Non-aktif Dari Kantor Detektif

1115 Words
Harra mengayunkan tubuh ke samping dengan cepat hingga tikaman pisau itu lolos. Gadis itu melihat kesempatan untuk memberikan serangan balik kemudian melancarkan tendangan ke pinggang penyerang. Dan itu membuat penyerang itu terpental menabrak dinding. Harra mendekat, kembali hendak menyerang penjahat yang tiba-tiba menyusup ke kamar hotelnya itu. Mendadak penyerang itu bangkit dan melemparkan diri ke jendela hotel. Seketika jendela kaca itu hancur berkeping-keping. “Agh!” seru Harra sambil berusaha menangkap si penyerang. Tapi, tangannya hanya menangkap udara kosong. Penyerang itu dengan lincah mendarat di atap yang lebih rendah yang berada di bangunan hotel. Beberapa saat kemudian terdengar langkah-langkah kaki yang bergegas mendekat, disusul dengan ketukan tergesa di pintu kamar. “Aaa!” Harra mendesah lelah, bahunya turun dan sesaat kemudian hanya bisa memandangi sosok penyerang yang menghilang dari pandangan di bawah sana. “Ya!” teriak Harra menjawab ketukan di pintu yang makin tak sabar. “Seseorang menyerangku,” jelas Harra ketika pintu terbuka dan beberapa pegawai hotel dengan wajah penuh tanya menatap gadis itu. Kemudian, sekali lagi Harra harus berurusan dengan pihak polisi yang dipanggil pihak hotel. Malam itu juga Harra check out dari hotel itu setelah interogasi selesai. Gadis itu terpaksa berganti taksi dua kali untuk mengantisipasi kemungkinan orang-orang yang menguntitnya. Gadis itu berhenti sebuah jalan kecil yang sepi yang berada di belakang deretan bangunan bertingkat. Kemudian berjalan ke sebuah bangunan bertingkat yang terletak di ujung jalan. Dengan gesit, gadis itu melompat dari ambalan ke bagian-bagian fasad bangunan yang dapat dijadikan pijakan. Kemudian sampai di balkon lantai dua, lalu dengan lincah, gadis itu menaiki pagar balkon dan melompat ke atapnya. Kemudian ia mengutak-utik jendela dan beberapa saat kemudian jendela itu dengan patuh terbuka. “Oh ... akhirnya ...,” ucapnya lega, kemudian dengan cepat meringkuk di karpet setelah sebelumnya menyambar selimut tebal yang terlipat di sudut ruangan. Pagi datang dengan cepat. Mata Harra belum terbuka, tapi telinganya menangkap suara sepasang roda mendekat. Berikutnya, pintu loteng itu terbuka dan suara roda itu makin dekat. “Bangun, Gadis Bencana!” Suara laki-laki yang terdengar berat dan dalam itu membuat mata Harra seketika terbuka. Dengan malas gadis itu bangun, duduk dan melirik dengan kesal, mulutnya cemberut. “Bentar lagi hari terang, jangan sampai tak bisa keluar dari tempat ini,” lanjut suara laki-laki di atas kursi roda itu. “Senior!” teriak Harra dengan suara parau, gadis itu masih separo tidur. “Nih! Kumpulkan nyawamu dengan ini!” balas laki-laki di atas sambil meletakkan nampan di atas meja lipat kecil yang berada tak jauh dari tempat Harra tidur. Aroma teh hangat dan roti dengan kuah kari tercium. Tanpa menunggu dipersilahkan dua kali, Harra menyambar gelas keramik itu dan menyesap isinya. “Kenapa aku tiba-tiba jadi ‘gadis bencana’, Senior?” ujar Harra sambil meletakkan cangkir keramik itu dan ganti menyambar selembar roti olahan dan mengoleskan pada kuah kari, tangannya memasukkan potongan daging kecil itu ke dalam lipatan roti. “Hem ... gimana tidak? Hanya dalam beberapa jam, seorang gadis menerima percobaan pembunuhan sebanyak tiga kali. Kamu emang layak dinobatkan sebagai Gadis Bencana,” jawab laki-laki di atas kursi roda itu sambil tersenyum, wajahnya menunjukkan ekspresi mengejek, kemudian terkekeh. Kepalanya yang berhias rambut yang telah memutih terlihat bergerak-gerak mengikuti gerakan bahunya yang bergoncang-goncang karena kekeh panjangnya. Harra menyengirkan mulut di sela-sela kunyahan mendengar ejekan itu. Laki-laki di atas kursi roda itu menggerakkan roda kursinya, mendekat ke arah Harra. “Dengan alasan itu juga, jangan berpikir untuk kembali tinggal di sini,” ucap laki-laki itu dengan tenang. “Senior! Tega banget sih!” Seketika Harra berteriak. “Hei ... hei ...Gadis Bencana! Lihat tempat-tempat yang Kamu singgahi itu, rusak ‘kan? Aku nggak mau tempat ini bernasib sama. Kamu ‘kan tahu, ini hanya kantor detektif swasta yang kubangun dengan susah payah. Sementara jangan ke sini dulu sebelum kasus dari masyarakat di negara ini selesai,” jelas laki-laki di atas kursi roda itu sambil mengusap kepala Harra sekali. “Alfred!” teriak Harra kesal. “Dasar, raja tega!” lanjut Harra masih dengan kesal, mulutnya sejenak nyengir, tapi kemudian mulut itu lanjut mengunyah roti gurih itu. Alfred terkekeh. Kemudian menjalankan kursi roda ke arah jendera loteng. Laki-laki itu memandang ke bawah. “Selesaikan sarapanmu dan cepatlah pergi dari sini, sebentar lagi di bawah sana akan dipenuhi wartawan,” perintah Alfred tanpa menoleh. “Hihh!” seru Harra ketika sesaat kunyahannya terhenti. “Kamu masih terdaftar sebagai salah satu detektif di kantor ini. Bergeraklah cepat, sebelum namamu kucoret,” imbuh Alfred dengan wajah datar. “Senior!” teriak Harra sambil meletakkan mug yang telah kosong ke atas nampan. Laki-laki berambut putih itu terkekeh. Harra beranjak dan membuka sebuah kotak yang ada di salah satu sudut dan mengambil satu set baju. “Kalau aku butuh Senior gimana? Aku ‘kan kadang butuh teman bertukar pikiran,” cetus Harra sambil mendekat ke arah jendela. Di bawah sana terlihat satu per satu orang-orang yang membawa kamera mulai datang ke kantor detektif swasta ini. “Gunakan cara yang cerdas! Jangan sampai kedatanganmu membahayakan tempat ini dan penghuninya. Aku sudah nggak gesit lagi, dan juniormu di sini belum terlatih sepertimu. Jadi, cepatlah bergerak! Akan kukatakan pada pers bahwa Harra adalah detektif swasta yang independen dan non aktif dari kantor ini,” balas Alfred masih sambil menatap keadaan di bawah sana. “Hihh! Sedih banget ...,” desah Harra kesal. “Jangan lupa lewat pintu belakang!” sahut Alfred tanpa mempedulikan Harra, laki-laki itu menggerakkan kepala sebagai isyarat agar gadis itu cepat pergi. Harra mendengkus lelah, menyengirkan hidung kemudian bergerak keluar ruangan. “Baiklah ..., sepertinya aku harus pasrah, em ... untung saja ada baju darurat di loteng kantor yang harus kutinggalkan ini,” seru gadis itu sambil turun ke lantai dua. Seperti pesan Alfred, Harra meninggalkan kantor detektif swasta yang membesarkannya dari pintu belakang. Kemudian, kembali mendatangi gedung raksasa di mana Assad berkuasa. “Nona Harra!” Satu suara menghentikan langkah tergesa Harra yang hendak mengejar Eliz yang sudah berada di depan pintu lift. “Saya?” sahut Harra ketika menoleh dan melihat seorang pegawai wanita berdiri tak jauh darinya, pegawai wanita itu mengangguk. “Silahkan ikut saya,” pinta petugas wanita itu sembari mengangguk hormat. “Ke?” tanya Harra dengan ekspresi bingung. “Ini perintah Bos besar,” jawab pegawai wanita itu tanpa menjawab pertanyaan Harra sebelumnya. “Tapi, saya bukan pegawai Tuan Assad yang harus mematuhi perintahnya,” sanggah Harra dengan wajah datar. Pegawai wanita itu sejenak terhenyak, menatap Harra dengan bingung, lalu bergerak maju. “Tolong saya, Nona ...,” bisiknya ketika mendekat. “Ya?” sahut Harra tak mengerti. “Nona bisa menolak perintah itu, tapi itu artinya akan jadi akhir hidup saya,” lanjut pegawai wanita itu masih dengan suara rendah. “Ya? Begitu?” Harra terhenyak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD