Perempuan Yang Menggetarkan Hati

3183 Words
"Lah? Kagak puasa lo?" Dina kaget saat tiba di rumah dan melihat Ardan malah santai di depan televisi dengan setoples kue kering emaknya. Saudara kembarnya yang sableng itu hanya melengos saja. Sementara Dina geleng-geleng kepala lantas berjalan menuju dapur. Ia tadi naik gojek lalu berhenti sebentar di depan komplek demi membeli sup buah dan beberapa kue. Dilihatnya suasana rumah, nampaknya mamanya belum pulang. "Giliran jomblo bertahun-tahun kuat,  puasa sehari aja kagak kuat! Payah lo!" cerocosnya lagi yang kontan membuat d**a Ardan nyes-nyes gitu. Kok sakit banget gitu di hati yak? Hahaha! "Eeh tapi tadi gue ketemu Tatal looh! Dia belanja di butiknya Kak Aya!" Dina berceloteh ria lagi tanpa peduli muka Ardan yang berubah masam. Masih agak-agak nyes gitu sih kalau dengar nama itu disebut-sebut. "Ternyata gantengan elo, Dan, dibanding suaminya! Hahahaha!" Ardan mendengus lantas menarik jambulnya. Ohoooo nyesel loh Talitha gak milih dia hahaha! Makanya ia langsung berlagak songong! Hahaha! Dia udah tahu sih suaminya Talitha seperti apa. Namun ia kalah dalam satu hal. Hal apa? Kesiapan. Ardan belum sama sekali mempersiapkan apa yang dibutuhkan seorang perempuan, yaitu kepastian dan kapan akan bertandang. Ya kan? Tapi ya....mau ia udah siap pun kalau Talitha gak bisa menerima, ia bisa apa? Apalagi Allah juga enggan mempersatukan. Barang kali, Ardan mendapat perempuan yang lebih baik. "Tapi gue salut sih, si Tatal gak pernah lihat tampangnya cowok. Yang penting komitmen." Dina masih menyerocos. Ardan sih diam-diam aja padahal menyimak juga. Kadang, ia juga suka heran, kenapa ia ditolak mulu sama Tatal? "Gue juga bakalan gitu kalo jadi dia. Mending cari yang pasti-pasti aja daripada yang diharapin tapi bisanya cuma gantungin anak orang." "Lo lagi curhatin si Pras?" Ck! Dina berdecak. Enak aja! Omelnya. Ia sih hanya bicara kenyataan tentang lelaki-lelaki di luar sana yang siap pacaran tapi gak siap menikah. Yang siap maksiat tapi gak siap menjemput pahala. Dina baru sadar juga sih tentang hal itu. Sejak melihat Farras menikah dengan Ando ia jadi terinspirasi kalau jatuh cinta yang benar itu, ya begitu jalannya. Menikah bukan memacari. Duh duh duh! "Dia sih udah lewat keleus!" "Ya bukan berarti mati dihati!" Dina terkikik. "Lo lagi curhatin Tatal? Udah jadi istri orang juga!" Ck! Kini giliran Ardan yang berdecak tapi gak bisa menyangkal. Ya sih. Ia juga heran. Kenapa move on begitu sulit untuknya? "Dan, kita itu boleh aja jatuh cinta sama orang tapi harus tahu batasnya. Ketika pada akhirnya kita harus berhenti karena orang itu pergi dari kita, tidak menerima kita atau memilih dengan yang lain!" Dina sok bijak menasehati. Omong-omong, ia juga susah move on sih. Tapi berhubung sudah dua tahun sendiri jadinya yah....ya sudah lah. Ia kan sudah pernah merasakan bagaimana perasaannya yang patah hati kronis gegara Pras jadian sama sahabat sendiri. Tapi ya, logika aja, kalau Pras bisa begitu mudahnya berpaling, kenapa ia enggak? Walau yang namanya perempuan dan laki-laki tak bisa disamakan. Gimana tidak? Yang satu logika sekali dan yang satu perasaan sekali. "Lo denger nih kata-kata gue, cowok kayak Pras itu gak pantes buat lo!" tekan Ardan yang membuat Dina memonyongkan bibir. Tuh kan....dia dikira masih gak bisa move on. Padahal kan enggak begitu juga. Ia itu sedang berada di masa transisi dimana jomblo menjadi biasa dan melupakan sedang berjalan prosesnya. "Gue juga gak ngarepin dia kali! Kayak gak ada yang laen aja!" ujarnya lantas balik badan. Mending juga ia mandi dari pada berdebat tidak penting soal Pras sama Ardan. "Kenapa lagi?" Wira muncul dari ruang kerjanya. Ia terganggu dengan kata-kata rusuh dua anaknya itu. "Biasa, Pa. Si Dina." Wira berjalan turun. Dina malah melengos seraya berjalan menuju kamarnya. "Gak usah didengerin, Pa. Gak penting!" "Soal Pras?" Wira langsung menyambung. Soalnya tadi ia sempat mendengar nama Pras disebut-sebut. Ardan malah terkekeh lantas bersiul-siul. "Ya ampun, Pa! Gak usah disebut-sebut deh!" "Kan Papa cuma nanya," lelaki itu bertutur pelan lantas duduk di dekat Ardan. Sementara Dina balik badan dan memilih duduk di tangga, gak jadi ke kamar. "Memangnya dia kenapa lagi?" "Gak kenapa-napa, Pa. Ardan aja tuh ngungkit-ungkit." "Bisa aja ngelesnya!" Ardan mulai rese. Kalau Papanya tak duduk di dekat Ardan, sudah dari tadi ia layangkan sandalnya. "Lupain aja lah cowok kayak gitu." Pesan Wira. Ia melihat anak gadisnya yang tampak menghela nafas lantas berdiri dan berjalan lagi menuju kamar. "Apa perlu Papa cariin calon suami?" Ardan langsung terbahak sementara Dina langsung balik badan. Matanya berbinar-binar. "Seriusan, Pa?" Hal yang membuat Wira terkekeh ketika menganggukan kepala. Anak gadisnya itu kegirangan. Entah itu efek gagal move on atau terlalu patah hati atau terlalu lama sendiri. Eeeh...mungkin yang ketiga yang paling benar hahaha! ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Ras mana, bun?" tanya Ando usai mandi. Ia sudah tiba lima belas menit lalu tapi sama sekali tak melihat penampakan istrinya. Makanya ia bertanya saat bunda mertuanya itu sedang berjalan menuruni tangga. "Gak tahu bunda. Tapi tadi sudah pulang kok." Ando mengerut heran. Lantas mencoba menelepon tapi tak diangkat. Baru saja akan keluar lagi, suara Farras yang heboh sudah menyambut dari belakangnya. Istrinya itu ternyata ada di halaman belakang dan sekarang memilih masuk karena harus merapikan meja makan. Sepuluh menit lagi, azan magrib akan berkumandang. Tapi kini malah heboh gelantungan di lengan suaminya. Farrel geleng-geleng kepala lantas memilih berjalan menuju meja makan. Bundanya sudah sibuk membangunkan Ferril yang tertidur di depan televisi. "Cuci muka, deeek," titah Icha saat berhasil menarik telinga Ferril hingga anak bungsunya itu berdiri sambil mengaduh-aduh. Farras cekikikan. Ando hanya bisa mengelus d**a. "Banguninnya gak pakek tarik telinga kali, bun! Udah tadi pas sahur, si Farras juga narik telinga adek!" keluhnya seraya mengadu dengan manja. Ia ogah-ogahan berjalan menuju kamar mandi.  "Kalau gak gitu gak bangun sih lo!" sungut Farras yang kini sudah melepaskan diri dari Ando. Ia sibuk membantu abangnya merapikan meja makan sekaligus menata piring, memindahkan nasi dan menaruh lauk pauk ke dalam piring dan mangkok. Ando? Ikut ngintilin istrinya kesana kemari. Entah Farras mengambil piring lah, mangkok lah, gelas lah juga sendok lah. "Lagian kebiasaan juga kamu, dek. Suka banget tidur menjelang magrib begitu!" Icha masih mengomel. Ferril yang baru keluar dari kamar mandi, hanya bisa menggerutu dalam hati. Ya kan, dia capek juga nganter-jemput Farras seharian ini. Bukannya UIN itu dekat banget sama Depok. Tapi salahnya juga sih, maksa-maksain diri. "Mulai besok kamu ke kantor Om kamu. Tadi dia titip pesan, wajib kesana!" tegas Fadlan yang baru keluar dari kamar. Lelaki itu baru selesai mandi setelah berbicara pankang dengan istrinya yang tetap seperti dulu. Memberikan harapan yang menggantung bukan sebuah kepastian yang memenangkan jiwa. Tapi Fadlan sudah berjanji dalam hati, kalau istrinya tak mau mundur maka ia yang akan maju. Kalau perlu, ia yang menghadap dekan fakultas agar mengeluarkan istrinya hahaha! "Harus besok banget, Pa?" "Lebih cepat lebih baik. Lagian kamu gak ada kerjaan kan?" "Tauuk! Dari pada tidur seharian?!" Farras ikut menyolot. "Bantu lah Om kamu itu. Gimana pun itu perusahaan keluarga." Akhirnya Ferril memilih mengalah walau caranya mengiyakan hanya dengan menghela nafas pasrah. Ia tak punya pilihan lain. "Oh iya, yang, besok kita buka puasa bersama di rumah Mami aja." Farras menepuk keningnya. Ia juga lupa. Padahal Omanya sudah berpesan sejak sebelum puasa agar diadakan acara buka bersama sekeluarga besar. Dimana rumah Opanya bakalan rusuh sekali. "Ras juga lupa, seharusnya Ras tidur disana malam ini." "Oma yang nyuruh?" tanya Bunda sementara Ando hanya menoleh, tatapannya seolah berkata 'kok aku gak tahu?'. Saat tahu ditatap Ando, Farras nyengir. Ia memang lupa. Benar-benar lupa gegara sibuk mempersiapkan UAS seminggu lagi dan juga sedang mengurus kedatangan donatur baru di yayasan. "Ya udah. Nanti abis tarawih aja berangkat kesana sama Ando." Titah Fadlan yang diangguki Farras. Tentu saja Ando harus ikut. "Adek ikut juga ah! Kan besok mau nganterin Farras juga ke kampus!" Ferril masih heboh soal antar-jemput itu. Hal yang membuat Farras terkikik sementara diam-diam Ando meneguk ludah dalam-dalam. Ini benar-benar perampasan. Ia baru merasakan ada saingan baru yang lebih berbahaya dibanding Andra yang hanya gebetan. Farrel? Menahan tawa diam-diam saat memerhati raut wajah tak mengenakan milik Ando. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Lama banget baru pulang kamu?" tutur Fadli saat hendak berjalan menuju dapur. Soalnya, anak sulungnya baru saja tiba padahal tadi sudah pamit duluan dari kantor. Hal yang kadang suka bikin Fadli heran. Entah pergi kemana. Yang ditanya hanya menghela nafas lantas meloyor ke kamar untuk mandi. "Biasa, Yaaah. Kayak gak tahu aja!" Malah Rain yang menjawab. Gadis itu sedang memindahkan foto dari kameranya ke laptopnya. Omong-omong ia mendapat job dari Aya untuk jadi fotografer di hari pernikahan sepupunya itu. Bahkan tadi, ia juga sudah tanda tangan kontrak soal itu ditambah kontrak selama bulan ramadhan untuk memfoto produk Aya. "Biasa apanya?" Fadli heran. Seharusnya ia gak usah nanggepin sih. Rain kan emang suka begitu. Tapi herannya, suka bikin penasaran Fadli. "Biasa.... jomblo yang susah lari dari kenyataan. Jadinya nyari-nyari pelarian deeeh," tuturnya yang membuat ibunya cekikikan. Bahkan Fadli juga ikut tertawa mendengar kata-katanya. Ngomongnya sih santai tapi jleb gitu. Soalnya penuh makna. "Mulutmu itu Rain......," Caca sampai kehilangan kata-kata. "Bukan masalah mulut, buk. Tapi masalah hati yang berbicara demikian!" Lagi-lagi ayah dan ibunya terkikik. Ini sih judulnya 'sedang mencurahkan isi hati yang sulit menerima kenyataan'. "Jadi itu si Aya?" Fadli memilih mengalihkan pembicaraan. "Ohooooo," biasa....ia menanggapi dengan heboh dan nada yang menggantung. Rain mah gitu orangnya! Jomblo yang suka kasih harapan. Tapi ujung-ujungnya mengenaskan. "Jadi dong! Rain kan udah tanda tangan kontrak, Yah." "Berarti bisa beli software edit foto sendiri kan?" "Ujung-ujungnya gak enak," keluhnya yang kembali membuat kedua orang tuanya terkikik. "Ya kan udah punya penghasilan sendiri," tutur Fadli lantas mengambil koran kemudian membuka-buka halamannya. Tata yang duduk di pangkuannya turut sibuk membolak-balik kertas koran yang ia pegang. "Orang tua mah gitu, mentang-mentang anaknya sudah punya penghasilan sendiri lantas dianggap mampu!" Ia mulai drama lagi. Kali ini Caca sudah terpingkal-pingkal. Gak sanggup lagi kalau hanya terkikik saja. "Belajar mandiri lah. Dulu ayah juga gitu." Sahut Fadli dengan enteng. Iya lah! Mana ada Adhiyaksa manja-manjain anak. Mau beli sesuatu ya silahkan usahakan sendiri. "Bilang aja pelit, gitu aja susah," dumelnya yang membuat Fadli kembali terkikik. Sebenarnya Fasha dengar sih apa yang diucapkan Rain. Tapi ia tak pernah menyangkal. Kadang juga suka berlagak tak peduli padahal nyes banger dihati. Mungkin ia terlalu munafik karena lain diwajah lain dihati. Tapi ia hanya menjaga harga diri. Memangnya tidak boleh jika ia memilih jalan itu sebagai jalannya untuk tegar? Apa ia harus rapuh lantas mengeluh seperti perempuan kebanyakan? Ia bukannya ingin berlagak sok kuat juga, tapi logically aja, hidup itu bukan cuma soal lelaki. Ya kan? Lagian saat ia baru saja membuka gerbang rumah tadi, sudah cukup menyesakan kok ketika harus berpapasan lagi dengan Adit yang melihat ke arahnya pun tidak. Tragis ya? Ya sih. Tapi sudah terlalu sering menyesal pun akan tetap sama. Adit mungkin tak kan peduli. Lagi pula, ia sudah terlalu pasrah untuk berharap. Maka ia memilih untuk belajar melupakan meski belum sepenuhnya. Mungkin jalan yang ia ambil kini pun kurang tepat karena ia hanya berlari. Namun kalau hanya berjalan di tempat pun itu terlalu bodoh. Lelaki memang bukan dia saja tapi dihati memang hanya dia saja. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ Wira mengetuk-ngetuk meja ketika istrinya belum pulang juga. Padahal sepuluh menit lagi waktunya berbuka puasa. Dina masih belum selesai mandi. Ardan yang baru sembuh sedikit sudah disuruh Wira membeli lauk dan nasi untuk berbuka. Karena mereka gak tahu kalau Mamanya belum nongol jam segini. Bahkan ditelepon oleh Wira pun, ponselnya tak aktif. Ia juga sudah menelepon Fadlan tapi Fadlan pun tak tahu karena sudah pulang duluan. Akhirnya ia malah disuruh Fadlan menelepon satpam rumah sakit dan mendapat kabar kalau mobil istrinya masih disana tapi tak tahu keberadaannya. Ia mencoba menelepon Fahri dan sama saja dengan istrinya. Bedanya, ponsel Fahri masih menyala hanya saja tidak diangkat-angkat. Ia jadi agak-agak khawatir. Istrinya kemana? Mobil ada di rumah sakit tapi orangnya? "Paaa! Adanya tinggal perkedel doang nih! Nasinya sih banyak! Bahkan tadi Ardan sampai muter-muter nyari restoran Padang yang masih banyak lauknya tapi kayaknya pada kompakan semua." Ardan berceloteh. Bahkan cowok itu baru saja melompat dari motornya. Wira hanya berdeham lantas mengambil piring. Ardan membantunya menaruh perkedel itu dipiring. Sementara ia mengambil piring yang lebih besar untuk menaruh nasi. Dina baru saja keluar dari kamar lantas mengerutkan kening melihat makanan yang ada di meja makan. Sepiring berisi kue yang ia beli. Sepiring besar isinya nasi. Piring yang satu lagi isinya perkedel. Lalu ada sup buah. Udah itu aja. Kemudian ia geleng-geleng kepala. Begini lah kalau gak ada emak di rumah. "Nanti Papa tarawih di rumah sakit. Kalian jaga rumah." Tutur Wira saat azan magrib tiba. "Ngapain ke rumah sakit, Pa? Liatin Mama?" Itu pertanyaan bodoh, gumam Dina dalam hati lantas ia mengetuk kepala Ardan. Saudara kembarnya itu langsung melotot. "He-em," hanya itu jawaban Papanya tapi sudah bisa ditangkap anak-anak sablengnya ini kalau itu menyiratkan sesuatu. "Mama sih perempuan strong, Pa! Gak kayak Dina!" Kepalanya ditoyor Dina. "Lah? Lo cowok, emang strong?" ia balas menyinyir.  "Udah, makan cepat setelah itu solat magrib." Tutur Wira yang entah kapan nasi dipiringnya sudah habis dimakannya. Dina bahkan ternganga saat Papanya sudah berdiri kemudian berjalan cepat menuju kamar. Pa, kapan makannya? Tahu-tahu udah habis aja. "Ada masalah?" Ardan mengendikan bahu. Ia juga ikut makan meski udah batalin puasa. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Naik mobil aja sih!" Farras ngotot. Tapi Ferril lebih ngotot lagi. Maksa buat naik motornya Farrel. "Lagian abang kan tadi sore bilang, motornya mau di service!" Sungut Farras yang membuat Ferril berdecak. "Mumpung abang masih di masjid!" Ferril kekeuh. Farras memonyongkan bibir. Saat hendak nyolot lagi, Ando muncul, menengahi keduanya. Kalau tidak, gak bakalan selesai itu masalahnya. "Pakek mobil Ando aja, bang. Besok nganterin Farrasnya, bawa mobil Ando aja." "Emang lo besok kagak kerja?" Ando menggeleng. Ia sudah ditugaskan Opanya untuk menemani di rumah besok seraya merapatkan perihal pernikahan Tiara bersama daddy-nya. Ferril mengangguk setuju. Farras geleng-geleng kepala. Padahal adiknya ini punya mobil tapi ogah bawa mobilnya karena bannya bocor usai mereka pulang dari Margo kemarin. Akhirnya tiga orang itu berangkat dengan formasi, Ferril yang menyetir, Farras duduk di sampingnya karena paksaan Ferril dan Ando yang duduk di belakang dengan raut muka menahan sabar. Hahaha! Bunda geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak bungsunya yang ada-ada aja itu. Kemudian berbalik masuk ke dalam rumah. Sementara Farrel baru keluar dari masjid usai mengobrol panjang dengan ustad Marshall sekaligus melepas kangen karena sudah lama tidak bertemu dengan lelaki itu. Sepintas, ia melihat mobil Ando lewat tapi tak ambil pusing dengan tiga orang di dalamnya. Ia memilih menyebrangi jalan lantas berjalan pulang menuju rumahnya. Besok, ia akan membawa motornya untuk di service dulu lalu langsung ke rumah Opa. Belum bisa ngojekin penumpang karena menurutnya, keluarga lebih penting. Aah....omong-omong, kalau sedang berjalan begini, ia teringat kejadian sesaat sebelum kembali kesini. Karena sepulang dari US, ia tidak langsung balik ke Indonesia. Ia dan dua temannya yang asli Brunei dan Malaysia, memutuskan jalan-jalan ke Singapore dan Malaysia bersama. Ketika itu lah ia bertemu perempuan yang berbeda dengan yang sebelumnya. Mungkin dulu hatinya juga bergetar ketika melihat Zakiya. Tapi tak seindah ini yang ia rasa. Kenapa? Karena perempuan yang ini berbeda. Ia tak tahu namanya. Ia hanya tak sengaja bersitatap dengan matanya ketika akan naik MRT dengan tujuan yang berbeda. Karena ketika ia terhenyak, lantas naik ke dalam kereta itu, ia kehilangan jejaknya. Dua hari kemudian, ia dipertemukan lagi oleh perempuan yang ia yakini itu adalah perempuan yang sama dengan matanya yang jelita. Yang hanya bisa ia ingat adalah matanya saat itu. Saat itu, ia dan dua sahabatnya akan mengantri di loket Stasiun JB Sentral. Tapi lagi-lagi, ia hanya sempat bersitatap dengan perempuan itu. Karena saat ia ber-istigfar seraya mengalihkan pandangan, ia kehilangan perempuan itu untuk kedua kalinya. Lalu ia kembali dipertemukan tiga hari setelahnya. Saat ia akan kembali ke Indonesia melalui Bandara KLIA 2 Malaysia. Saat itu ia baru akan mengantri di loket check in. Namun kali ini tidak hanya matanya yang ia ingat. Tapi juga tutur katanya saat meminta maaf karena perempuan itu tak sengaja menabrakan kopernya pada punggung Farrel. Hal yang membuat Farrel sontak berbalik lantas membeku ketika mata itu kembali menatapnya seraya meminta maaf. Lagi-lagi ia hanya bisa membeku lantas mengiyakan dalam hati kemudian dengan gugupnya, balik badan dan berusaha tetap fokus pada tujuannya mengantri. Namun akhirnya, karena tak kuat, ia memilih mengantri di loket lain saja. Tapi takdir seolah mempermainkan. Karena ternyata, perempuan itu duduk di seberangnya ketika di dalam pesawat. Hal yang membuatnya tak bisa menahan kehendak hatinya ketika itu. Kala hatinya bergetar pada seorang perempuan yang tak pernah ia tahu siapa namanya, bagaimana rupa wajahnya dan ia hany tahu tutur katanya yang lembut. Seorang perempuan yang menjaga pandangannya dan kehormatannya di mata Tuhan. Yang hanya bisa Farrel ingat saat itu adalah ketika tangan perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah Al-Quran kecil lantas membacanya. Ketika penumpang lain memilih terhenyak dalam tidur, perempuan itu malah memilih terhenyak dalam ayat-ayat-Nya. Itu lah perempuan yang berhasil menggetarkan Farrel saat itu. Namun ia baru tersadar saat pesawat itu sudah beranjak turun dari langit dan memilih daratan sebagai tempat bernaung sementara. Ketika ia hendak menanyakan namanya saja, ia sudah kehilangan jejak di tengah keramaian bandara. Perempuan yang membuatnya susah tidur, susah pula mengenangnya. Ia hanya bisa berdiam tanpa berani meminta karena takut kecewa. Bagimana kalau bukan perempuan itu yang dituliskan untuknya? ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Astagfirullah, Ril....Ril.....," Tiara sampai ngelus d**a saat melihat siapa yang memakai mobil adiknya. Ando hanya bisa pasrah sementara Opa terkekeh melihat tiga cucunya itu. Ferril sih bodo amat. Ia malah keluar dengan santai lantas menyalami Opanya. Anne? Sudah terpingkal di dekat pintu melihat tampang masam abangnya. Farras hanya terkekeh. Tahu kalau muka suaminya mulai keberatan dengan kelakuan Ferril. Padahal biar Ando ngerasain tuh. Kan kalau di rumah Feri, Farras suka rebutan Ando sama Anne. Sekarang gantian ia yang rebutan Farras sama Ferril. "Kelakuan elo yak! Dasar anak emak emang!" sungut judes Tiara keluar. Gak cukup kalau cuma mengelus d**a. "Sewot lo, kak," ketusnya lantas berjalan masuk, mencari Omanya. Omong-omong, ia memang belum bertemu Opa dan Omanya. "Nginep disini juga, kak?" tanya Farras pada Tiara yang masih takjub akan kelakuan Ferril. Kini bocah itu sudah memeluk Oma seraya mencium pipi Omanya itu. Dia kan emang gitu. Penyayangnya ditunjukin. Kalau Farrel sih malu. Melukin Omanya aja kadang malu apalagi kalau dicium Omanya. Beda sama Ferril yang emang senang diperlakukan seperti itu. "Iya nih. Besok mau masak-masak. Lo ikut kan?" "Ras harus ke kampus besok sih, kak. Tapi siang udah pulang kok," tutur Farras lalu berjalan menuju kamar Papanya dulu. Kamar itu masih sering ditempati kalau ia menginap disini. Walau kadang lebih sering tidur bersama Omanya. "Adel sama Adeeva gak ada yang bawa kesini?" tanya Oma. Ia juga kangen sama krucil-krucil rusuh itu. "Di rumahnya, Oma. Tante bilang, besok pagi diantar Om Akib kesini." Jawab Tiara yang membuat Oma mangut-mangut. "Farrel?" "Abang mau jadi tukang ojek, Oma," tutur Ferril yang mengundang tawa Opa dan Omanya. Tiara malah menganga. Anne hanya menoleh sekilas lantas terkekeh kecil. "Mau eksperimen apalagi dia?" tanya Tiara setelah lepas dari keterperangahannya. "Biasa, kak, bisnis....," sahut Farras setelah menaruh baju di kamar Papanya. Oooh. Omanya masih terkikik. Opa? Sama saja. Kelakuan Farrel memang persis Fadlan kan. Dulu si Fadlan juga begitu saat ingin membangun rumah sakit. Baru masuk semester pertama kedokteran, ia sudah ngotot minta dimasukan magang ke rumah sakit relasi papanya. Ternyata, ada maksud tertentu. Fadlan gak cuma mempelajari bagaimana ilmu kedokteran diterapkan tapi juga manajemen rumah sakitnya. Alhasil? Ya lihat saja sekarang. "Bagus itu. Ini terus cucu Opa yang satu ini gimana?" Pertanyaan itu menjurus pada Ferril yang malah sedang melahap habis kue brownies di kulkas. "Duh dia sih gak usah ditanya, Opa. Udah resmi jadi tukang ojek Farras sejak hari ini," sahut Farras lantas terkekeh bersama Opa. Opa sudah bisa menebak apa yang terjadi. Ckckck. Tiara geleng-geleng kepala. "Gimana mau dapetin calon istri lo! Penghasilan aja gak punya!" ledek Tiara. Ferril mendengus. "Gue gak punya penghasilan aja, masih panjang antrian, kak!" Balasnya yang membuat Tiara kepengen muntah sementara Farras terpingkal-pingkal. Emang ya....urat playboy-nya belum putus juga. "Yee.....tampang gak selamanya menang kali! Ada kalanya ketampanan kalah sama kemapanan!" Eeaaak! Anne terbahak. Jadi inget salah satu sepupu mereka yang juga ditinggal nikah. Durhaka sama Tiara sih. Dulu hobi banget nge-bully Tiara gegara ditinggal nikah sekarang gantian dia yang rasain! Hahaha! "Coba, cewek mana yang mau dikasih tampang doang?!" tantang Tiara. Ucapan yang membuat rumah opa itu kembali berisik. Ia sih realistis aja, ya gak? ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD