Beginning

1682 Words
Aku mencoba menjauhimu Akan tetapi kau malah semakin mendekat kepadaku -Fanny Andreas- **** Matahari belum sepenuhnya muncul ke permukaan. Aktivitas pagi hari masih belum dimulai, aku mulai mengayuh sepedaku ke sekolah. Hari ini jam ke nol sekolah dimulai pukul 06.15, dan dengan sepeda membutuhkan waktu 45 menit, menjadi rutinitas pagi untuk berangkat setengah enam. Sebenarnya orang tuaku mampu untuk membelikan sebuah sepeda motor agar aku lebih cepat sampai di sekolah, tapi darah China yang mengalir di dalam tubuh ibuku membuat ibuku menjadi super hemat, aku tidak boleh berangkat ke sekolah naik sepeda motor, padahal sebenarnya alasan konkretnya supaya tidak boros. Tapi ia selalu beralasan biar sekalian berolahraga, atau karna aku yang belum punya SIM. Hadehh jadinya aku harus bersusah payah untuk bangun pagi agar tidak terlambat. Sebenarnya mataku masih mengantuk, setelah begadang semalaman belajar matematika. Namun hari ini tetap saja aku belum siap. Sekolah tampaknya masih sepi, hanya terpampang mobil kepala sekolah dan para wakilnya, pak satpam sudah stand by di posnya. Aku senang hari ini tidak telat, kalau tidak aku harus berurusan dengan Pak Parmin, satpam di sekolahku. Dia sangat hapal denganku, karena hampir setiap jam ke nol yaitu Selasa, Rabu, dan Kamis aku terlambat, dia pasti yang mengawasiku apakah melaksanakan hukuman dengan benar, karena aku sering curi curi kesempatan tidak melaksanakan hukuman dan langsung meluncur ke kelas. "Pagi Pak." "Pagi, tumben nggak terlambat." ''Iya dong pak, bosen dihukum terus, hehehe mari pak." "Sippp." Pak Parmin mengacungkan jempol, tapi aku sudah mengayuh sepedaku dan sampai parkiran sekolah. Kelasku terletak di dekat kantor guru, jadi sangat dekat dengan gerbang sekolah. Ruang kelas istimewa, kenapa aku bilang seperti itu karena hanya ruang kelasku yang terletak tepat disamping kantor guru. Sementara ruang kelas lain terletak di seberang lapangan dan di dekat taman sekolah yang jaraknya cukup jauh dari kantor guru, kalau mau menuju kantor guru bisa menghabiskan setengah jam istirahat, perlu kalian tahu jam istirahat cuma 15 menit. Kadang-kadang aku merasa kelas kami terisolasi dari kelas yang lain. Gara-gara kebijakan dari kepala sekolah, karena kelasku adalah kelas majemuk, ya ada yang beragama islam, kristen, katholik, dan hindu. Katanya sih perlu pengawasan khusus, alasan aja bilang aja buat kelas percobaan, ya kelas percobaan. Perlu diketahui bahwa sekolahku menerapkan kurikulum baru, yang setiap tahun ada pergantian kelas dan pergantian mata pelajaran, jadilah kami menjadi bahan pengamatan pertama apakah kurikulum baru itu berjalan dengan baik atau tidak, dan akan diketahui hasilnya dari banyaknya dari teman seangkatanku yang diterima di perguruan tinggi melalui jalur SNMPTN atau jalur undangan, jalur tanpa tes, jalur masuk perguruna tinggi yang paling didinginkan oleh pelajar di Indonesi. Selain tanpa tes jalur tersebut juga sebagai gengsi kemmpuan murid sekolah tak hanya itu melalui jalur itu biaya untuk sekolah di perguruan tinngi jauh lebih murah daripada jalur tulis. Cara mengikutinya pun cukup mudah, hanya dengan menggunakan nilai raport dan nilai ujian nasional. Meski sering protes tapi tetap aja ruang kelas kami tidak dipindah. Walaupun ada untungnya juga punya ruang kelas dekat kantor guru. Pertama kita bisa tahu pelajaran kosong atau tidak dengan menengok langsung ke kantor guru apakah guru yang mengajar ada atau tidak Kedua kalau mengumpulkan tugas jadi lebih cepat, dan kita bisa minta ulangan susulan dengan mudah kecuali dengan Pak Ranto atau kalau beruntung bisa mencuri dengar hasil rapat guru. Meskipun bagi anggota OSIS sepertiku informasi seperti itu sangat mudah kuketahui. Sampai di ruang kelas, sudah banyak teman-temanku yang datang. Tapi mereka sibuk berkutik dengan buku pelajaran matematika dan tidak menghiraukan kehadiranku "Assalammualaikum." Sapaku. "Walaikumsalam." Balas mereka tanpa melihatku. "Ya ampun guys, mau kita belajar tetap aja nanti soalnya sulit ketebak, aku sudah tanya kelas lain katanya soalnya cuma 2 nomor, dan tiap kelas beda-beda, katanya sih itu soal SBMPTN tahun lalu." Kataku saat aku duduk di bangkuku yang terletak paling depan. "Serius kamu Fanny," balas Lindha yang duduk di belakangku. "Yaa," aku menggangguk. "Santai aja, paling paling kita juga cuma dapat nilai 40, salah benar skornya 20," tukas Lyco yang baru sampai kelas, melewati bangku tempat dudukku. "Yah Lyco nggak ingat apa dulu di kelas 11 dapat nilai di bawah standar, kita harus minta tanda tangan orang tua dan orang tuaku langsung di hubungi di depan kita, katanya buat mastiin kalau tanda tangan orang tua kita asli," balas Ayu yang tak setuju dengan pendapat Lyco. "Sudahlah aku sudah bosan belajar, Lyco data presentasi ppt kewirausahaan kamu bawa kan?" "Iya dong Fanny, ini, nanti presentasi pakai laptop kamu lho", jawabnya sambil memberikan flashdisk berwarba putih dengan merk yang berasal dari Thailand "Siapp bos, aku yang jadi moderator kamu yang mencatat pertanyaan, nah si Rahman yang jawab dan Devin yang operator laptopnya, oke" "Oke deh," balasnya lalu pergi ke luar kelas menyapa teman-teman yang lain. "Fanny, nasib kita jelek amat ya, yang lain diajar Pak Ranto saat kelas 12, lhah kita pas kelas 11 dulu juga diajar oleh dia, hemm aku masih ingat nilai ulanganku jeblok semua, untungnya pak Ranto agak baik kasih nilai di raportnya diatas KKM meski cuma 79 sih, haha." Curhat Lindha yang kini meletakkan buku pelajarannya. "Nggak papalah, kalau nggak kaya gini, nggak ada cerita yang berkesan di SMA, lagian tahun depan sudah lulus, hahaha say Good Bye ke Pak Ranto." Jam mulai menunjukkan pukul 07.30, tinggal 15 menit lagi jam pelajaran kewirausahaan telah usai, tapi Bu Tatik guru Kewirausahaan kami belum juga datang. Kalau keadaanya seperti ini dugaanku pasti dia absen hari ini. Kini saatnya ketua kelas kami Bamban menjalankan aksinya yaitu mengintai kantor guru. Tanpa menunggu aba-aba dari kami dia langsung keluar kelas menuju kantor guru. Dia memang seorang ketua yang bisa diandalkan, dengan modal suara tegasnya dia berhasil membuat kelas kami menjadi kompak dan selalu bersemangat. Di waktu jam pelajaran kosong dia sering berdiri di depan kelas untuk memberi candaan lucu atau hanya sekedar menyetel musik di tape recorder, dan yang paling penting saat ada agenda kegiatan sekolah dia pasti selalu siap berkoordinasi dengan kami. Menyatukan berbagai perbedaan yang ada di kelas ini, jika tidak muncul kata sepakat maka akan diadakan voting. Andil dia di kelas ini cukup besar, tidak sepertiku biasanya aku hanya bertugas mencatat hasil keputusan rapat di kelas ini atau sekadar menulis hal yang dikatakan Bamban di papan tulis. Lima menit telah berlalu, Bamban akhirnya telah kembali dari pengintaiannya di kantor. Eekspresi wajahnya sulit ditebak, antar bahagia dan senang. Sebuah ekspresi yang menyiratkan sebuah ketidakpastian. Aku dan teman-teman mencoba menebak, saling berbisik satu sama lain. "Guys, ternyata ada rapat di ruang guru," suara Bamban menghentikan keributan kami. "Ada rapat apa mban, kan Dies Natalis sudah kemarin, masa rapat terus?" tanyaku. "Yang kudengar tadi samar-samar, katanya ada guru baru," balasnya. "Siapa?" Tanya Lyco. "Nggak tahu," tukas Bamban. "Yah," seru kami kompak. "Fanny, kan hari ini nggak jadi presentasi gimana kalau data yang kemarin aku revisi lagi soalnya ada yang belum aku edit," Rahman tiba-tiba menghampiriku. "Oke Rahman," jawabku senang dan menyerahkan flasdisk pemberian Lyco tadi. "Sipst, weh masih belajar mbak, udah nggak usah belajar lagian nilai kamu udah bagus, aku dong santai." Rahman mencoba menasihatiku saat pandangannya melihat buku matematika di atas mejaku. "Hemm, bagus dari mana, aku pernah dapat nilai nol tahu gara-gara nggak boleh ikut ulangan susulan sama Pak Ranto," balasku tak mau kalah. "Salah sendiri, malah pilih rapat OSIS, tapi kemarin nilaiku cuman dapat 70, haha." "Lha baguslah, kamu 70 yang lain cuma dapat 40 tauk", Lindha ikut menimpali. "Ya juga ya, eh Fanny pinjam laptopmu mumpung jam kosong nih mau wifinan dulu, lumayan kan." "Iya Rahman, ini," balasku tersenyum, ini orang ada-ada saja. "Eh Rahman itu mau ulangan malah wifinan, hadehhh." Ayu tiba tiba bicara, saat Rahman sudah pergi. "Biasalah, ia terus-terusan udah santai nggak usah belajar, tau tau nilainya paling bagus, hahaha," tukas Lindha sambil membenrkan jilbabny yang sedikit mulai turun. "Biarlah, memang ini ulangannya jadi apa?" Tanyaku. "Nggak tau, tapi jadi mungkin masih ingat kan waktu kelas 11 saat Hari Guru, kelas lain sibuk mengikuti lomba memasak, kelas kita malah tertutup rapat karna ada ulangan, kelas lain pada ngledekin kita, tapi sekarang aku puas karena mereka kini juga merasakannya, hahaha," Ayu menjawab dengan sangat antusias, seperti saat ia sedang resentasi di depan kelas. Aku yakin jika saja statusnya bukan pelajar ia mungkin kini menjadi penyiar berita yang lihai menyampaikan berita. "Tapi kan Ayu, kelas 12 yang diampu pak Ranto Cuma kelas 12 MIA1 sampai MIA 3," sahutku. "Kan yang penting ada kelas lain yang juga merasakan," balas Ayu tak mau kalah, kalau soal Argumen dia pasti akan mempertahankan argumennya sekuat tenaga, kalau Argumen itu bisa dipegang mungkin dia akan membangun tembok yang lebih besar dan lebih panjang dari Great Wall yang ada di China. Waktu terus berlalu, lonceng pergantian jam telah berbunyi. Dan suasana kelas berubah mencekam, tidak terdengar satu suarapun dari kelas ini. Yang terlihat hanya ekspresi wajah wajah ketakutan dengan keringat yang mulai mengucur di dahi. Setengah jam pelajaran berlalu, Pak Ranto belum kunjung datang apa rapatnya belum selesei. Tapi tadi ketika Bamban kembali mengecek ruang kantor sudah sepi, para guru telah mengajar di ruang kelas masing-masing. "Tap,,,tap,,tap" Suara langkah kaki yang mendekat ke ruang kelas kami, dilihat dari iramanya jelas itu suara langkah Pak Ranto. Dengan waktu sesingkat ini, percuma juga belajar, tidak ada yang bisa kuingat. Kepanikan menyelimuti sekujur tubuhku, mana saat ulangan Pak Ranto sama sekali tidak bisa mencontek. Jangan harap bisa mnengok kesana kemari, hanya sekadar menengok ke teman sebangku saja tidak ada kesempatan. Waktu yang diberikan hanyalah 10 menit, 5 menit untuk satu soal, ya memang jumlah soal hanya dua, tapi kalau soal sekelas Olimpiade. Soal-soal seperti itu tidak diajarkan di kelas formal seperti sekolah ini. "Tap,,,tap,,tap" Suara langkah itu kian mendekat, Ya Tuhan aku pasrah aja, yang penting dapat nilai. Teman-teman yang lain juga kelihatan sudah menyerah, kami segera menyimpan buku matematika kami. Lindha, bendahara kelas segera membagikan kertas khusus untuk ulangan. "Tap,,tap,,tap" "Ceklek" Pintu kelas terbuka , semua orang kaget. Tapi bukan kaget karena pak Ranto telah masuk kelas, melainkan karena siapa yang telah masuk kelas ini. Haah, dia Adiemas untuk apa dia ke sini. Lhoh seragam yang dia kenakan seragam batik yang biasa dikenakan guru di sekolah ini, dan buku yang dia bawa seperti buku yang biasa dipakai oleh Pak Ranto saat mengajar. Jangan-jangan dia. . . . ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD