Chapter 9

1122 Words
Cella menggeliat setelah matanya terbuka sempurna. Sambil menguap dia menoleh ke arah jam yang ada di dinding kamar. ”Ternyata sudah jam enam pagi,” gumamnya. Cella berniat membersihkan diri, tapi sebelumnya dia menghampiri ranjang yang ditempati Albert yang akan dilewatinya. Dia membenarkan letak selimut yang berjejal di kaki suaminya tersebut. Dia mengamati wajah polos dan tampan di hadapannya yang masih asyik berselancar di dunia mimpi itu. *** Cella memulai aktivitas paginya seperti biasa. Mengingat hari ini Cella tidak bekerja, dia berencana membuat kue untuk mengusir rasa bosan. Saat Cella hendak memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, sayup-sayup dia mendengar suara Albert memanggilnya. ”Benarkah itu suara Albert atau cuma pikiran bodohku saja? Sangat tidak mungkin rasanya dia sudi memanggilku,” tanya Cella dalam hati. “Cella.” Cella kembali mendengar suara suaminya. Bahkan, yang sekarang jauh lebih jelas. “Iya, sebentar,” sahutnya pada akhirnya setelah meyakinkan diri dan berjalan mencari sumber suara. “Duduklah,” perintah Albert setelah melihat Cella. “Ada yang kamu perlukan?” tanya Cella takut-takut karena tidak biasanya Albert mengajaknya berbicara lebih dulu. “Kamu bekerja hari ini?” tanya Albert sambil menikmati kopi buatannya sendiri. Cella menatap intens Albert sebelum menjawab. “Tidak,” jawabnya pelan. “Nanti aku ingin mengajakmu makan siang bersama,” beri tahu Albert tanpa menatap mata Cella. “Makan siang?” Cella terkejut mendengar pemberitahuan Albert yang tiba-tiba mengajaknya makan siang bersama. “Kenapa? Keberatan?” Albert mengalihkan pandangannya dari cangkir kopi dan menatap intens Cella. “Bu-bukan begitu, Al,” Cella terbata-bata karena tidak kuasa ditatap intens oleh Albert. “Baiklah, aku akan menyiapkan menu makan siangnya. Kamu mau menu apa untuk makan siang kita nanti?” tanyanya dengan nada tenang setelah berhasil mengendalikan diri. Melihat Albert mengernyitkan dahi setelah mendengar pertanyaannya, Cella dengan cepat meralat ucapannya, “Maksudku, nanti biar aku pesankan menu makanan untukmu. Aku tahu diri bahwa kamu tidak akan pernah sudi memakan masakan racikan tanganku.” Albert bersikap tak acuh atas perkataan Cella, meski dia bisa merasakan nada sedih saat istrinya berkata seperti itu. “Baguslah, jika kamu mempunyai kesadaran diri.” Dia langsung bangun dari tempat duduknya dan bergegas keluar apartemen. Dia membiarkan Cella duduk dan sibuk dengan pemikirannya sendiri. Cella sedih atas sikap Albert yang tidak pernah berhenti menyakitinya, dia juga bingung dengan ajakan tiba-tiba suaminya itu. “Apakah ada maksud lain dan tersembunyi dari ajakannya itu?” ucapnya menduga-duga. *** “Hai, Al, mau ke kantor?” sapa Cindy saat melihat Albert di basement apartemen mereka. Albert mengangguk sambil menghampiri Cindy. “Kamu juga mau berangkat kerja?” tanyanya balik. Cindy menjawabnya dengan anggukan kepala. “Al, nanti kita bisa makan siang bersama? Sudah lama kita tidak berkumpul sambil mengobrol,” ajaknya. “Maaf sekali sebelumnya, Cindy. Aku sudah ada janji. Bagaimana jika nanti kita makan malam bersama saja sebagai gantinya?” Albert menawarkan. “Baiklah. Nanti aku akan menghubungimu, Al,” balas Cindy sambil tersenyum merekah. Albert menyetujuinya, dia pun berjalan menuju mobilnya. “Sampai ketemu nanti, Miss Wilson,” pamitnya setelah menjalankan mobil dan melambaikan tangan kepada Cindy. Cindy hanya mengangguk sambil tersenyum sebagai tanggapannya. Dia menatap mobil Albert sebelum memasuki kuda besi miliknya sendiri. *** Audrey sangat kesal dan menahan amarahnya saat menanti kedatangan Albert. Dia geram ketika menelepon Albert dan mendengar jawabannya yang belum mengatakan apa-apa kepada Cella mengenai pembicaraan mereka tadi malam, sehingga membuatnya menyambangi kantor laki-laki tersebut. Namun ternyata, kedatangannya semakin membuatnya marah, sebab dia tidak menemukan yang dicari berada di ruangan pribadinya. Menurut sekretarisnya, sang atasan sedang mengikuti rapat penting dengan investor. “Sialan kau, Albert! Berbicara seperti itu saja sangat lama!” geram Audrey. “Maaf,  Miss Jhonson, apakah Anda mengatakan sesuatu?” tanya Frecia–sekretaris Albert saat mengantarkan minuman pesanan Audrey. Audrey menatap tajam Frecia, sehingga membuat gadis manis itu menelan ludah melihat raut menakutkan wajahnya. “Keluar!” usirnya. Frecia yang tidak mau menjadi pelampiasan pun segera menjauh dari hadapan Audrey. “Dasar wanita rubah,” gerutunya dalam hati saat menutup pintu atasannya. Frecia salah satu dari beberapa orang di kantor yang mengetahui status Albert, karena dia turut hadir sewaktu atasannya tersebut melangsungkan pernikahan. Walaupun dia hanya sekali melihat Cella, tapi dirinya sudah mengagumi kecantikan alami milik istri atasannya tersebut. *** “Rio, kenapa kamu lambat sekali?” Audrey duduk di pangkuan Albert. “Hari ini aku akan memberitahunya, tepatnya saat makan siang nanti,” balas Albert sambil membelai pipi Audrey. “Serius?” Audrey menyentuh bibir Albert dengan jemari tangannya yang lentik. “Iya, Sayang. Apa pun akan aku lakukan demi menebus semua rasa bersalahku kepadamu.” Albert menyandarkan kepalanya pada pundak Audrey. Audrey tersenyum culas di balik pelukan hangat Albert. ”Gracella Natasha, malang sekali nasibmu. Sepupuku cantik yang malang,” katanya dalam hati. *** Makanan sudah diatur Cella di atas meja makan. Dia hanya menyiapkan beberapa jenis menu yang sering dilihat saat Albert memesan makanan. Hari ini Cella menggunakan dress selutut berwarna hijau muda dan berlengan pendek. Setelah selesai menuang orange juice ke dalam gelas, Cella mendengar handle pintu diputar dari luar. Sesuai dugaannya, laki-laki bertubuh tinggi, tegap, dan tampan sedang berjalan memasuki ruangan. “Aku bantu,” Cella berbasa-basi. Dia menghampiri Albert dan berniat membantu melepaskan jas sang suami. “Tidak usah, aku bisa sendiri. Tunggu saja di meja makan,” Albert melarang Cella yang ingin membantunya melepaskan jas dengan suara dingin. Cella mengangguk meski kecewa. Dia pun menunggu di meja makan seperti yang diinstruksikan oleh Albert. “Cell, kamu harus selalu mengingatnya bahwa sampai kapan pun suamimu tidak akan pernah sudi menerima bantuanmu,” batinnya mengingatkan. Berselang sepuluh menit, Albert pun keluar dari kamar. Saat ini dia masih mengenakan setelan kantor, hanya jasnya saja yang sudah dilepas. Tanpa berbasa-basi lagi mereka langsung menikmati menu makan siang yang sudah terhidang di atas meja dengan suasana sunyi. Hanya denting sendok dan piring yang terdengar sedang beradu di telinga masing-masing. Selama menikmati makanan di piringnya, Albert beberapa kali melirik Cella di hadapannya yang menunduk dan terlihat tidak bernafsu menyantap menu makan siangnya. “Sudah selesai?” Albert memecah keheningan setelah membersihkan mulutnya dengan tissue. Cella hanya mengangguk setelah meneguk air putih di gelasnya. Dia memberanikan diri menatap mata sang suami di depannya. “Ada hal yang sangat penting akan aku bicarakan padamu,” ucap Albert dingin sambil mengamati ekspresi wajah Cella. “Katakanlah,” Cella mempersilakan dengan nada pelan. Dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya ketika mendengar ucapan dingin Albert. “Baiklah, aku akan langsung saja mengatakannya. Aku tidak suka berbasa-basi dengan siapa pun, terlebih kamu,” ucap Albert tanpa mengalihkan tatapannya dari Cella. Cella merasa rongga dadanya langsung menyempit karena perkataan frontal Albert, sehingga membuat rasa sesak memenuhinya seketika. “Setelah kamu melahirkan nanti, aku akan menceraikanmu,” Albert menyampaikannya dengan santai dan nada datar.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD