PART. 6 MUNTAH KARENA CIUMAN

1227 Words
Begitu tiba di rumah orang tua Erwan, Bu Elma langsung menunjukan kamar Vania. Kamar itu bersebelahan dengan kamar Erwan di lantai atas. Sedang kamar orang tua Erwan ada di lantai bawah. "Nia istirahat saja dulu, Sayang, pasti lelah beberapa jam diperjalanan. Nanti kalau waktunya salat Ashar, akan Bunda bangunkan." "Iya, Bun," sahut Nia sambil mengangguk. Bu Elma turun ke lantai bawah, Erwan yang tadi mengintip dari pintu kamarnya yang dibuka sedikit, segera ke luar dari kamarnya. dan masuk ke dalam kamar Vania. "Abang!" Vania terkejut melihat Erwan. "Panas nggak, Nia?" Tanya Erwan memulai jurus modusnya. "Iya." Kepala Vania mengangguk. "Sini Abang ajarin mengatur suhu Ac nya." Erwan mengambil remote Ac dari atas meja yang ada di dekat ranjang. "Sini," Erwan menggapai, meminta Vania mendekatinya. Vania mendekat. Ia berdiri di samping Erwan. "Nih seperti ini," Erwan mengarahkan remote ke arah Ac. Kepala Vania mendongak memperhatikan cara Erwan mengatur suhu Ac juga cara menyala, dan mematikannya. Cup. Erwan mengecup pipi Vania sekilas. Mata Vania melotot gusar. Dipukulnya lengan Erwan dengan keras. "Awww, sakit, Tante!" Erwan mengusap bekas pukulan Vania, sementara Vania mengusap pipinya yang bekas dicium Erwan. "Main cium sembarangan!" Sengit Vania marah. Matanya melotot karena kesal. "Siapa bilang sembarangan, kamu sudah jadi istri Abang, jadi wajar saja kalau Abang cium kamu, tidak dosa," sahut Erwan. Erwan memeluk pinggang Vania, lalu ia mencium bibir Vania. Kemudian Erwan mengangkat tubuh Vania, dijatuhkan tubuhnya, dan tubuh Vania di atas ranjang. Erwan membawa Vania berguling bersamanya. "Abang lepasin!" Seru Vania, saat Erwan melepaskan ciumannya. Mata Vania sudah berkaca-kaca saat Erwan menindih tubuhnya. "Kalau ciumannya cuma sekali, anak kita baru punya satu jari, jadi kita harus sering ciuman biar anak kita sempurna," kata Erwan tepat di depan wajah Vania. "Beneran begitu Bang?" Tatapan mata Vania melebar. Erwan tersenyum, ia bingung apakah Vania tidak menyimak pelajaran reproduksi di sekolah. "Ya benarlah, makanya Abang minta kita cepat-cepat nikah, biar anak kita tidak kurang suatu apapun juga," jawab Erwan dengan mimik wajah sangat meyakinkan. "Ooh begitu ya," kata Vania dengan polosnya. "Sekarang Abang boleh cium Nia lagikan?" Tanya Erwan sambil mengusap bibir Vania dengan jarinya. Vania menganggukkan kepala. "Nia juga harus belajar membalas ciuman Abang," ujar Erwan. "Untuk apa?" Vania mengerutkan keningnya. "Anak itukan ada karena kita, jadi kita berdua harus aktif ciumannya, jangan cuma Abang saja yang terus cium Nia, Nia diam saja. Nia harus belajar membalas ciuman Abang." Erwan menjelaskan. "Tapi Nia belum tahu membalas ciuman itu seperti apa." Nia kebingungan. "Coba Nia yang duluan cium bibir Abang," pinta Erwan. Vania menggelengkan kepala. "Malu," katanya lirih dengan wajah bersemu. "Masa sama Abang malu." Erwan mencubit pipi Vania. "Abang saja yang duluan." Vania merengek manja. "Iya deh," Erwan menundukkan kepala, bibirnya mencium lembut bibir Vania. Vania secara naluri memejamkan mata. "Buka sedikit bibirmu, Sayang," pinta Erwan. "Untuk apa?" Tanya Vania. "Biar lidah Abang bisa masuk ke mulutmu." "Iih enggak mau," kepala Vania menggeleng kuat. Di dorong d**a Erwan, tubuhnya bergidik. "Kenapa?" Tanya Erwan. "Nanti Nia makan air liur Abang, huueekk!" Vania bergidik membayangkan air liur Erwan masuk ke dalam mulutnya. "Kalau sudah suami istri tidak apa-apa bertukar air liur, Nia. Kita sudah halal. Coba deh enak kok, mau ya?" Rayu Erwan tidak mau menyerah. "Kalau Nia muntah nanti bagaimana?" Wajah Nia meringis karena merasa jijik. "Ya muntah saja," sahut Erwan enteng. "Muntah di dalam mulut Abang begitu?" Tubuh Vania kembali bergidik. "Eeh, kok muntahnya di dalam mulut Abang siih?" Kali ini Erwan yang bergidik, membayangkan Vania muntah di dalam mulutnya. "Wan, kamu di mana?" Suara Bu Elma memanggil Erwan, membuat Erwan cepat turun dari atas tubuh Vania, ditarik Vania agar ikut berdiri bersamanya. "Jangan bilang-bilang Bunda ya kalau kita sudah ciuman." "Heengh." Vania mengangguk saja. Cepat Erwan membuka pintu kamar Vania, ia mengintip untuk mengetahui di mana Bundanya. Ternyata berada di dalam kamarnya. Cepat Erwan kembali ke kamarnya, sebelum bundanya ke luar dari sana. "Darimana, Wan?" "Dari dapur, Bun." "Oh, ada apa, Bun?" "Nanti bantu mengurus Vania masuk sekolah ya." "Iya, Bunda." "Ya sudah. Ingat, jangan masuk kamar Vania." "Iya, Bunda." "Ya sudah." Bu Elma ke luar dari kamar putranya. Erwan menarik nafas lega. * Beberapa hari terakhir ini, Erwan, dan Vania sibuk untuk mempersiapkan urusan kuliah, dan sekolah mereka. Besok adalah, hari pertama Vania masuk sekolah. Bu Elma menemui Vania di kamarnya. Vania duduk bersila di atas ranjang sementara Bu Elma duduk di tepi ranjang. "Bunda berharap, Nia betah tinggal, dan sekolah di sini. Kalau ada apa-apa, Nia jangan sungkan bicara langsung sama Ayah, atau Bunda ya. Ayah, dan Bunda sekarang sudah jadi orang tua Nia." Bu Elma mengusap kepala Nia dengan rasa sayang. "Iya, Bun," Vania menganggukan kepala. "Di sekolah, Nia harus pintar memilih teman ya, Sayang, jangan sampai salah pilih teman." Bu Elma mengingatkan. Bu Elma tahu betul, Vania gadis yang sangat polos, belum terkontaminasi apapun juga. "Tapi, kata Bapak, kita tidak boleh pilih-pilih teman, Bunda. Mau kaya, mau miskin, mau cantik, mau jelek sama saja." "Bapak Nia benar, maksud Bunda pilih-pilih teman itu, bukan soal kaya, atau miskin. Bukan soal cantik, atau jelek. Tapi, soal sikap, dan perilakunya baik, atau tidak." "Kata Bapak berteman dengan orang baik itu bagus, dan orang yang sikapnya buruk jangan dijauhi, tapi harus dirangkul, dan didekati, agar kita bisa mengajaknya menjadi orang baik. Kata Bapak, sikap buruk itu bisa terjadi karena banyak hal, mungkin karena dia kecewa, atau sakit hati, jadi mereka tidak boleh dimusuhi, tapi harus diberi perhatian, dan kasih sayang," kata Vania panjang, dan lebar, membuat Bu Elma terkesima dengan penjelasan Vania barusan. "Bapak Nia benar tapi ini Jakarta, Sayang, bukan desa, dan pastinya di kota besar, penyebab dari sikap buruk seseorang lebih beragam, dan itu membuat tingkah buruk mereka jadi lebih beragam pula caranya. Bunda hanya takut kepolosan, dan keluguanmu membuat Nia jadi mudah terpengaruh pergaulan yang tidak baik." Vania menggaruk kepalanya karena tidak memahami apa yang disampaikan Bu Elma. "Nia nggak ngerti Bun." Bu Elma tersenyum, dan diam sesaat untuk mencari kalimat yang lebih gampang dicerna Vania. "Maksud Bunda, Nia harus menghindari teman yang bisa membuat Nia bisa bersikap buruk. Di sini sulit untuk mengajak orang menjadi baik, yang ada orang baik lah yang bisa terpengaruh untuk ikut bersikap buruk. Nia sudah paham maksud Bunda?" "Oh, jadi Nia jangan berteman dengan orang yang sikapnya buruk, biar Nia tidak terseret ikut seperti mereka, begitu ya Bun? Tapi kata Bapak kalau iman kita kuat, Insya Allah kita tidak akan terpengaruh." Bu Elma terdiam lagi, Ia jadi bingung bagaimana harus memberi pengertian kepada Vania akan kekhawatirannya, karena sepertinya apa yang ditanamkan orang tua Nia sudah berurat, dan berakar di dalam benak Vania. Meski Nia memiliki kekurangan, tapi ia bisa mencerna apa yang dikatakan orang tuanya. Bu Elma bingung bagaimana cara orang tua Nia menyampaikan sesuatu ke Nia, agar dia bisa mengerti. "Ya, ya, baiklah, Nia, Bunda cuma berpesan sama Nia, belajar yang rajin, dan jangan sampai terpengaruh pergaulan yang buruk ya, dan Bunda percaya Nia pasti bisa membuat bangga orang tua Nia, juga Ayah, dan Bunda. Bunda ke bawah dulu, perlengkapan untuk sekolah besok sudah siapkan?" Bu Elma berdiri dari duduknya. "Sudah Bunda." "Oh ya, satu lagi, kalau Nia ada di dalam kamar kunci pintunya, jangan ijinkan Bang Erwan masuk ke sini." Vania menganggukan kepalanya. "Ya Bunda." Cup Bu Elma mengecup kening Vania. "Selamat tidur Nia." "Selamat tidur juga Bunda." Vania masih berdiri di ambang pintu kamarnya, menunggu Bu Elma hilang dari pandangan, ketika tiba-tiba Erwan mendorong Vania masuk, lalu mengunci pintu kamar Vania. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD