PART. 25

1108 Words
Tari duduk sendirian menyaksikan acara gosip di televisi ketika ada yang mengetuk pintu. "Assalamuallaikum, dengan Ibu Mentari?" "Walaikumsalam, iya saya sendiri" "Kami mengantarkan beberapa barang Pak Raka" pria di depannya menunjuk ke arah mobil pick up yang parkir di halaman rumah Raka. "Haah barang apa?" "Satu buah spring bed, satu buah lemari pakaian 3 pintu, satu buah meja rias, satu set meja tv, satu buah AC, satu buah televisi LED 32', satu buah blender, satu buah dvd player, dan satu buah laptop" "Haah..suami saya yang beli semuanya?" "Hmmm bukan beli Bu, tokonyakan milik Pak Raka sendiri, ehmm kami akan langsung memasangkan AC dan meletakan barang lainnya sesuai perintah Ibu" Tari tertegun sesaat. 'Tokonya milik Raka sendiri!? Tapi dia tidak pernah bercerita apapun soal itu' batin Tari. Ia ingin bertanya pada Raka, tapi suaminya itu tidak pernah terlihat menggunakan ponsel, sehingga Tari selalu lupa bertanya apakah Raka memiliki ponsel atau tidak. Dan ia sendiri jadi kehilangan ketergantungan pada ponsel dengan sendirinya. "Bagaimana Bu?" "Ooh ya, silahkan dibawa masuk saja Pak" Tari membuka lebar kedua daun pintu rumahnya. Dengan cekatan empat orang pria meletakan semua barang di tempat yang ditunjukan Tari. Ranjang di kamarnya memang sudah diperbaiki lagi oleh Raka. Tapi mereka memilih untuk tidur di kamar Raka. Jadi Tari meminta semua barang kecuali blender, diletakan dan dipasang di kamar Raka. Raka sudah mengecat ulang kamarnya beberapa hari lalu, warna cat kamar sesuai dengan permintaan Tari. Kamar Raka yang tadinya berwarna putih, sekarang berwarna krem. Tari membuatkan minuman untuk keempat pria itu. "Tokonya di mana Mas?" "Di Banjarbaru bu" "Menjual apa saja?" "Furniture dan alat elektronik bu" "Cash atau bisa kredit?" "Cash dan kredit bu, kerjasama dengan pembiayaan" "Sudah lama tokonya Mas?" "Sudah bu, dari pak Raka masih tinggal di Jakarta" "Terus, jadi siapa yang mengelola?" "Masih keluarga Mas Raka yang mengelola Bu" "Oooh, diminum dulu airnya Mas, ini ada keripik juga" "Terimakasih bu" Baru saja keempat orang itu pulang, Raka datang dari sawah. Wajah Tari yang cemberut menyambutnya. "Ada apa?" "Katanya jujur, nyatanya apa?" "Ada apa Tari?" "Ada apa? Kenapa Aa tidak pernah cerita kalau punya toko besar?" "Toko besar?" "Lihat isi kamar Aa!" Tunjuk Tari ke arah kamar Raka. Raka membuka pintu kamarnya. "Oooh..." "Oooh...oooh....apa!?" Raka duduk di atas kasur, ia menggoyang-goyangkan tubuhnya. 'Aman sepertinya, sekuat apapun tikaman ujung tombakku pasti tidak akan meruntuhkan ranjang ini' gumam Raka di dalam hatinya. Ujung bibirnya naik sedikit sebagai tanda ia tengah tersenyum. "Jawab Aa, jangan ooh...ooh..ooh...!" "Toko itu memang dari aku modal usahanya Tari, tapi yang mengelolakan bukan aku, jadi keuntungan dibagi antara aku dan yang mengelola, keuntungan bagianku di salurkan kebeberapa yayasan panti asuhan, panti jompo, dan untuk beberapa anak asuhku di daerah ini, jadi aku tidak mengambil uangnya sama sekali, lagi pula barang-barang ini sebenarnya adalah hadiah pernikahan kita dari beberapa rekan bisnis toko itu, tadinya aku pikir kamu tidak akan betah tinggal di sini, makanya tidak aku bawa pulang" "Benar begitu? Bukan di bagi untuk istri tua, istri muda, atau wanita yang lain!?" "Astaghfirullah hal adzim Tari, punya istri satu saja inshaAllah cukup bagiku, aamiin" jawab Raka, kepalanya mendongak menatap Tari yang berdiri tepat dihadapannya. "Terus kenapa sekarang memutuskan untuk dibawa pulang?" "Ya karena pelajaran cintamu sudah khatam, jadi aku pikir kamu akan punya alasan kuat untuk tetap di sini" "Lalu kapan pelajaran cinta Aa juga akan khatam?" "Tergantung!" "Tergantung apa?" "Tergantung..hmmm..." Raka menarik pinggang Tari, di tenggelamkan wajahnya di d**a Tari. "Duduk dong" Raka menarik punggung Tari, agar Tari duduk di atas pangkuannya. Wajah Tari masih cemberut. "Aku punya pertanyaan utukmu" "Iih tadikan aku yang tanya, kenapa Aa malah balik bertanya" Tari memukul d**a Raka pelan. "Setiap gadis pasti memiliki tipe pria idaman nya seperti apa, iyakan?" "Tahu darimana?" "Adikku perempuan Tari" "Mungkin begitu, tapi cinta bisa merubah semuanya" "Heeh.." "Heeh..heehh..tiap aku bicara cinta selalu heeh..heeh...cape ngomong sama orang oon, lemot seperti Aa" Tari merentak berdiri, ia masih kesal dengan Raka. Raka ikut berdiri, di peluknya Tari dari belakang. "Aku mungkin pria paling oon dan paling lemot yang pernah kamu temui Tari, tapi aku punya cinta yang bukan cinta instant untukmu, sesuatu yang instant itu cepat juga enak, tapi bisa memberi efek buruk dikemudian hari, sedang cintaku padamu tumbuh dengan perlahan, melewati dari satu bab ke bab lainnya, sampai pada bab dimana aku ingin mengatakan..." "Mengatakan apa?" Tari memutar tubuhnya, pendar bahagia tampak nyata di raut wajah dan sinar matanya. Wajahnya mendongak agar bisa menatap wajah Raka. "Cepet bilang, Aa ingin mengatakan apa!?" Tari mengguncang lengan Raka. "Aku mau bilang terimakasih sudah mencintai aku" Tari menatap Raka dengan pandangan kecewa yang tidak bisa ia tutupi. Ia sangat berharap Raka mengutarakan perasaan cinta kepadanya. Tari mendorong tubuh Raka agar menjauh darinya. Kekesalannya pada Raka sudah sampai puncak kepalanya. Tari ingin keluar dari kamar Raka. "Tari" Raka kembali memeluk Tari dari belakang. Di raihnya jemari Tari yang terpasang cincin kawin mereka. Digenggamnya lembut jemari Tari. "Ijinkan aku tetap bersamamu sampai akhir hidupku, ijinkan aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, ijinkan aku menjadi Ayah bagi anak-anakmu, ijinkan aku hmmmppp" Raka tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena Tari memutar tubuhnya dan langsung menyergap Raka dengan ciumannya. Raka terdorong mundur karena serangan ciuman Tari yang sangat bergelora. Pinggang Raka menabrak kipas angin, kipas angin tumbang ke lantai dengan suara berdentang nyaring. Tari menarik Raka dari dinding, di dorongnya Raka sampai terjengkang di atas kasur. "Kita test jalan kasurnya Aa" bisik Tari yang membungkuk di atas tubuh Raka. "Seperti mobil saja" sahut Raka. "Tidak perlu takut kena tilang Aa, SIM dan STNK kita sudah lengkap" Tari melepaskan kaos oblong Raka. "Ehmm syuting film apa kita hari ini Tari?" "Berlabuh di kasur baru Aa" "Ehmm kamu tidak pintar mencari judul yang bagus Tari" "Jadi menurut Aa apa judulnya?" "Menggoyang suami" sahut Raka dengan wajah dan nada suaranya yang datar seperti biasa. Tapi seperti biasa pula Tari tertawa tanpa bisa ditahannya. "Kok tertawa?" "Imajinasi Aa ternyata ruarrr biasahhhh!" Seru Tari. "Itu kenyataan Tari, hobimu memang menggoyang suamikan?" "Iiih...Aa tuh yang hobi goyang tornado!" "Aku kan cuma melayani kemauan istri, takut dosa kalau tidak dilayani" "Iiih masih saja nyebelin!" Tari memukul d**a Raka. "Kenapa nyebelin, lihat posisi kita, siapa yang di atas? Siapa yang melepas pakaianku? Masih mau mengelak?" "Uuuhhh...aku nangis kalau Aa terus mendesakku!" "Mendesak apanya? Ehmm tapi bagus deh kalau kamu nangis, aku belum pernah melihat kamu menangis" "Iiih Aaaaa" Tari mencubiti d**a Raka dengan gemas. Suara adzan Ashar membuat Raka terlonjak bangun, Tari hampir jatuh andai tidak berpegangan pada leher Raka. "Adzan Tari, aku belum mandi, tidak sempat untuk ashar di musholla" "Aa kebanyakan bicara, jadi gagal syuting menggoyang suami!" Rutuk Tari. Ia turun dari atas tubuh Raka, dan turun dari atas ranjang. "Bukan batal, tapi ditunda sejenak sayang, syutingnya  break dulu ya" Raka menjawil dagu Tari. Raka keluar dari kamar, meninggalkan Tari yang menepuk-nepuk pipinya. Ucapan dan jawilan Raka tadi, bagai sebuah mimpi baginya. ***BERSAMBUNG***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD