Teror

1045 Words
"Cie Jihan ...." Suara menggelegar Zia dari sambungan telepon langsung mengema memenuhi kamarku, begitu aku nengaktifkan gambar speaker pada ponselnya. "Masyallah ukhti ... salamnya mana," sindiriku yang seketika mwmbut Zia tertawa renyah di seberang sana. "Afwan, aku jadi kelupaan sangking excited-nya ...." "Emangnya soal apa sih?" Aku menganti posisi dari duduk di kursi, menjadi berbaring ke kasur. "Loh, soal kamu lah ...." "Eh, kok aku?" Aku berpikir sejenak sebelum teringat kalo dua jam yang lalu, aku melakukan hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Aku curhat secara gamblang mengenai perasaanku pada Zia dan ya, soal rasa gugupku yang untuk pertama kalinya memberikan sesuatu pada seorang pria. "Ah, itu," ujarku pelan, di otakku secepat kilat mencari topik baru, tapi sayangnya otakku buntu. Ingin rasanya aku menarik kembali pesan itu, tapi semua sudah terlambat. Zia sudah membacanya dan dia heboh di seberang sana. "Fiks sih, ini namanya cinta Jihan ... Kamu suka sama kakak kelasmu itu," ujar Zia masih dengan kehebohan yang tidak berkurang. "G-gak gitu, Zia. Aku tuh cuma ..." Aku kehilangan kata-kata untuk mengambarkan apa yang sebenarnya hatiku rasanya. Rasanya aku tidak bisa memungkiru setiap mengingat namanya saja, hatiku berdebar tidak karuan. Seolah ada badai yang terus membuat cuaca pada hatiku, selabil orang haid. "Cuma apa?" Ah iya, topik soal Zia waktu itu. Aku tersenyum lega, aku bisa mengalihkan topik ini. "Oh iya, Zia ... kamu belum cerita loh soal hadiah misterius di depan kosan kamu. Gimana?" Terdengar dari seberang sana, Zia tanpa mendengus, sadar kalo aku tengah menganti topik. "Gak gimana-gimana sih .... paling orang iseng," sahut Zia seadanya. Dengan cepat aku langsung kembali bertanya, sebelum Zia kembali menganti topik. "Terus ?" "Hem, ya terus ... aku buang di tong sampah," sahut Zia santai. Berbanding terbalik denganku yang seketika langsung mengernyitkan dahi. "Lho, kok ....?" "Eh, emang kenapa? Toh, gak tahu juga dari siapa, kan?" Zia terdengar bingung. Aku mengangguk pelan, meski itu rasanya tidak perlu. "Tapi paket itu buat kamu, kan? Ada nama kamu dan alamat lengkap kamu, kan?" "Iya sih ...." "Mungkin itu dari teman yang kenal sama kamu. Soalnya kalo orang asing, dari mana mereka tahu nama lengkap kamu." "Iya sih ... emang salah ya?" tanya Zia yang sekarang terdengar menyesali perbuatannya. Aku jadi ikut merasa bersalah sudah membuat Zia merasa tidak nyaman. "Ya udah lain kali ... jangan buang hadiah dari orang. Gak baik. Atau minimal di cek dulu, takutnya itu emang dari sahabat atau teman kamu di kampung." "Lagian, apa salahnya sih tulis nama pengirim. Kenapa harus tulis TPX doang," gumam Zia pelan. "Seingatku, aku gak pernah temanan sama TPX, penghapus, pensil apalagi buku." Celoteh absurd Zia langsung kusambut dengan tawa, yang tak lama Zia ikut tertawa juga. Kami akhirnya mengobrol ringan, tidak mengenai topik tentangku dan topik Zia barusan. Topik pembicaraan kami beralih menjadi seputar tugas dan persentasi pekan depan. "Nanti, buat power poinnya, aku aja ya. Kebetulan aku baru dapat link templet Power Poin yang lucu banget," pinta Zia. Yang tentunya langsung aku setujui. Bukan karena Zia tidak suka penolakan, melainkan karena Zia sudah menawarkan itu yang artinya Zia sudah mempersiapkan segalanya. Menurutku Zia itu sosok gadis yang pantas disebut sebagai alfa girl, dia pintar, baik, cantik dan paham betul akan tujuannya. Entah Zia sadar atau tidak, diam-diam banyak mahasiswa yang menaruh hati pada Zia. Aku sering melihat beberapa mahasiswa yang diam-diam mencuri pandang ke arah Zia. Bahkan perada satu mahasiswa yang begitu berani meminta nomor ponsel Zia padaku. "Jihan, tunggu dulu, ya. Aku mau ngambil paket. Kayaknya ada paket lagi di depan kosku ... " Terdengar suara pintu terbuka, diiringin derap langkah kaki. Setelah keheninggan sesaat, kembali terdengar suara Zia di seberang sana. "Dari TPX," ujar Zia memberi tahuku. "Dari orang yang sama ... " ujar Zia memberitahuku, "sebenarnya siapa orang ini ?" "Aaarrrrrghhhh ....." Tiba-tiba panggilan mati sepihak. "Zia ?!" Spotan aku terperanjat. Aku mencoba menelepon kembali Zia, tapi nomor Zia seketika tidak aktif. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil gamis dan kerudung, pergi ke kosan Zia. Sesampainya di kosan Zia, hal pertama yang aku lihat pintu kosan Zia setengah terbuka. Hal yang tidak pernah Zia lakukan sebelumnya, setidaknya, selama aku mengenal Zia. Pasti ada sesuatu yang terjadi dan benar saja, begitu aku masuk ke dalam kosan Zia, aku langsung mendapati Zia menangis di sudut tembok, tatapan matanya menatap takut pada kertas yang tergeletak di depannya. Kau akan mati ! Aku menghampiri Zia dan berusaha menenangkan Zia. "Jihan, aku takut ...." lirih Zia pelan. "Tenang Zia, insya Allah semua baik-baik aja. Kamu tenang dulu ya." Aku kembali mengambil kertas itu lalu memfotonya sebelum membuang kertas itu dan membuang kotak kardus yang ternyata beriai tikus mati dengan mengenaskan, penuh darah dan bau busuk. "Kamu tenang ya. Sekarang kita mending ke kantor polisi. Kita harus laporin surat kaleng ini." Zia mengangguk setuju. Kami bergegas pergi ke kantor polisi yang kebetulan berada dekat dengan kosan Zia, hanya butuh menempuh jarak 15 menit dengan angkot. "Mbak, saya ingin membuat laporan atas nama teman saya," kataku pada polisi wanita yang nampak terkejut dengan kedatanganku dan Zia, yang sepertinya menganggu dirinya yang diam-diam sedang membuat vidio t****k. "Teman saya mendapat surat kaleng. Ancaman pembunuhan." Aku langsung menunjukan foto kertas ancaman yang Zia dapatkan pada polisi wanita. Namun polisi wanita bername tag Jina itu nampak tidak tertarik. "Itu cuma orang iseng," katanya tajam. "Orang iseng ?" Dahiku berkerut. "Ya. Di Indonesia banyak orang iseng. Tapi gak ada tuh ada orang yang buat laporan," sahutnya kali ini terdengar sinis. "Kalian pikir polisi itu babu kalian? Yang bisa diperintah seenak jidat? Hal sepele kayak gini aja heboh banget!" katanya lagi sembari membanting kecil berkas yang ada di hadapannya. "Hal sepele—" "Udah, Jihan ...." Zia langsung menarik tanganku, sebelum aku terpancing rasa kesal. "Mungkin kata polisi itu benar, ini cuma orang iseng." "Tapi, Zia ... gimana kalo ...." Aku seketika kehilangan kata-kata. Aku bingung harus apa sekarang. "Pokoknya kita harus buat laporan, supaya hal ini gak berlanjut. Kita harus—" "Udah kamu tenang aja. Insya Allah, aku gak bakal kenapa-napa kok. Itu cuma orang iseng. Sekarang mending kita pulang. Bentar lagi magrib." "Kamu yakin, kamu gak kenapa-napa?" "Iya. Tenang aja." Zia tersenyum kecil. Namun, sedikit pun tidak bisa membuatku tenang. Entah kenapa, hatiku berkata semua tidak sesederhana itu .... aku berharap semoga dugaanku ini salah. Semua akan baik-baik saja, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD