sama.
"Aku bilang aku masih perawan!"
"Iya..aku percaya" Raka menggaruk kepalanya nelihat wajah cemberut Tari.
"Maaf kalau aku membuatmu tersinggung, sekarang kamu berbaring ya, bisakan kita pelan-pelan saja, tidak tergesa-gesa, aku rasa besok belum kiamat kok, berikan waktu pada naluri lelakiku untuk bekerja ya, berikan waktu pada tubuh kita untuk beradaptasi satu sama lain, jangan tergesa langsung ke intinya, mau bersabarkan" bujuk Raka. Diraihnya kedua bahu Tari dengan lembut.
Tari memutar tubuhnya. Pandangan mereka bertemu, Raka menyelipkan rambut Tari yang tergerai ke belakang telinga Tari.
"Kamu lebih cantik kalau kalem begini" puji Raka, membuat hati Tari melambung tinggi.
"Aku belum pernah dekat dengan wanita selain keluargaku Tari, aku juga belum pernah bertemu wanita sesangar dirimu, jadi..."
"Apa!? Aku sangar!?" Mata Tari melotot gusar ke arah Raka. Lalu ia memutar tubuhnya membelakangi Raka dengan hati kesal.
"Maaf kalau istilahku menyebut wanita sepertimu 'sangar' membuatmu tersinggung, jujur saja sikapmu membuatku sedikit takut, aku takut tidak bisa memenuhi semua keinginanmu"
"Kita tidak akan tahu Aa bisa atau tidak memenuhi keinginanku kalau kita belum mencobanya"
"Iya aku tahu"
"Kalau tahu cepetan dong bergerak"
"Hhhh bisakan pelan-pelan saja" Raka menurunkan wajahnya, bibirnya mengecup bahu Tari yang terbuka.
Pelan Raka menarik selimut yang menutupi tubuh Tari, dipeluknya Tari dari belakang.
Digenggamnya lembut kedua gunung di d**a Tari.
Tari melenguh pelan, mata Tari terpejam, kepalanya mendongak.
Raka memeluk d**a Tari dengan satu tangannya, sementara tangannya yang lain menarik dagu Tari.
Wajah Raka turun, bibirnya menggapai bibir Tari.
Tari memutar tubuhnya, ia menyingkap selimut yang menutupi bagian bawah tubuh Raka. Tanpa melepas ciuman mereka, Tari sudah duduk di hadapan Raka dengan kedua kaki menjepit pinggul Raka.
Jemari Tari meremas rambut Raka, tubuhnya bergetar hebat saat kedua tangan Raka meremas dadanya.
'Ooh jangan meledak sekarang, aku malu kalau baru sedikit dibelai sudah meledak, ooh tapi aku tidak bisa menahannya..' batin Tari.
Tari melepaskan ciuman mereka, Raka nenundukan kepalanya, bibir dan lidahnya menggapai ujung d**a Tari.
"Aa ...." Tubuh Tari gemetar, lalu menegang, kepalanya terdongak, suaranya terdengar tercekat ditenggorokan. Ia merasa tubuhnya lemas dengan seketika.
Raka mendekap tubuh Tari dengan erat.
"Apa aku bisa memuaskanmu?" Tanya Raka berbisik di telinga Tari. Dengan wajah merah Tari menganggukan kepalanya.
Raka membaringkan Tari di atas ranjang, Raka membungkuk di atas tubuh Tari, ia berlutut diantara kedua paha Tari yang terbuka. Tari membuang pandangannya saat mata mereka bertemu.
Ia merasa malu karena begitu cepat meledak.
"Kenapa?" Raka meraih dagu Tari, akan Tari membalas tatapannya. Kepala Tari menggeleng.
"Yakin ingin kita melakukannya malam ini?"
"Iya" sahut Tari cepat.
"Kamu tidak takut sakit? Tidak capek?"
"Aku sudah siap!"
"Tapi napasmu seperti orang yang habis lari puluhan kilometer Tari, aku takut nan..."
"Iiiih cepeeett!" Seru Tari, dipukulnya lengan Raka dengan kesal.
Masalahnya ujung tombak Raka sudah menancap dari tadi di bawah perutnya. Tinggal di dorong sedikit pasti sudah mengoyak pertahanannya.
Jujur saja itu membuat Tari panas dingin dari tadi. Harap-harap cemas, cemas-cemas tidak sabar untuk merasakan yang namanya first night alias malam pertama.
Raka menundukan wajahnya, bibirnya menyentuh daun telinga Tari, sebentuk doa ia bisikan di sana.
Tari memejamkan mata dan menarik napasnya.
"Niatkan sebagai ibadah Tari, bukan sebagai mencari kenikmatan dunia semata, apapun yang terjadi setelah malam ini aku harap kita bisa menghadapinya dengan lapang d**a"
"Iya Aa, bisakah prosesnya dipercepat, sudah begitu banyak proses ... awwwwww!" Tari menjerit sesaat sebelum Raka membungkannya dengan ciuman bibirnya.
Airmata jatuh di sudut mata, apa yang ia pertahankan selama ini akhirnya bisa ia serahkan kepada pria yang paling berhak menerimanya, suaminya.
Kedua tangan Tari mencengkram erat pinggul Raka, rasanya ia ingin merapatkan pahanya, karena rasa sakit yang menusuk dari ujung kaki sampai ke kepalanya.
Tapi pada kenyataannya ia justru menautkan kedua kakinya dipinggang Raka.
Melingkarkan kedua tangannya di leher Raka. Ciuman mereka semakin membara, remasan lembut tangan Raka di d**a Tari semakin membuat Tari diserbu berjuta rasa nikmat.
Tari lupa berapa kali sudah ia meledak, sedang Raka masih bertahan dengan keperkasaannya. Setiap ujung tombak Raka menyentuh dinding rahimnya, Tari rasanya ingin mengeluarkan suara erangannya. Tapi bibir Raka tidak mau melepaskan bibirnya, ciuman mereka hanya berhenti sesekali untuk mengisi rongga d**a mereka dengan udara.
Saat Raka merasa ada sesuatu yang mendesak ingin meletup dari dalam dirinya. Raka melepaskan ciumannya, ia menahan beban tubuhnya dengan kedua tangan yang ditekankan ke atas ranjang.
"Tari!"
"Aa.."
Titik peluh Raka berjatuhan menjadi satu dengan peluh di d**a Tari. Tari menggigit bibir bawahnya, tangannya berpegangan pada lengan Raka.
Deru napas mereka semakin cepat, tubuh Tari bergoyang maju mundur, seiring dengan gerakan Raka yang bertambah temponya.
Suara derit ranjang kayu yang sudah usang menjadi musik tersendiri yang mengiringi gerakan mereka.
Wajah Tari dan Raka sama merah padamnya, bahkan kulit tubuh mereka seperti ikut memerah juga karena terbakar gelora api yang membara.
Raka memejamkan matanya, mendongakan kepalanya sesaat, lalu menunduk dalam doa berharap semoga benih yang ditanamnya akan tumbuh dan berkembang sebagai mana yang ia harapkan.
Tubuh Raka jatuh menimpa tubuh Tari, dan.
Braakkk!
Ranjang ambruk seketika, untungnya tubuh mereka masih di atas kasur.
Raka mengangkat tubuhnya dari tubuh Tari.
Mata mereka bertemu, lalu terdengar tawa Tari memenuhi kamar, Raka hanya tersenyum dengan wajah yang masih merah.
"Ternyata Aa ganas juga, ranjang saja sampai ambruk kena goyangan ala tornado Aa, belajar di mana A" goda Tari.
"Tidak perlu belajar, semuanya alami dari sini" Raka menunjuk dadanya.
"Ehmm aku percaya! Ternyata kalau tidak di recoki lemotnya Aa hilang sendiri ya, ehmm ujung tombak Aa sterilkan ya? Tidak mengakibatkan tetanuskan?"
"Tari!"
"Hehehe..aku cuma bercanda, habis muka Aa mulai tegang lagi, jangan beku lagi ya Aa, aku takut nanti koreknya habis buat mencairkan kebekuan Aa, eeh tapi kalau dengan cewek lain wajib beku, cuma sama aku yang harus cair, pahamkan!"
"Hhhh orang possesif itu biasanya karena kepercayaan dirinya rendah, sedang orang yang over protektif itu karena kepercayaannya pada orang lain yang rendah, kalau kamu minta aku untuk mempercayaimu, kamu juga harus percaya sama aku"
"Iiih analisa dari mana yang begitu?"
"Tidak penting analisa dari mana, ayo bangun! Apa kita harus tidur di ranjang patah ini semalaman?"
"Bagaimana aku bisa bangun, kalau ujung tombak Aa saja belum di cabut"
"Ooh maaf"
"Keenakan ya diberi kehangatan di dalam sana"
"Tari!"
"Hhhh" Tari mendengus kesal. Kebiasaannya bicara terbuka dan ceplas ceplos harus ia rem sementara, karena Raka sepertinya tidak suka dengan hal seperti itu.
Saling menerima kekurangan dan kelebihan itu wajib, tapi saling memahami dan mengerti itu sangat penting.
'Aku akan menerimamu apa adanya Raka, dan aku akan belajar untuk memahamimu, itu janjiku' batin Tari.
***BERSAMBUNG***