Rival

2569 Words
Jangan sampai persahabatan hancur Hanya karena kita menyukai hal yang sama -Anglipur- **** Saat ini aku sedang bergelung di tempat tidurku mencoba untuk memejamkan mataku karena aku berniat untuk tidur siang, akan tetapi kejadian tadi di sekolah membuatku sulit untuk memejamkan mata. Ciuman Adiemas terus saja menghantui pikiranku. Apa disana dia juga sedang memikirkanku. Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan Ayu bahwa yang tahu hatiku hanya aku sendiri, apa jangan-jangan aku mulai suka dengan Adiemas, astaga jangan sampai hal itu terjadi. Aku tidak mau merasakan kehilangan lagi. "Fanny, ada temanmu yang mencarimu." Panggil ibuku dari keluar kamar. "Siapa Bu?" Tanyaku penasaran. "Teman SMP-mu yang dulu sering kesini." Balas ibuku Mendengar hal itu pikiranku langsung tertuju ke nama Berlin, karena dia dulu sangat suka ke rumahku begitu pula aku yang sering bertandang ke rumahnya, akan tetapi semenjak SMA kami tidak pernah melakukan hal itu lagi, entahlah aku merasa kami seperti musuh. Ya memang kuakui dia adalah rivalku, sainganku dalam segala hal dari mulai organisasi, lomba, dan bahkan untuk peringkat sekolah. Akan tetapi walaupun begitu, dulu kami tetap bersahabat baik dan membantu sama lain. Dan seperti yang aku bilang tadi, kami menjadi jauh saat sama-sama menjadi OSIS di SMA dia sebagai Bendahara dan aku sebagai Sekretaris. Segera kubangun dari tempat tidurku, merapikan rambutku sejenak sebelum keluar menemuinya. Samar-samar kudengar ibuku mengobrol dengan Berlin. "Kamu kok sekarang jarang kesini?" Tanya ibuku yang sedang duduk di hadapan Berlin. Bukan jarang lagi bu, tapi memang nggak pernah koreksiku dalam hati. Sebenarnya aku agak ragu bertemu dia. "Fokus belajar tante, biar gampang masuk universitas favorit." Jawab dia kalem. Belajar klise memang untuk pelajar seperti kami, tapi untuk dijadikan alibi seseorang menjauh dari sahabatnya kupikir kurang tepat. "Fanny, ayo cepat turun, malah melamun di anak tangga." Teriak ibuku. "Eh iya bu." Jawabku ragu kulihat Berlin hanya melirik sekilas ke arahku. Aku segera duduk di sofa di samping ibuku. "Ya udah ibu tinggal dulu ya, Berlin sering-sering main kesini biar Fanny nggak dekem di kamarnya terus." Ujar ibuku lalu pamit ke belakang. Astaga ibu tega banget ngatain anaknya dekem, dikira aku ayam apa dekem. Segera aku duduk di hadapan Berlin. Suasana canggung langsung melingkupi kami. Jujur saja aku bingung ingin membicarakan apa, selama ini obrolan yang kami lakukan hanya sebatas kepentingan organisasi.  "Fanny, sebenarnya. . . . . " Dia mulai berbicara dengan gugup, dan aku dengan seksama menantikan kata yang terucap dari bibirnya. "Aku ingin kamu jauhi Galih." lanjut dia tegas, kali ini sorot matanya tajam memandangku. Tunggu, apa alasannya dia berkata seperti itu. Ok memang kuakui, aku punya perasaan lebih padanya. Tapi itu dulu, sekarang aku tidak mempunyai perasaan apapun padanya terlebih sejak kejadian tadi. "Apa maksudmu?" Tanyaku menyelidik. "Kamu pasti paham maksudku." Balas dia dengan nada sengit. Loh kok dia malah marah, pikirku bingung. "Kamu suka sama Galih kan?" Lanjutnya masih terus dengan nada sinis. "Kau mau jawaban jujur atau tidak?" Sepertinya perkataanku malah mendatangkan bumerang bagiku, kulihat pandangan matanya semakin sengit kepadaku. "Menurutmu?" Tanya dia balik masih dengan pandangan tajam. Jengah dengan keadaan ini akhirnya aku angkat suara. "Kau harus mendengarnya baik-baik dan jangan menyela ucapanku." ucapku kemudian sambil menghela nafas kecil. "Aku memang suka sama Galih. . ." Belum selesei aku mengucapkan ucapanku dia menyela. "KAMU JAHAT BANGET FAN, POKOKNYA AKU MINTA KAMU JAUHI GALIH." "Aku belum selesei bicara, kamu dengarkan aku sampai selesei." Akhirnya dia menenangkan emosinya dan kembali diam. "Aku ulangi aku memang suka sama Galih, tapi itu dulu aku nggak punya perasaan apapun lagi kepadanya, kita pure sahabat, sempat sih aku berniat nikung kami, tapi setelah aku pikir-pikir lagi nggak ada gunanya, aku nggak mau merusak persahabatan kita hanya karena kita menyukai hal yang sama." Kulihat ekspresi wajahnya berubah-ubah saat mendengarkan ucapanku, awalnya dia marah kemudian ekspresinya melembut, lalu berubah marah lagi dan yang terakhir ekspresinya berubah sendu, dia lalu menunduk. Kami saling terdiam satu sama lain, pikiranku menerawang akan masa lalu kami, dimana kami saling bercanda satu lama lain, jalan bareng, belajar bareng, bahkan saat kita memilih SMA kami sepakat memilih sekolah yang sama tujuannya biar bisa sama-sama terus, tapi harapan hanya harapan. Persahabatan kami di SMA menjadi renggang, kami sangat jarang bertegur sapa, ketemu pun hanya saat ada rapat OSIS. "Kamu beneran udah nggak suka lagi sama Galih?" Tanya dia kemudian. "Aku nggak bohong." Jawabku tegas. "Aku berharap bisa mempercayai kata-katamu, tapi aku nggak bisa, Galih sering menghindariku, dan selama pacaran dia itu lebih mementingkan kamu bahkan kalau dia bercerita pasti nggak jauh jauh dari nama kamu, kalau begini sebenarnya yang jadi pacarnya aku atau kamu." Ucap dia frustasi. "Berlin, dengerin aku, sahabat dan pacar itu punya tempatnya masing-masing di hati seseorang, seorang pacar bisa berperan ganda menjadi seorang sahabat, tapi sahabat berperan menjadi pacar itu nggak akan berhasil." Yakinku padanya. Kulihat dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa menanggapi ucapanku. "Kalau dia memang suka padaku, maka sudah sejak awal dia bersamaku bukan denganmu." Lanjutku. "Jadi selama ini aku salah?" Tanyanya.  Aku mengernyitkan dahiku, maksudnya apa. "Kupikir kau, kau mau merebut Galih dariku kupikir kamu. . . ." Dia menundukkan kepalanya dan menahan isak tangis. Karena tak tega, aku lalu berpindak duduk disampingnya dan memeluknya tanda simpati, aku bingung kenapa dia menangis. "Maafkan aku Fanny, aku menjauhimu selama ini karena kupikir kamu akan merebut Galih dariku." ucapnya terbata-bata di sela isak nangisnya.wah Aku menghetikan elusan tanganku pada tangannya. Jadi dia selama ini berpikiran seperti itu, hey aku tidak sepicik itu, bahagia di atas penderitaan orang lain. Hukum karma pasti berlaku, mungkin saat ini aku bisa bahagia tapi dimasa mendatang pasti aku juga akan merasakan apa yang yang dirasakan orang yang kusakiti. Dan aku nggak mau mengambil resiko dengan menyakiti Berlin. "Loh kok malah pada nangis-nangis gini?" Tanya ibuku yang tiba-tiba datang dengan nampan yang berisi makanan dan minuman. "Nggak papa tante, lagi bahas PTN aja, takut nggak bisa masuk Uiversitas favorit." Jawab Berlin yang kini tangannya mengelap bekar air mata di pipinya. "Udah kalian nggak usah takut gitu, asal kalian belajar mau universitas seperti UGM atau ITB pasti bisa masuk, kalau nggak jalur undangan ada jalur SBMPTN dan jalur mandiri bahkan di UGM juga jalur UTUL diadakan dua kali kan." "Iya bener banget Tante, tapi masih bingung mau pilih yang mana." "Ya ambil sesuai minat aja, kalau orang tua nggak setuju, bujuk aja mereka biar setuju, kan yang menjalani kamu bukan mereka." Balas ibuku sambil tersenyum ramah.  Aku kagum dengan ibuku, meskipun hanya seorang ibu rumah tangga tapi beliau juga paham akan pendidikan anaknya, itulah mengapa untuk masalah pendidikan aku sering mendiskusikannya dengan beliau. "Kamu mau ambil apa Berlin, kalau Fanny nggak tahu tuh mau ambil apa, matematika aja nggak bisa." Aduhh, ibu malah bahas itu, nyesel aku muji dia. "Hahahaha, ternyata dari SMP masih saja nggak bisa matematika, kalau aku tante maunya ambil kedokteran di UGM tapi orangtua lebih setuju ke UI, katanya biar deket dengan keluarga, ayah kan juga kerja disana." "Ayah kamu masih kerja di BPPK?" Tanya ibuku penasaran. Fix, penyakit keponya ibu kumat. "Iya, Tante." Balas dia sambil mengangguk. "Kok, kamu nggak nerusin ayahmu aja?" tanya ibuku "Nggak ah, Tante, kalau aku ikut ayah harus sekolah di STAN dulu, takut penempatannya jauh, hehehe." "Lihat tuh Fanny, Berlin aja udah tahu mau kemana, la kamu belum punya gambaran apa-apa." "Iya, iya bu, lagian juga masih lama lulusnya." "Susah ngomongnya sama kamu, nanti kalau udah mepet waktunya kamu bingung lagi." Nasihat ibuku kepadaku. "Iya, iya siap bos mami." "Ibu ke belakang dulu ya, Berlin sering-sering lagi main kesini." "Siap tante, hehehe." Akhirnya obrolan itu hanya diisi oleh aku dan Berlin, tidak ada suasana canggung lagi karena semua kesalahpahaman telah diluruskan. **** Aku mengantar Berlin ke depan rumah. Dia sudah menstarter motornya. "Berlin." Panggilku padanya. Dia menengok tanpa akan tetapi tanpa melepas helmnya. "Apa?" "Kuharap kita bisa seperti dulu lagi." Ia hanya diam tanpa menjawab tapi aku melihat senyuman terukir di bibirnya sebelum pergi meninggalkan rumahku. Setelah mengantarnya, kuputuskan untuk pergi ke tempat favoritku dan disinilah aku, berdiri di atas jembatan sambil melihat pemandangan sunset. Entah kenapa aku sangat suka dengan pemandangan matahari terbenam. Dengan melihat senja aku menyadari bahwa hari telah berlalu, semburat warna jingga yang perlahan-lahan menelan awan biru. Disaat senja pula aku bisa melihat burung-burung yang beterbangan menembus awan. Rasanya aku ingin berlama-lama disini untuk menatap senja. Tiba-tiba saja aku teringat saat dibonceng Adiemas melewati Alaska, senja disana juga terlihat sangat indah apalagi ditambah sandaran punggung Adiemas. Astaga kenapa pikiranku mengarah ke dia, rasa panas mendadak menjalar ke pipiku. Aku lalu menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri untuk mengusir bayangan Adiemas. "Fanny." Ternyata sosok itu bukan banyangan dan benar-benar ada didepanku. "Fanny." Panggil dia sekali lagi, dalam anganku sekarang dia berubah menjadi sosok lain. "Bagas." Dan untuk pertama kalinya aku memanggil dia dengan nama kecilnya.   BAB 13 LANGIT SENJA   Mengapa dulu kau pergi meninggalkanku Padahal kamu berjanji untuk selalu bersamaku Dan saat aku mencoba untuk melupakanmu Kamu kembali lagi disini Entah aku harus senang atau sedih akan kehadiranmu Tapi yang jelas rasa sakit ini belum hilang dari hatiku -Fanny- **** Fanny." Panggil dia sekali lagi, dan dalam anganku sekarang dia berubah menjadi sosok lain. "Bagas." Dan untuk pertama kalinya aku memanggil dia dengan nama kecilnya.  **** Aku tidak menyangka dia berada disini, di tempat yang sama denganku. Dia masih mengenakan pakaian tadi, celana jeans yang dipadukan dengan kaos hitam. Kali ini dia tidak memakai jaket, sehingga aku bisa melihat otot bisep yang tercetak jelas di lengannya. Pandangan mataku kini beralih ke wajahnya tidak lebih tepatnya di bibirnya. "Sedang apa kau disini?" Pertanyaan Adiemas membunyarkan lamunanku "Emm, kau sendiri sedang apa disini?" Aku merutuk dalam hati menyadari nada bicaraku yang terlihat gugup. "Sama sepertimu." Dia terkekeh kecil lalu berjalan ke arahku, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. "Hah?" Aku mengerutkan kening bingung, sedari tadi aku hanya melihat matahari terbenam tanpa melakukan apapun. Dia semakin mendekat dan mengacak rambutku. Loh kenapa jantungku berdetak sangat kencang. Melihatku diam, Adiemas terkekeh kecil. "Aku sedang melihat senja dan gadis yang kucintai." Aku tidak begitu jelas mendengar ucapannya. "Maksudmu?" "Sudahlah, ayo pulang." Ajak dia, aku baru menyadari bahwa hari mulai beranjak malam. Dia berjalan dan menggandeng tanganku. "Adiemas lepas aku bisa jalan sendiri." Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku. "Adiemas?" dia berkata dengan nada bertanya. "Kupikir tadi kau mulai memanggilku dengan nama Bagas." "Apa, kau pasti salah dengar." ucapku gelagapan, kenapa juga aku tadi memanggil dia dengan nama itu. "Tidak, aku tidak salah dengar." Wajahnya semakin mendekat ke arahku. Jangan bilang dia mau menciumku lagi. "Apa yang mau kau lakukan?" Tanyaku gugup. "Cuma mengecek kau sedang berbohong atau tidak dan ternyata kau berbohong." Jawab dia, wajahnya masih berada tepat di depan wajahku, hingga aku bisa merasakan deru nafasnya saat dia berbicara. "Aku tidak berbohong." Balasku dengan menjauhkan diri dari Adiemas tapi dia menahan tubuhku agar tidak menjauh dan malah memeluk tubuhku. "Adiemas." Dia tetap tidak bergeming. "Panggil aku Bagas." Ucap dia tanpa melepaskan pelukannya. "Nggak mau." Balasku tak mau kalah. "Yasudah, kita akan seperti ini sampai besok." Astaga, keras kepala banget Adiemas ini. "Ba. . . . Gas." Ucapku tersendat-sendat karena sudah lama aku tidak memanggil dia dengan nama itu. "Mulai sekarang, kamu harus panggil aku dengan nama itu, kalau kamu tidak mau jangan salahkan aku kalau aku akan menciummu di depan semua orang." Apa aku nggak salah dengar, seenaknya dia bicara seperti itu. Memanggil dia dengan nama Bagas sama saja dengan membuka luka lama, aku tidak yakin bisa melakukannya setiap saat. Aku tak bisa menahan air mata di pelupuk mataku, "Hey, kenapa kau menangis." Tanyanya saat menyadari aku mulai mengeluarkan air mata. Aku malah semakin terisak, aku juga tidak tahu mengapa aku menangis, tapi bayangan masa lalu yang berputar di pikiranku membuatku tak bisa menghentikan tangis ini. "Kamu jahat Bagas." Isakku pelan, kuyakin dia masih bisa mendengar ucapanku, karena saat aku mengucapkan kata itu, tubuhnya menegang. "Fanny." Dia memandangku bingung dan mulai melepas rengkuhannya. Entah kenapa aku malah semakin terisak dan berulang kali menggumamkan namanya. "Fanny, tenanglah." Pinta dia kepadaku. Aku sebenarnya ingin menghentikan tangis ini, tapi aku tak bisa. Air mataku terus menetes tanpa kuminta, dan bibirku terus menggumamkan nama kecilnya. Semakin banyak aku menggumamkan namanya semakin lebar luka di hatiku, bahkan sekarang aku merasakan sakitnya lagi dan itu lebih sakit daripada dulu. Dia yang berada di depanku, mengacak rambutnya frustasi, tidak ada satu patah katapun yang keluar dari bibirnya, pandangannya sendu ke arahku, dan dia berulang kali menggumamkan kata maaf, meskipun lirih tapi aku bisa mendengarnya. Tangannya mulai merengkuhku kembali, aku menenggelamkan kepalaku di dadanya merasakan dekapan hangatnya yang telah lama tidak aku rasakan. Dia berulang kali mengelus rambutku dan menenangkan diriku, tapi semua itu sia-sia, tangisanku malah semakin menjadi-jadi. Senja kali ini harus berakhir dengan tangisanku dalam dekapan orang yang pernah meninggalkanku. **** Sampai di rumah, ibuku kaget melihat mataku yang sembab. Tapi aku tidak memedulikannya dan langsung masuk ke kamar. Sementara Adiemas kulihat dia berbincang dengan ibuku dan aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Sekarang aku hanya butuh tidur melupakan sejenak masalahku. Flashback On "Bagas, ayo kejar aku." Ucapku sambil berlari-lari kecil di taman. "Tunggu aku Fanny, jangan lari-lari, nanti kamu jatuh." Balas anak laki-laki seumuranku. "Hahahahaha, bilang aja kamu nggak bisa tangkap aku." Ejekku padanya. Aku terus berlari tapi tiba-tiba aku kehilangan keseimbanganku. "Fanny." Bocah laki-laki itu langsung menghampiriku yang sedang menangis. "Sudah kubilang kamu jangan lari-lari, jadi jatuh kan." Aku yang dimarahi hanya diam tanpa membalas ucapannya. "Sa. . kit." Ucapku terbata-bata di sela isang tangisan. "Sudah, jangan menangis, mana yang luka." "Aku menunjukkan lututku yang berdarah." "Astaga, lukamu parah, ayo pulang." "Tapi aku takut dimarahi." "Tenanglah, ada aku, nanti kalau kamu dimarahi aku yang akan melindungimu." Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku. "Ayo sini naik ke punggungku." Dia membungkukkan badannya. "Kamu mau apa?" Tanyaku bingung. "Udah naik aja." Aku lalu naik ke punggungnya. "Ayo kita pergi ke luar angkasa." Ucap dia sambil tertawa, dia berlari kecil seolah-olah membawaku terbang. "Hahahaha, pelan-pelan Bagas, nanti jatuh lagi." "Pegangan aja, kan kita mau ke bulan." Balasnya masih dengan tertawa. "Kalau mau ke bulan harus pakai roket Bagas." Ucapku sambil tertawa. "Oh iya, iya, ya udah kita pulang aja." "Hahahaha, kamu lucu." "Kan biar kamu nggak nangis lagi, masak udah gedhe masih cengeng." "Aku tadi nggak nangis, cuma kelilipan." Belaku. "Kalau nanti nggak ada aku, kamu jangan nangis lagi." "Nggak kamu nggak boleh kemana-mana, kan kamu udah janji sama aku." Rengekku padanya. "Iya, iya, tapi janji ya sama aku jangan cengeng lagi." "Iya, yang penting kamu nggak ninggalin aku." Balasku padanya. "Siap tuan putri." Flashback Off Aku terbangun dari tidurku, lagi lagi aku memimpikan Adiemas. Segera ku ambil air minum yang sudah aku siapakan di meja dekat tempat tidurku lalu meminumnya hingga tandas. Jika sudah terbangun seperti ini, aku susah untuk tertidur kembali.  Kulihat jam yang ada di dinding kamarku. Ternyata jam 2 pagi, oh tidak aku melewatkan makan malamku. Tapi kenapa ibuku tidak membangunkanku, astaga aku baru ingat bahwa pintu kamarku aku kunci, kunci serepnya juga aku bawa dan aku baru menyadari bahwa pakaian yang kupakai masih sama dengan yang tadi. Kuputuskan untuk ke balkon kamar untuk menyegarkan pikiranku. Sepertinya cuaca sedang mendung, karena aku tidak melihat bintang yang menghiasi langit yang ada hanyalah gumpalan awan yang saling bergelung satu sama lain. Pandanganku menyisir lingkungan rumahku, sampai mataku terkunci pada sosok yang berada di depanku, tidak lebih tepatnya di seberang sana, di atas balkon kamarnya. Mata kami saling beradu, berusaha menyelami isi pikiran masing-masing. Sampai aku memutuskan kontak mataku secara sepihak karena aku tidak sanggup menahan air mata di pelupuk mataku, aku berbalik sambil membekap mulutku menahan isak tangis karena tak sanggup untuk melihat wajahnya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD