Hari itu, seperti biasa, Alina duduk di meja kantornya. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Ponselnya tergeletak di atas meja, layar ponsel itu masih menyala, menampilkan pesan dari Rian yang belum ia buka. Untuk pertama kalinya, Alina merasa tak berdaya. Ia telah mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan, tapi bayangan masa lalu dan Rian yang semakin dekat dengan kebenarannya terus menghantui.
Sejak percakapan terakhir di taman, hubungan mereka memang telah berubah. Rian tidak hanya seorang pria yang sekadar bertemu dengannya dalam situasi kebetulan. Rian telah menjadi seseorang yang memegang kunci untuk mengungkap rahasia kelam dalam hidupnya—sesuatu yang telah lama ia sembunyikan.
Flashback: Pertemuan Awal
Beberapa hari sebelum pertemuan di taman, Rian mengirim pesan singkat pertama kali. Saat itu, Alina tengah terjebak dalam rutinitas kantornya, disibukkan oleh laporan yang harus diselesaikan. Alina memang selalu menjaga jarak dengan orang lain, terutama ketika ia merasa terancam. Namun, ada sesuatu dalam pesan Rian yang membuatnya merasa tidak bisa mengabaikannya.
"Alina, aku ingin mengenalmu lebih baik. Bolehkah aku minta nomor teleponmu?"
Alina terdiam lama saat membaca pesan itu. Nomor telepon—itu adalah batas yang selalu ia jaga. Namun, ada sesuatu dalam nada pesan Rian yang tidak bisa ia hindari. Bukan sekadar rasa ingin tahu atau perhatian biasa. Rian ingin tahu lebih banyak tentang dirinya, dan dalam hatinya, Alina merasa penasaran. Setelah beberapa saat merenung, ia akhirnya membalas pesan itu dengan ragu.
"Ini nomor saya," tulis Alina, mengikuti dengan sedikit ragu, "Tapi saya harap kita bisa berbicara dengan baik-baik. Ada banyak hal yang tidak bisa saya ungkapkan."
Rian membalas dengan cepat, "Aku mengerti, Alina. Aku tidak akan memaksakan apapun. Aku hanya ingin lebih mengenalmu."
Dan sejak saat itu, mereka mulai berkomunikasi. Awalnya, hanya percakapan biasa—pertanyaan-pertanyaan ringan tentang pekerjaan, cuaca, dan kehidupan sehari-hari. Namun, semakin banyak pesan yang mereka tukar, semakin Alina merasa bahwa ada yang lebih dalam dari sekadar pertemuan kebetulan. Rian selalu mengajukan pertanyaan yang membuatnya merasa seolah-olah dia tahu lebih banyak daripada yang dia tunjukkan.
Kembali ke Masa Kini
Sekarang, setelah beberapa hari berlalu sejak pertemuan mereka di taman, Rian semakin mengganggu pikirannya. Apakah ia bisa terus menyembunyikan rahasia dari pria ini? Bahkan tanpa banyak bertanya, Rian telah mengetahui bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang Alina tidak siap untuk ungkapkan.
Alina menatap ponselnya. Pesan dari Rian masih tergeletak di sana, menunggu untuk dibuka. Matanya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahan dirinya untuk membuka pesan itu. Namun, akhirnya ia menarik napas dalam-dalam dan mengetuk layar ponselnya.
Pesan dari Rian:
"Aku merasa kita perlu bicara lebih banyak. Tentang apa yang kamu sembunyikan. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Jangan takut, Alina. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian."
Alina menutup matanya sejenak. Kata-kata itu seperti mengguncang pertahanannya. Tidak ada yang pernah mengatakan sesuatu seperti itu kepadanya. Tak ada yang pernah cukup peduli untuk melihat lebih jauh, untuk tahu bahwa di balik senyumnya yang sempurna, ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang ia coba sembunyikan.
Setelah beberapa saat, Alina membalas pesan Rian.
Balasan Alina:
"Apa yang kamu ingin ketahui, Rian? Apa yang sebenarnya kamu cari?"
Rian membalas dengan cepat.
Balasan Rian:
"Aku hanya ingin kamu merasa nyaman. Tapi aku merasa kita harus berbicara lebih terbuka, Alina. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Sesuatu yang berat. Jika kamu ingin berbagi, aku di sini untuk mendengarkan."
Alina menggigit bibirnya. Rian tidak hanya mendekatinya dengan cara yang lembut, tetapi juga penuh rasa ingin tahu yang tak terelakkan. Ia merasa terjebak antara keinginan untuk menjauhkan dirinya dari Rian dan dorongan untuk menjelaskan segala sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.
Kembali ke Masa Lalu: Kilasan Gelap
Malam itu, setelah berhari-hari mencoba untuk menghindar, Alina akhirnya merasa siap untuk menghadapi kenyataan. Di bawah sinar lampu temaram, ia duduk di meja kerjanya dan membuka kembali album foto lama yang sudah lama terabaikan. Foto-foto itu penuh dengan kenangan yang tidak ingin ia ingat—kenangan yang membawa kembali rasa takut yang membekas dalam dirinya.
Di salah satu foto, ia melihat wajah Damien—pria yang pernah menguasai hidupnya. Wajah itu tidak hanya mengingatkan Alina pada cinta yang salah, tetapi juga pada rasa takut yang pernah menggerogoti dirinya. Hubungan mereka bukanlah hubungan yang sehat. Ada pengendalian, kekerasan tersembunyi, dan rasa terperangkap yang semakin mengikis dirinya. Semua itu adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa ia lupakan.
Tapi Damien tidak hanya menjadi bagian dari masa lalunya. Dia masih ada, mengintai dari jauh, membawa ancaman yang selalu mengintai.
Rian, di sisi lain, semakin menjadi penghalang besar dalam melarikan diri dari bayang-bayang Damien. Meskipun ia merasa tertarik pada Rian, Alina tahu bahwa pria itu bisa saja menjadi ancaman dalam cara yang berbeda. Rian, dengan rasa ingin tahu yang tajam, bisa saja menggali lebih dalam ke dalam masa lalunya—dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia biarkan.
Kembali ke Pertemuan dengan Rian
Hari berikutnya, Alina akhirnya memutuskan untuk menemui Rian. Mereka sepakat untuk bertemu di tempat yang lebih sepi, sebuah kafe kecil yang jarang dikunjungi orang. Ketika Alina masuk ke dalam kafe, ia melihat Rian sudah duduk di sudut, memandangnya dengan tatapan yang penuh pengertian.
"Terima kasih sudah datang," kata Rian ketika Alina duduk di depannya. Suaranya tenang, namun ada ketegangan di baliknya.
"Rian," Alina memulai, "Ada hal-hal dalam hidup saya yang tidak bisa saya ungkapkan dengan mudah. Dan saya tidak tahu apakah saya siap untuk menceritakannya."
Rian menatapnya dengan serius, namun senyum tipis menghiasi wajahnya. "Aku tidak ingin memaksamu, Alina. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku di sini, bukan untuk menghakimi, tapi untuk mendengarkan."
Alina menghela napas panjang. Setiap kata Rian terasa seperti sebuah jaring yang semakin menyusut, mendekatkan mereka pada sebuah titik yang tidak bisa lagi ia hindari. Ia tahu, inilah saat yang menentukan—apakah ia akan membiarkan Rian mengetahui lebih banyak tentang dirinya, atau apakah ia akan terus bersembunyi di balik tembok yang telah ia bangun begitu lama.
"Kamu harus tahu, Rian," suara Alina terhenti, "Ada sesuatu yang lebih gelap dalam hidup saya daripada yang kamu kira. Sesuatu yang mungkin tak akan pernah kamu pahami."
Rian menatapnya dengan penuh perhatian, seolah menunggu lebih banyak. "Ceritakan padaku, Alina. Aku janji aku tidak akan pergi kemana-mana."
Namun, apakah Alina siap untuk menghadapi masa lalu yang kelam itu? Ataukah ia akan terus hidup dalam bayang-bayang yang tak pernah bisa hilang?