Episode 1:Senyum yangTerluka
Alina berdiri di balik jendela kaca yang membentang lebar, menatap kota yang terhampar di bawah. Di luar, langit senja berwarna oranye keemasan, seolah menyapanya dengan kehangatan yang semu. Namun, bagi Alina, pemandangan itu hanya bagian dari rutinitas yang tak pernah berubah. Kehidupan yang sempurna, yang ia pilih untuk jalani, selalu memiliki harga yang mahal.
Di usia 25, Alina sudah menjadi simbol kesuksesan dan kemewahan. Sebagai CEO dari perusahaan keluarga, dia memiliki kekuasaan yang tak terbantahkan dalam dunia bisnis. Segalanya tampak berada di ujung jarinya: kekayaan, pengaruh, dan kecantikan yang luar biasa. Namun, meski semuanya tampak ideal, hatinya sering kali terasa kosong, dipenuhi dengan kekosongan yang sulit dijelaskan.
Senyumnya—senyum yang begitu mudah ia tampilkan kepada dunia—selalu menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih gelap. Tak ada yang tahu bahwa dibalik penampilannya yang sempurna, ada luka mendalam yang selalu ia sembunyikan. Sebuah rahasia yang terus membayangi hidupnya, yang tak seorang pun bisa mengerti.
Pagi itu, seperti biasa, Alina melangkah keluar dari rumah besar milik keluarganya di kawasan elit kota. Sebuah mobil Maserati hitam menunggu di depan, sopir pribadi membuka pintu untuknya dengan sikap yang terlatih. Alina mengangguk, memasuki mobil dengan gerakan anggun, seraya memperhatikan jalanan yang sibuk.
Di dunia luar, dia adalah seorang wanita yang selalu dikelilingi oleh pujian. Namun, di dalam rumahnya yang sepi, ia hanya merasa terasing. Bahkan keluarga yang seharusnya paling mengenalnya, tak pernah benar-benar tahu siapa dia. Bagaimana mungkin mereka bisa mengetahui tentang luka yang tersembunyi, yang datang dari masa lalu yang kelam?
Tiba di kantor, Alina melangkah dengan langkah pasti ke ruang rapat. Seketika, suasana berubah. Semua mata tertuju padanya, seolah ia adalah pusat dari segala perhatian. Ia bisa merasakannya, tekanan halus yang ada di udara—keinginan untuk menyenangkan, untuk dihormati, untuk dipuji. Dan ia tahu bagaimana cara memenuhinya.
Namun, meskipun segala pujian itu datang dari berbagai arah, hati Alina terasa berat. Ia berusaha mempertahankan profesionalisme, berbicara dengan tenang dan penuh percaya diri. Tapi di dalam dirinya, ada dorongan untuk melepaskan semuanya—untuk keluar dari kehidupan yang ia bangun, dan mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kesempurnaan yang menyesakkan.
Setelah rapat selesai, Alina memutuskan untuk mengambil waktu sejenak untuk diri sendiri. Menyusuri koridor kantor, ia melirik ke luar jendela kaca besar yang menghadap ke taman di seberang. Pemandangan itu memberikan sedikit ketenangan, meskipun hanya sementara. Namun, suasana ini berubah begitu ia melihat seseorang yang tidak ia kenal tengah duduk di taman tersebut—seorang pria yang tampak seolah berada di luar dunia yang sama dengannya.
Rian.
Dia tampak begitu tenang, duduk di bangku taman, dengan buku yang terbuka di tangannya. Rian bukan seseorang yang menarik perhatian dengan cara yang biasa. Tidak seperti pria-pria lain yang akan segera terpesona dengan penampilan Alina, Rian justru tampak seperti tidak peduli sama sekali. Ada sesuatu dalam dirinya yang menenangkan, namun dalam ketenangan itu, Alina bisa merasakan ketajaman yang aneh—sebuah ketajaman yang membuatnya merasa terpojok.
Alina berbalik, mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ia tidak tahu apa, namun ia bisa merasakan bahwa Rian melihat lebih dari sekadar permukaan. Bukan karena ketampanannya yang mengesankan, atau aura misterius yang selalu melekat padanya, tetapi lebih karena cara dia memandang dunia—seolah ada sesuatu yang ingin dia pahami, sesuatu yang tersembunyi di balik topeng yang dipakai orang lain.
Pagi berikutnya, saat Alina sedang menikmati secangkir teh di sebuah kafe mewah, matanya kembali bertemu dengan tatapan Rian. Kali ini, mereka berada di dekat satu meja, meskipun tidak saling berbicara. Rian duduk di sudut ruangan dengan postur yang tenang, sementara Alina merasakan ketegangan yang tak terungkap.
"Apakah kita bertemu sebelumnya?" tanya Rian, suaranya rendah namun jelas, seolah pertanyaannya adalah sebuah pernyataan.
Alina mengerutkan kening, merasa sedikit terganggu dengan kehadirannya yang mendekat. "Saya rasa tidak," jawabnya, berusaha menjaga jarak.
Rian tersenyum, bukan senyum yang biasa dilihat Alina. Senyum itu bukanlah senyum ramah atau tertarik. Itu adalah senyum yang mengandung pemahaman yang jauh lebih dalam. "Tapi saya yakin kita pernah," katanya, matanya bertemu dengan mata Alina dengan cara yang sangat berbeda dari orang lain. "Saya bisa melihatmu, Alina."
Alina merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Ada sesuatu yang menyesakkan di d**a, sesuatu yang ia coba untuk sembunyikan jauh di dalam, tetapi pria ini—Rian—seolah bisa melihat semua itu. Rasa takut yang selama ini ia pertahankan, perlahan mulai muncul ke permukaan. Tak ada yang pernah bisa melihatnya seperti ini sebelumnya.
Senyumnya kembali muncul, namun kali ini, terasa berbeda. Bukan senyum yang penuh kepura-puraan, tetapi senyum yang menyembunyikan kekhawatiran. "Saya tidak tahu apa yang Anda maksud," jawabnya, mencoba mengalihkan perasaan yang mulai menguasai.
Rian hanya mengangguk perlahan, seolah dia tahu lebih dari yang Alina sadari. "Tentu saja kamu tidak tahu," katanya, suara itu begitu lembut namun tajam. "Tapi percayalah, saya akan tahu."
Alina terdiam, merasakan ketegangan yang perlahan membakar dirinya. Pria ini bukan hanya melihat penampilannya, tetapi dia melihat lebih dari itu. Dia melihat ke dalam dirinya, dan itu adalah sesuatu yang belum pernah ia izinkan pada siapapun.
Saat Rian bangkit dan berjalan pergi, Alina hanya bisa menatapnya, perasaan yang rumit bercampur aduk di dalam dirinya. Rasa penasaran dan ketakutan bercampur menjadi satu. Rian, dengan semua ketenangannya, adalah ancaman yang belum pernah ia temui sebelumnya—sebuah ancaman yang bisa membuka pintu-pintu yang seharusnya tetap tertutup.
Malam itu, Alina kembali ke rumah besar yang sepi, namun tidak ada ketenangan di hatinya. Ia berdiri di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang cantik namun penuh dengan luka yang tersembunyi. Senyum yang ia pasang untuk dunia, kini terasa semakin berat. Ada seseorang yang akhirnya bisa melihat apa yang ia sembunyikan. Dan entah mengapa, itu membuatnya takut.