Apa!?"
"Aku ingin tidur di kamarmu!"
"Tidur di kamarmu sendiri saja Tari."
"Tidak mau! Aku takut, aku mau tidur di kamarmu!" Seru Tari.
"Tapi ...."
"Tapi apa? Mau bilang kalau kita bukan mahrom, kita sudah nikah, tidak dosa kalau kita berduaan di kamar'kan!?" Tari kembali menarik lengan Raka menuju ke dalam kamar Raka.
'Coba kalau tidak mati lampu, pasti aku bisa melihat ekspresi dan warna wajahnya'
Batin Tari.
Tiba di dalam kamar Raka. Tari merebut senter dari tangan Raka.
"Kamu tidur di mana?" Tanya Tari karena tidak melihat tempat tidur di sana, setelah ia menyorotkan cahaya senter ke penjuru kamar Raka.
Tidak ada Ranjang di dalam kamar Raka. Hanya ada rak plastik di sudut kamar, dan kasur tipis kecil yang digelar di atas lantai. Di atas kasur hanya ada satu bantal, dan sarung.
"Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu," sahut Raka dengan suara dingin. Bukannya kembali ke kamarnya, Tari malah membaringkan tubuh di atas kasur.
"Aku tidak mau kembali ke kamarku, aku mau tidur di sini."
"Kamu tidak boleh tidur di sini!" Raka berdiri memunggungi Tari, karena Tari mengarahkan cahaya senter ke wajahnya.
"Kenapa tidak boleh? Dosa? Kita sudah nikah, aku istrimu, kamu suamiku, dosa itu kalau kamu melalaikan kewajibanmu untuk memberikan nafkah lahir batin sebagai suami. Kamu pasti lebih paham mengenai hal itu dari aku, iya'kan?"
"Apa maksud ucapanmu Tari?"
"Maksudku? Kamu itu tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti sih, Aa Raka!?"
Raka berjalan ke dekat jendela. Di singkap horden yang menutupi kaca jendela. Pandangannya terhalang bulir air hujan yang membasahi kaca jendela.
'Apa yang dikatakan Tari memang benar, tapi aku belum siap untuk itu, aku tidak siap untuk jatuh cinta lalu, patah hati. Tari tidak akan betah tinggal di sini, dia tidak akan bisa bertahan hidup sederhana seperti ini, ini bukan dunianya, dunianya adalah gemerlapnya ibu kota, jika kewajiban itu aku lakukan, dan aku mulai merasa nyaman bersamanya, bagaimana jika pada akhirnya dia merasa bosan di sini, dan akhirnya meninggalkan aku, dengan cinta yang sudah tumbuh subur di dalam hatiku.'
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Raka tersadar dari lamunannya, ditarik napas dengan berat.
"Tidurlah, aku akan ke luar sebentar." Raka melangkah ke arah pintu, tapi Tari sudah berdiri di hadapannya.
"Mau ke mana gelap begini? Lagi pula di luar sedang hujan! Lebih baik kita tidur sambil berpelukan begini." Tari melingkarkan tangannya di pinggang Raka. Di sandarkan kepala di d**a Raka.
"Tari ... Tari, apa yang kamu lakukan? Lepaskan!" Raka berusaha melepaskan pelukan Tari.
Tari tersenyum puas melihat sikap Raka yang panik, apa lagi telinganya bisa mendengar dengan jelas detak jantung Raka yang terdengar berpacu cepat. Tari menyusupkan tangannya ke balik kaos Raka. Di usap lembut kulit punggung Raka. Tari bisa merasakan degup jantung Raka yang semakin cepat, dan tubuh Raka yang terasa bergetar.
'Apa dia belum pernah disentuh wanita seperti ini, itu artinya di masih jejaka ting ting dong, ehmm bibirnya masih perjaka juga pasti'
Tari mendongakan kepalanya.
Cahaya senter yang di letakan Tari di atas kasur hanya memberikan penerangan yang temaram.
"Tari, aku mohon lepaskan aku," suara Raka terdengar seperti permohonan seseorang yang tengah putus asa. Dan itu membuat Tari semakin suka menggodanya.
"Aa Raka, jantungmu kenapa?"
"Haah ... aku, tol ... hmmmppp ...."
Mata Raka melotot, mulutnya terasa dijepit, dan diisap kuat oleh sesuatu, dan sesuatu itu adalah bibir Tari.
'Ya Allah ... ternyata begini gadis kota besar, bagaimana Ayah tidak bertekuk lutut kalau gadis kota besar seagresif ini,' batin Raka.
Tari menarik tengkuk Raka, agar Raka menundukkan kepalanya sedikit.
Tari merasa sangat menikmati ciumannya, ini bukan ciuman pertamanya, tapi terasa berbeda karena ia yang memulainya. Ia yang memegang kendali atas ciumannya kali ini. Raka berusaha melepaskan ciuman Tari, tapi Tari justru semakin agresif menyerangnya. Raka sampai terdorong ke dinding.
Setelah merasa Raka tidak juga membalas ciumannya, akhirnya Tari melepaskan bibirnya.
"Apa aku yang harus melucuti pakaian Aa?" Tanya Tari menggoda, sesaat setelah melepaskan ciumannya.
Bleppp
Listrik menyala, Tari bisa melihat wajah Raka yang terlihat memerah, kecemasan terlihat dari sinar matanya.
"Aku melihat kecemasan di mata Aa, apa yang Aa cemaskan? Takut di gerebek warga karena berduaan dengan aku di dalam kamar? Itu tidak mungkinkan!? Atau Aa Raka merasa cemas karena belum siap melepas keperjakaan Aa? Hmmm ... biasanya wanita yang merasa cemas, pria biasanya bersuka cita, iyakan!?"
"Berhenti mengoceh tidak jelas Tari, lepaskan sekarang!"
"Aa minta aku melepaskan apa? Baju Aa? Celana Aa? Atau Aa ingin aku melepaskan bajuku sendiri?" Tari memainkan jemarinya di rahang Raka.
"Tari, berhenti bersikap agresif seperti ini!"
Tari melepaskan Raka.
"Aku agresif karena suamiku seperti dinginnya salju, aku ini istrimu, kalau tidak sama Aa, aku harus minta belai sama siapa?" Tanya Tari berlagak seakan ia sangat membutuhkan belaian seorang pria. Raka menarik napas berat. Lalu ia duduk di tepi kasur.
"Pernikahan ini adalah sesuatu yang sama-sama tidak kita inginkan, benar begitu'kan?"
"Itu benar, tapi suka tidak suka, mau tidak mau, kita ini sudah menikah, sudah sah sebagai suami istri, kita terikat dalam tali pernikahan, kita punya hak dan kewajiban sebagai suami istri, kita harus mempertanggung jawabkan semuanya kepada orang tua, keluarga, masyarakat, dan kepada Yang Maha Kuasa juga. Kamu pasti lebih tahu dari aku soal itu, iya kan!?"
Tari mengutip apa yang dikatakan Maminya lewat pesan di ponselnya tadi.
Tari duduk di sebelah Raka.
"Aku berusaha berdamai dengan keadaan ini, kamu pasti tahu sangat berat bagiku tinggal di tempat seperti ini, tapi ini takdir yang harus aku terima, apa kamu tidak bisa berdamai denganku?"
"Karena itulah aku rasa tidak sepantasnya kamu ada di sini Tari. Ini bukan tempatmu, aku bukan masa depanmu, terlalu banyak perbedaan di antara kita"
"Apa ada nama seseorang yang kamu harapkan akan jadi masa depanmu Aa Raka?" Tanya Tari.
Tari menatap wajah Raka dari samping. Raka menundukan kepala, lalu perlahan kepalanya menggeleng.
"Ini bukan tentang hatiku, tapi tentang dirimu."
"Aku!? Apa maksumu!?"
"Sudah aku katakan ini bukan tempatmu Tari."
"Ini jadi tempatku sekarang."
"Ya jadi tempatmu sebelum kamu merasa bosan."
"Kenapa kamu berpikir aku akan bosan di sini?"
"Di sini tidak ada mall, tidak ada cafe, tidak ada tempat hiburan, tidak ada sesuatu yang bisa membuatmu betah tinggal di sini Tari."
"Ada sesuatu yang akan membuatku betah tinggal di sini!" Seru Tari.
"Apa!?"
"Kamu!!"
"Aku!? Apa maksudmu!?"
Raka menolehkan kepalanya, pandangan mereka bertemu. Tari terus membalas tatapan Raka.
"Seorang istri harus mengikuti suaminya bukan? Karena aku istri Aa, wajarkan kalau Aa menjadi alasan terbesarku untuk tetap tinggal di sini."
Raka membuang pandangannya, terdengar ia mendengus kesal.
"Apa arti dari semua ini Tari, apa kamu sedang mengujiku, sedang mencoba mempermainkan perasaanku?"
"Aa itu pria soleh, pasti tahu kalau tidak boleh berburuk sangka dengan orang lain kan, kenapa Aa berpikir seperti itu tentang aku?"
Raka menundukan kepalanya.
"Maaf, jika aku salah menilaimu, tapi sulit bagiku untuk membangun kepercayaan pada gadis yang terbiasa hidup dengan segala fasilitas serba mewah, lalu tiba-tiba ingin hidup sederhana seperti ini, alasan kalau istri harus ikut suami itu bisa berubah, jika kamu suatu saat merindukan kehidupanmu yang penuh kemewahan Tari."
"Lalu alasan apa yang bisa membuat Aa percaya kalau aku sungguh-sungguh ingin ada di sini?"
Raka menyunggingkan senyum yang terasa sinis bagi penilaian Tari.
"Hhhh ... kita baru dua malam menikah, kamu belum melihat keseluruhan dari hidupku, biar waktu yang akan membuktikan kesungguhanmu."
Raka ingin bangkit dari duduknya, Tapi Tari menarik tangannya sehingga Raka terjengkang ke belakang, tubuh Raka jatuh telentang di atas kasur.
Tari langsung duduk di atas perut Raka, dijepitnya kuat tubuh Raka dengan kedua kakinya.
"Jika Aa tidak mau melakukan kewajiban Aa sebagai suami, maka aku sendiri yang akan mengambil hakku sebagai istri!" Tari berusaha melepaskan kaos oblong Raka. Wajah Raka menampakan kepanikan yang luar biasa. Tari hanya bisa tertawa di dalam hatinya, melihat ekspresi Raka yang seperti itu.
"Tari ... jangan melakukan sesuatu yang akan membuatmu menyesal nantinya."
"Kenapa aku harus menyesal, Aa suamiku meskipun belum ada cinta di antara kita."
Raka berusaha mendorong tubuh Tari yang membungkuk di atasnya, kedua tangan Raka tepat berada di atas kedua bulatan d**a Tari.
Tari meraih kedua tangan Raka, ditekankan telapak tangan Raka agar semakin menempel di dadanya.
"Aaah ... Aa malu-malu tapi napsu juga." Tari memejamkan mata, ia menggigit bibir bawahnya, seakan ia tengah menikmati sentuhan Raka di dadanya yang masih tertutup rapi pakaiannya.
Mendengar ucapan Tari, Raka semakin panik, ia langsung menarik tangannya, dan berusaha bangun dari berbaringnya. Tubuh Tari jadi merosot ke atas kedua pahanya.
Cepat Tari meraih tengkuk Raka, tanpa bicara, dilumatnya bibir Raka.
Raka masih berusaha melepaskan diri, Raka takut tidak bisa menguasai diri, bagaimanapun ia pria normal yang punya batas pertahanan, apa lagi yang menggodanya adalah wanita yang sudah halal baginya.
***BERSAMBUNG***