Chapter 8

1891 Words
Di sebuah restoran bernuansa Eropa, seorang wanita cantik bergaun merah dengan belahan d**a rendah dan tanpa lengan sedang menikmati minuman sambil menunggu kedatangan seseorang. Audrey–wanita tersebut, sesekali mengedarkan pandangannya keluar restoran dan melihat jam tangan mewah di pergelangan tangannya, berharap orang yang ditunggunya segera datang. Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, sosok laki-laki tampan bertubuh tinggi menghampirinya sambil tersenyum menawan. “Hai, Sayang. Maaf aku terlambat,” pinta Albert–laki-laki yang tengah dinanti Audrey. Dia mendaratkan ciuman pada kedua pipi dan mengecup sekilas bibir menggoda di hadapannya. “Jangan marah, Sayang, tadi aku ke kantor sebentar. Ada berkas yang sangat memerlukan tanda tanganku,” Albert memberikan alasan mengenai keterlambatannya dan segera duduk di depan Audrey yang tengah memperlihatkan wajah kesal. “Alasan. Bilang saja kamu sedang bersama istri sialanmu itu,” Audrey menanggapinya dengan nada kesal. “Tidak, Sayang. Aku memang dari kantor. Perlu kamu ketahui, Cella sedang pergi,” ucap Albert meyakinkan. Dia menghampiri Audrey dan berjongkok di sampingnya. Tanpa meminta izin terlebih dulu, dia langsung mencium punggung tangan Audrey. “Baiklah, aku memercayaimu.” Audrey mengelus wajah Albert yang memperlihatkan ekspresi memelas, kemudian menyuruhnya kembali duduk. “Apakah kamu sudah memesan makanan, Sayang?” Albert bertanya lembut. “Belum. Aku sengaja menunggumu agar kamu yang memesankan untukku,” jawab Audrey manja. Mendengar nada manja Audrey membuat Albert terkekeh, selanjutnya dia pun memanggil waitress dan mulai memesan makanan untuk mereka nikmati bersama. Sambil menunggu hidangan datang, Albert dan Audrey mengisi waktunya dengan berbincang-bincang. Setelah tadi Cella keluar untuk pergi memeriksakan kandungan, Albert mendapat telepon dari Audrey dan mengajaknya bertemu. “Rio, apakah kamu sudah mengatakan kepada istrimu mengenai rencanamu yang akan menceraikannya setelah melahirkan?” tanya Audrey ingin tahu. “Belum. Kenapa, Sayang? Lagi pula masih lama dia melahirkan,” jawab Albert santai. “Ish!” Audrey mendengkus tidak suka. “Harusnya dari sekarang kamu memberitahunya, agar dia tahu diri akan posisinya!” sambung Audrey sambil merengut kesal. “Iya, Sayang. Tenanglah. Pulang dari sini aku akan mengajaknya berbicara. Jangan memasang ekspresi wajah seperti itu lagi, Sayang. Oh ya, aku minta jangan membahas dia saat kita sedang berdua,” Albert meminta sekaligus menegur Audrey. Dia pun tidak lupa untuk menjawil gemas hidung Audrey. Percakapan antara Audrey dan Albert terhenti saat waitress datang membawa makanan pesanan mereka. Setelah makanan tertata rapi di atas meja dan waitress undur diri, mereka mulai menyantap hidangannya dengan sesekali saling menyuapi. *** Di lain tempat, di sebuah ruang keluarga, Cella masih menangis dan sedang ditenangkan oleh Keira serta Icha. Setelah tadi Cindy memberi tahu mengenai keadaan buah hatinya yang kurang baik, Cella terus menangis hingga perjalanan pulang. Icha sudah berusaha meyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja, tapi tetap tidak membuat Cella merasa tenang. Karena prihatin dengan kondisi Cella saat ini, akhirnya Icha memutuskan membawa sang sahabat ke rumahnya. Siapa tahu dengan adanya Keira yang menasihatinya, Cella bisa lebih tenang. “Cell, jangan menangis lagi. Kasihan calon anakmu nanti ikut bersedih karena ibunya seperti ini,” Icha kembali membujuk Cella yang masih terisak di pelukan Keira. “Sayang, sebaiknya kamu makan dulu. Aunty sudah memasak makanan kesukaanmu.” Keira melonggarkan pelukan Cella dan ikut membujuknya. “Sayang, kalau kamu terus seperti ini, nanti keadaan cucuku akan semakin kurang baik,” ucap Keira lembut sambil mengelus perut Cella. Cella mendongak dan cepat menghapus air matanya. “Benarkah, Aunty? Aku tidak mau itu terjadi. Tidak. Tidak boleh,” ucapnya parau sambil menggelengkan kepala. “Bukannya tadi dokter sudah memberitahumu supaya kamu tetap mengkonsumsi makanan sehat dan tidak banyak pikiran,” Icha mengingatkan sahabatnya. Akhirnya Cella mengangguk setelah mendengar perkataan Icha dan membenarkan ucapan Keira. Cella segera bangkit dari duduknya dan menarik tangan Keira agar ikut makan bersamanya. Icha dan Keira tersenyum, mereka menggelengkan kepala melihat mood Cella yang cepat sekali berubah. ”Mungkin karena pengaruh hormon kehamilannya,” ucap  Icha dalam hati. *** Usai menikmati makan bersama, Audrey dan Albert menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan. Kini keduanya tengah berada di sebuah toko perhiasan pilihan Audrey. Mereka tengah asyik melihat-lihat berbagai model perhiasan seperti kalung, cincin, gelang, dan anting. Audrey meminta kepada Albert agar mengenakan kalung pasangan dengan inisial nama mereka sebagai liontinnya. Pilihannya pun jatuh pada kalung berliontin dua huruf A yang dirangkai menjadi satu. “Sayang, kita ambil yang itu saja.” Audrey bergelayut manja di lengan Albert sambil menunjuk kalung yang dimaksud. “Pilihan yang bagus, Sayang. Mana pun yang kamu pilih, aku akan menyetujuinya,” balas Albert sambil menyuruh pramuniaga mengambil kalung tersebut dari etalase. “Biar aku memakaikannya, Sayang.” Albert menyibakkan rambut Audrey ke samping dan memasangkan kalung tersebut. “Cantik,” pujinya. Dia mengecup leher putih Audrey. Usai Albert memakaikan kalung pada lehernya, kini giliran Audrey yang berlaku sama. “Pasangan yang sangat serasi,” komentar pramuniaga yang melayani mereka dengan kagum. “Terima kasih,” balas Audrey dengan senyum lebarnya, sedangkan Albert hanya tersenyum simpul. Setelah membayar harga kalung, Albert menuju parkiran bersama Audrey yang bergelayut manja pada lengan kokohnya. *** “Sayang, sudah cukup malam, aku antar kamu pulang ya,” Albert berbicara sambil menyetir. Audrey mengangguk. “Tapi jangan sampai rumah, Sayang,” jawabnya sambil menyandarkan kepalanya pada pundak Albert yang sedang menyetir. Albert mengerutkan dahi mendengar jawaban Audrey. “Kenapa begitu, Sayang?” “George dan keluarga kecilnya sedang menginap di mansion, aku tidak mau mereka melihat kebersamaan kita,” Audrey memberikan alasan yang masuk akal kepada Albert. “Kalau begitu, aku akan mengantarmu dekat mansion saja,” balas Albert sambil sebelah tangannya mengelus kepala Audrey. “Terima kasih, Sayang,” ucap Audrey kemudian mencium pipi Albert. Suasana di dalam mobil pun dipenuhi aksi saling sayang-menyayangi seperti layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. *** Setelah berhasil menenangkan diri berkat support dari Icha dan nasihat Keira, Cella memutuskan pulang. Icha yang mengantarnya, mengingat sudah jam delapan malam. “Cell, kamu harus tetap tenang dan kontrol emosimu agar tidak terjadi hal buruk pada buah hatimu,” Icha mengingatkan saat di dalam mobil suasana hening. “Cell, apa tidak sebaiknya kamu memberi tahu suamimu mengenai kondisi bayi kalian? Walau bagaimanapun bayimu itu juga anaknya,” sambung Icha, tapi Cella tetap diam. “Cell, kamu mendengarkanku?” Icha menoleh karena ucapannya tidak direspons oleh Cella. Icha menepikan mobilnya dan menggenggam sebelah tangan sahabatnya, sedangkan Cella masih asyik dengan pikirannya yang entah berada di mana. “Cell,” panggil Icha sambil menepuk pundak Cella. Icha sangat iba melihat keadaan sahabatnya saat ini. “Iya, Cha. Hah? Kenapa? Sudah sampai ya?” ucap Cella kelabakan. “Cell, kamu mendengar yang aku katakan?” Icha kembali bertanya mengenai kata-katanya tadi. “Aku mendengarnya, Cha. Akan aku coba menuruti semua nasihat Aunty tadi. Terima kasih atas dukunganmu, Cha.” Cella berusaha mengingat semua yang tadi dikatakan Keira. “Mengenai suamimu?” tanya Icha hati-hati. “Hm, nanti akan aku beri tahukan padanya, Cha,” jawab Cella sedikit tidak yakin. “Apakah dia mau mendengarkanku dan peduli? Mengingat sikapnya yang selalu tidak acuh padaku. Apalagi selama ini dia tidak pernah menanyakan perkembangan anaknya,” batinnya bertanya-tanya. “Cha, cepat antar aku pulang, supaya tidak terlalu malam.” Cella mengalihkan topik pembicaraan. “Baiklah, Tuan Putri,” balas Icha bersemangat karena melihat Cella mengalihkan pembahasan. Mobil kembali malaju dan mereka mulai berbincang mengenai bisnis yang akan dikerjakan. “Cell, besok kamu tidak usah datang bekerja. Istirahatlah dulu,” Icha menyarankan. “Tapi, Cha, besok temanku akan datang melihat tempat kita yang mau direnovasi. Rencananya kita akan mendiskusikan mengenai design interior yang cocok diterapkan,” balas Cella. “Tidak usah, Cell, kemarin dia sudah datang melihatnya. Katanya selagi ada waktu kosong. Dia juga sudah memberikan gambaran umum mengenai desainnya dan mengatakan nanti akan menghubungimu kembali untuk berdiskusi,” Icha menjelaskan. “Katanya lagi, estimasi biayanya tidak terlalu besar, Cell, karena keadaan bangunannya yang masih bagus,” sambungnya. “Kalau begitu, nanti aku hubungi dia dan kita bisa membicarakannya di restoran atau kafetaria yang ada di gedung apartemenku,” Cella menyetujui penjelasan Icha. Memang setelah Cella memberitahukan idenya untuk merenovasi tempat Icha agar dijadikan kafe, dia menghubungi salah satu temannya yang seorang designer interior. Cella sudah mendeskripsikan sedikit banyak mengenai gambaran umum bangunannya dan akan bertemu besok untuk meninjau langsung tempatnya. Namun seperti yang dikatakan Icha, bahwa temannya tersebut sudah datang ke lokasi dan melihat bangunannya, berarti mereka tinggal membuat janji kembali untuk mencapai kesepakatan agar pengerjaannya lebih cepat dilaksanakan. “Cha, terima kasih sudah mau mengantar dan menemaniku hari ini,” ucap Cella saat hendak keluar mobil. “Santai, Cell, seperti sama siapa saja. Masuklah. Angin malam tidak baik untuk kesehatan ibu hamil,” jawab Icha ketika Cella sudah keluar dari mobil. Cella tersenyum mendengar jawaban Icha. “Hati-hati, Cha,” ucapnya saat mobil Icha mulai bergerak. “Iya, jangan lupa istirahat, Cell,” balas Icha sambil melambaikan tangan dan mobilnya pun meninggalkan Cella. *** Cella berjalan memasuki lobi apartemen dan segera menuju lift setelah membalas sapaan dari resepsionis. Ketika Cella memasuki unit apartemennya, keadaan di dalam sangat gelap, pertanda suaminya belum pulang. “Ternyata Albert juga belum pulang,” batin Cella sambil mencari keberadaan saklar lampu. Setelah lampu menyala, Cella bergegas menuju kamar untuk membersihkan diri karena merasa hari ini sangat melelahkan. Cella akan merendam dirinya di dalam bathtube untuk menenangkan sedikit tubuh dan pikirannya. Setelah lima belas menit berada di dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, Cella langsung melapisi kulitnya dengan pakaian rumahan. Dia menunggu kedatangan suaminya sambil menonton televisi. Akibat saking lelahnya, sehingga membuat matanya kian mengantuk dan dia pun memutuskan kembali ke kamar setelah mematikan televisi. *** Sesuai permintaan Audrey, Albert menurunkannya beberapa meter dari pintu gerbang tempat tinggalnya. Setelah bermesraan di mobil, dia turun dan membukakan pintu untuk Audrey. “Sayang, kamu harus segera memberi tahu istrimu mengenai rencanamu yang akan menceraikannya,” Audrey mengingatkan dengan manja dalam pelukan Albert. “Iya, Sayang. Pasti aku segera memberitahunya,” Albert mengiyakan permintaan Audrey sambil mencium keningnya. “Kabari aku jika kamu sudah mengatakannya, Sayang.” Audrey mengecup bibir Albert. “Pasti.” Albert membalas kecupan bibir Audrey. “Masuk dan beristirahatlah.” Albert melepaskan pelukannya. “Kamu hati-hati, Sayang.” Audrey berjalan sambil memberikan ciuman jarak jauh kepada Albert. Albert tersenyum geli melihat tingkah wanita yang sangat dicintainya itu. Setelah memastikan Audrey memasuki rumah, dia kembali ke dalam mobil dan memacu kuda besinya tersebut menuju apartemen. *** Tidak sampai setengah jam Albert sudah mencapai apartemennya dan dia pun bergegas masuk. Sampai di dalam, dia langsung menuju kamar tidurnya. Saat di dalam perjalanan tadi, Albert berniat akan membangunkan Cella apabila perempuan tersebut sudah tidur. Dia tidak ingin mengulur waktu lebih lama untuk membicarakan rencananya kepada sang istri. Namun niat tinggallah niat. Saat melihat Cella telah tidur memunggunginya dengan lelap, dia pun langsung membatalkan tujuannya. Malah kini dia fokus memerhatikan istrinya yang meringkuk seperti bayi. Entah kenapa Albert berjalan menghampiri sang istri, bahkan sekarang sudah berada di sampingnya. Sebelah tangannya menaikkan selimut yang dipakai istrinya sampai d**a, karena kain tebal tersebut melorot. Tangan sebelahnya lagi refleks mengelus rambut panjang milik sang istri yang berwarna cokelat. Dipandanginya wajah putih pucat Cella dari samping walau hanya diterangi cahaya lampu tidur, tapi matanya sangat jelas melihatnya. Seakan tersadar, Albert segera menarik kembali tangannya yang digunakan untuk mengelus rambut panjang istrinya. Dia menggeleng-gelengkan kepala karena menganggap tindakannya tersebut sangat salah. Tanpa menunggu lebih lama, dia bergegas mengganti pakaian. “Besok pagi aku harus membicarakan dengannya. Harus!”  gumam Albert meyakinkan dirinya sendiri sambil menuju kamar mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD