Ambisi

1004 Words
"Kerja bagus, Nasim." Pujian itu diiringi tepuk tangan dan sorak ramai semua orang. Nasim tidak mengira bahwa semua akan datang secepat ini. Dirinya yang sebelumnya hanya polisi lalu lintas berpangkat rendah, yang bahkan tidak pernah terlihat dan tidak pernah diperhitungkan. Kini berada di paling depan, berjabat tangan dengan perwira tinggi. Hal yang bahkan dalam mimpi saja tidak pernah Nasim bayangkan. Menurut Nasim apa yang dia lakukan hari ini merupakan kewajibabnya sebagai polisi, menganggalkan pembunuhan dan menangkap pembunuh yang selama ini menjadi buronan polisi. Meski Nasim hanya polisi lalu lintas dan bukan 'tugasnya' melakukan ini, tapi tetap saja Nasim merasa bahwa dia seorang polisi. Ia hanya berusaha menunaikan kewajibannya sebagai polisi, yaitu memberikan keamanan dan rasa aman pada masyarakat. "Karena kinerja kamu yang bagus, saya akan masukkan kamu dalam tim Bareskrim." Nasim tertegun, senyum mengembang di wajahnya seketika menjadi wajah haru. Nasim tidak menduga kalo niat baiknya akan berbuah semanis ini. Dia tidak berharap apa pun setelah pupus masuk menjadi bagian Reskrim, tapi lihatlah sekarang, Allah dengan mudah menganti semua doa Nasim dengan sekali pukulan saja. "Wih, selamat Nasim, akhirnya apa yang lo harapkan terkabul juga," bisik Eko pada Nasim yang kini tidak bisa menyembunyokan senyum bahagianya. Rasanya jika bisa terbang, Nasim akan segera mengepakan sayapnya, terbang setinggi mungkin sembari berteriak kencang meluapkan semua rasa bahagiannya. "Thank, Bro. Thanks ...." Nasim menyambut jabat tangan Eko. "Lo tahu gak kenapa gue bahagia banget, lo pindah ? Soalnya kalo gak ada lo, gue bisa tambah uang jajan di jalan." Eko terkekeh pelan. "Mau tuh perut jadi buncit makan uang haram?" balas Nasim, yang kembali disambut tawa mengelegar Eko. "Mungkin ini juga alasan Allah ngabuli doa, lo. Lo beneran polisi jujur. Gue cuma percaya dua polisi jujur di sini, lo sama polisi tidur." Keduanya kembali tertawa. Nasim akan sangat merindukan Eko, mulai besok. Meski mereka ada dalam satu kantor, tapi Eko yang merupakan polisi lalu lintas, sangat jarang berada di kantor. Tawa Eko mendadak berhenti, saat tiba-tiba Jina yang merupakan mantan dari Nasim, datang menghampiri Nasim sembari menyodorkan tangannya hendak memberi selamat pada Nasim. "Aku bangga sama kamu," kata Jina, yang seketika membuat Eko geram. Sebagai sahabat Eko, tahu betul bagaimana selama ini Jina memperlakukan Nasim bak sampah yang tidak berharga. Eko geram melihat Jina yang bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa, seolah perselingkuahnya waktu itu hanya angin lalu yang tidak akan Nasim ingat. Eko heran kenapa orang sebaik Nasim selalu saja mendapat wanita beracun macam Jina dan Najlah mantan kekasihnya yang terakhir. Bukannya magnet orang baik akan menarik orang baik juga? Atau malah kebalikannya? "Terima kasih," sahut Nasim seadaanya, mengabaikan uluran tangan Jina. "Selamat ...." Jina menggerakan kembali uluran tangannya, seolah berpikir bahwa tangannya barusan tidak terlihat Nasim. "Masih marah ?" Pertanyaan konyol yang seketika mengocok perut Nasim. Ingin rasanya Nasim tertawa kencang di depan wanita yang bukan saja mematahkan hatinya, tapi juga harga dirinya. Pria mana yang tidak marah atas perselingkuhan? Jika Najlah mantannya bersekingkuh diam-diam, maka Jina lebih parah dari itu. Jina berselingkuh tepat di depan matanya. Di hari lamaran mereka. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Dan tanpa perasaan bersalah sedikit pun, Jina berkata kalo dia tidak sudi menikah dengan polisi berpangkat rendah sepertinya. Namun, Nasim tidak ingin melakukan itu semua. Dia mungkin patah saat itu, tapi dia tidak bodoh dengan membiarkan gadis licik macam Jina menyita hidupnya, membuatnya terpuruk dan menangis. Tidak! Nasim cukup waras untuk bersyukur dapat melihat wajah asli Jina sebelum semuanya terlambat. Karena cinta, Nasim menjadi buta. "Bagaimana kalo kita mulai semuanya dari awal ?" Kening Nasim berkerut, bukan mempertimbangkan perkataan Jina barusan, melainkan muak melihat Jina yang begitu berhati batu. "Jika masih ada kemarahan, itu artinya masih ada rasa cinta," sahut Jina. Ha! Teori dari mana? Nasim spontan tersenyum miring, sinis. Hal yang selama ini tidak pernah Jina lihat dari sosok Nasim yang selalu berperan sebagai cowok baik dan lugu. "Kenapa kamu tersenyum ?" tanya Jina. Satu alis Nasim terangkat. "Lucu saja, saya baru sadar kalo anda sangat suka memakan omongan sendiri. Apa katamu waktu itu, kita tidak sebanding. Yap! Kita memang tidak sebanding. Manusia mana yang mau makan sampah ?" Wajah Jina mendadak merah, entah karena kesal atau malu. Eko yang berada di sebelah Nasim, buru-buru membungkam mulutnya sebelum suara tawa keluar dari mulutnya. "Mending sekarang lo pergi deh, lo ganggu hari bahagia Nasim aja," ujar Eko. "Diam lo !" Mata Jina membesar seolah nenek sihir yang berusaha menakuti anak kecil. "Ingat ini Nasim, lo gak akan bisa lepas dari gue. Oke, sekarang lo nolak gue. Tapi, gue pastiin, besok lo yang bakal ngejar-ngejar gue. Lo bakal bertekuk lutut di hadapan gue, kayak waktu itu." "Nasim udah punya cewek kali ...." sahut Eko asal. "Udah, iyain aja, itu cuma biar tuh cewek pergi aja," bisik Eko cepat sebelum Nasim protes. "Kamu udah punya cewek lagi ?"tanya Jina kaget. "Siapa sih cewek yang gak suka sam Nasim. Dia tampan, pekerjaan jelas dan baik. Cuma cewek bodoh yang gak suka sama dia," timpal Eko lagi. "Diam lo!" bentak Jina. Suara Jina yang nyaring berhasil menarik perhatian beberapa polisi yang masih berkumpul di lapangan. "Gue gak nanya sama lo !" "Kamu beneran udah punya pacar lagi?" "Bukan pacar, tapi calon istri," sahut Eko lagi. Tidak peduli seberapa kesalnya Jina sekarang. "Gak mungkin!" Jina tersenyum merendahkan. "Kamu pasti bohong, biar aku panas, kan?" "Saya ada calon istri atau pun gak, itu bukan urusan anda. Anda tidak berhak bertanya perihal itu pada saya. Kita hanya sebatas teman kantor, tidak lebih. Tolong jaga batas anda," sahut Nasim tenang. Eko yang mendengar itu rasanya ingin menepuk bangga bahu Nasim, tidak ia sangka kini Nasim, sahabatnya berhenti menjadi sad boy. Jina tersenyum sinis. " Lo pasti ingat, kalo gue tidak akan melepaskan apa yang gue inginkan? Lo yang gue mau sekarang." "Tuh, cewek gila kali ya," sambung Eko setelah Jina pergi dari hadapan mereka. "Gue juga heran, kenapa yang gue bisa suka sama cewek kayak dia?" "Apa jangan-jangan lo dipelet ... Pokoknya mulai besok lo harus rutin dah baca dzikir pagi petang, kata ustadz di komplek gue, itu bisa menakal pelet dan guna-guna." "Apa iya?" **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD