Peringatan Ketiga

1045 Words
"Yang benar saja, ini sambutan kedua?" teriak Harra sambil berlari ke luar ruangan. Untung saja tangga itu bisa dilalui. Kehebohan segera terjadi di Orchid Boulevard. Orang-orang berhamburan keluar. "Apa alarm kebakaran tak berfungsi?" seru seseorang yang telah berdiri di samping Harra, mereka berdua bersama dengan banyak orang menyaksikan para laki-laki yang berusaha memadamkan kebakaran sambil menunggu mobil Damkar datang. "Ya?" sahut Harra yang seolah baru tersadar. Kepala gadis itu menggeleng. "Ya, detektor asap dan api itu tak berfungsi, harusnya itu mengeluarkan air," jelas Harra sambil mengingat apa yang terjadi ketika bom molotov pertama dilemparkan. "Kamu tinggal di sana?" ujar penanya yang merupakan seorang laki-laki tua mengenakan celemek warna putih. Harra mengenalnya sebagai penjual makanan yang berada di toko seberang rumah Harra. Harra menoleh dan menatap laki-laki itu dengan penuh selidik. "Bapak melihat seseorang yang melemparkan molotov ke rumah itu?" tanya Harra sembari memperhatikan wajah laki-laki bertubuh gendut itu baik-baik. Laki-laki itu mengangguk. "Satu mobil dengan bak terbuka mengangkut beberapa laki-laki, mereka melemparkan em... kurasa bom-bom molotov dengan cepat ke rumah itu. Kejadiannya cepat sekali, aku yang baru membuang sampah tak sempat memperhatikan nomor polisi kendaraan itu dan yang lainnya," jelas laki-laki bertubuh tambun itu. Harra hanya bisa menatap laki-laki yang hanya memberikan keterangan umum itu tanpa bisa melakukan apa-apa. Mobil Damkar datang membelah kepadatan massa yang berkerumun memenuhi jalan. Kemudian para petugas pemadam kebakaran itu melakukan aksinya. Untung saja api dengan cepat dapat dipadamkan, dan rumah itu hanya tinggal kerangka ketika api panas itu benar-benar bisa dimusnahkan. Harra sebagai penyewa dan pemilik gedung dimintai keterangan, baik oleh petugas kepolisian maupun oleh pemadam kebakaran. Malam makin larut ketika gadis itu sudah diizinkan meninggalkan tempat itu. "Ah...!" keluh Harra yang sedang berjongkok di tepi jalan. Tiba-tiba matanya menangkap sepasang sepatu berkilat sekitar lima puluh centimeter di depannya. Dan ketika kepala gadis itu mendongak, satu senyum seringai dari wajah ganteng laki-laki dengan tinggi seratus sembilan puluh centimeter itu mengembang. "Butuh tempat menginap?" tawar laki-laki itu. "Assad? Kamu...," ucap Harra tak usai. "Aku langsung datang begitu mendengar berita itu," jawab Assad kemudian ikut berjongkok di samping Harra. Harra sejenak diam. "Apa Kamu juga pelakunya?" ucap Harra dalam hati tanpa menoleh pada laki-laki yang berada di sampingnya. "Jadi, apa Kamu akan berjongkok seperti ini sampai pagi?" seloroh Assad sambil tersenyum. Harra mendesah lelah. "Aku akan merekomendasikan satu tempat nyaman di hotel berbintang," bujuk Assad pelan. Harra menggeleng. "Oh, apa Kamu telah menerima tawaran dari pramuka itu?" ejek Assad sambil menunjukkan seorang polisi yang masih terlihat di TKP. Harra terkekeh pendek kemudian kembali menggeleng. Harra berdiri diikuti Assad. "Aku akan menyewa hotel yang biasa saja, tenang saja dan ... terima kasih tawarannya," ucap Harra kemudian tersenyum, melambaikan tangan, mencegat taksi dan meninggalkan Orchid Boulevard secepatnya. Kepala Harra sempat menoleh dan melihat bagaimana Assad terus memandanginya dari tempat ia berdiri. "Apa alasan yang ia ucapkan tadi jujur? Apa dia sebenarnya mengikutiku dan menyuruh anak buahnya atau siapapun itu untuk mencelakaiku?" ucap Harra dalam hati, gadis ini kemudian menyandarkan punggung sambil menekan-nekan dahinya. "Tunggu! Apa dia memperhatikanku? Apa arti tawaran itu? Jebakan?" Kening Harra berkerut-kerut memikirkan keanehan bos besar yang sempat terdeteksi itu. "Kita baru bertemu tadi pagi, em apa begitu biasanya tingkah bos mafia itu?" lanjut Harra mencoba menganalisa keadaan. Taksi berhenti di sebuah hotel dengan lambang mahkota. Hotel kelas menengah itu terlihat tidak begitu ramai. Mungkin karena ini bukan akhir pekan. Harra menyewa sebuah kamar standar yang berada di lantai tiga. Selang beberapa menit, gadis itu sudah mendapatkan kunci dan masuk ke kamar hotel yang terlihat bersih itu. Setelah memastikan semua aman, gadis itu sejenak berendam di bathtube untuk meredakan ketegangan. "Em ... tak selembar pakaian pun selamat, untung dalam kamar yang terbakar itu hanya ada beberapa baju, tak ada benda atau barang penting lain," keluh Harra sambil kembali memakai baju yang sudah dipakai dari pagi. "Besok terpaksa beli baju lagi," imbuh Harra lalu merebahkan tubuh di kasur empuk bersprei serba putih itu, setelah mematikan lampu ruangan. Gadis itu termenung. "Dua sambutan tadi pasti sebuah peringatan untuk tak masuk dalam tim penyelidikan itu. Apa anggota yang lain juga mendapatkan ancaman serupa atau hanya aku saja?" pikir Harra penasaran. Tangannya meraih handphone, tapi urung mengirim pesan ketika dilihatnya jam digital itu menunjukkan waktu yang hampir mendekatkan jam cinderela kembali berubah menjadi upik abu. Beberapa pesan muncul di layar. Gadis itu hanya mengusap ke bawah bagian atas layar tanpa membukanya. "Besok saja balasnya, biarkan mereka semua beristirahat malam ini," gumam Harra lirih. Harra menarik selimut dengan menjepitnya menggunakan jempol kaki. Kemudian memejamkan mata. Otaknya yang sudah biasa memecahkan kasus-kasus berat bekerja. "Kira-kira, siapa yang paling diuntungkan dengan kematianku? Assad? Em... kurasa tidak, itu akan menambah deret kasusnya. Jika korporasinya sedang tidak jadi perhatian nasional, mungkin kematianku akan menjadi salah satu kejadian tak penting yang menambah daftar kejahatannya. Tapi, tidak dengan sekarang, jika terjadi apa-apa denganku dia akan jadi sasaran amukan massa karena aku utusan dari masyarakat," pikir Harra, jari jemarinya saling terkait menempel di atas perut. "Apa ada pelaku lain? Tapi, siapa? Sepertinya tak ada yang menginginkan kematianku sampai mengirimkan pembunuhan seperti itu," lanjut gadis itu dalam diamnya. Tiba-tiba instingnya yang tajam bekerja. Tidak! Telinganya tak mendengar satu suara pun tertangkap dari ruangan ini. Tapi, dia yang biasa mengandalkan insting merasa harus waspada. Gadis itu tetap tenang ketika menangkap gerakan samar. Bagaimanapun gerakan itu disamarkan, secara alami, gerakan itu akan direspon oleh udara sekitarnya. Seketika Harra membuka mata sambil dengan cekatan menangkap sesuatu yang terasa didekatkan ke dadanya. "Hap!" seru Harra. Kedua tangannya berhasil menangkap pisau yang hendak ditusukkan oleh seseorang yang mengenakan topeng. Dari postur tubuh penusuk, Harra mengetahui jika seseorang dibalik topeng itu adalah seorang wanita. Harra bangkit sambil menarik dengan kuat wanita itu, kemudian memuntirnya hingga penusuk itu terkunci dalam kungkungannya. Penjahat itu berbalik dan melancarkan satu pukulan yang ditujukan ke arah wajah Harra. Gadis itu berkelit dengan memundurkan kepala, pukulan itu mengenai tempat kosong. "Ahh!" teriak Harra ketika tangan yang gagal memukul itu kembali melancarkan pukulan. Harra berkelit dengan kembali menggerakkan kepala ke belakang. Namun, gadis itu merasakan serangan lain yang terasa menggerakkan angin di sekitar wajahnya. Sebuah tendangan sabit dilancarkan dengan menyasar bagian samping kepalanya. Sedetik lagi telapak kaki itu akan menghantam pelipisnya. "Hat!" Dengan cepat tangan Harra menangkis tendangan itu. Fokusnya pada tendangan itu membuat gadis itu lengah. Penyerang mengarahkan tikaman ke ulu dadanya. "Agh!" Harra tersentak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD