Di kebun buah, yang ada di belakang rumah Nia.
"Hey Tante Nia, jangan cemberut terus dong!" Erwan menyentuh lengan Vania.
"Jangan panggil tante, aku tidak mau dipanggil tante!" seru Vania sengit.
"Oke, aku akan berhenti memanggilmu Tante, tapi ada syaratnya," ujar Erwan.
"Syarat?" Mata Nia melotot ke arah Erwan.
"Hmmm ... panggil aku Abang, maka aku akan berhenti memanggilmu tante." Erwan mulai bernegosiasi.
"Iih tidak mau!" Bibir Nia mencibir.
"Ya sudah, kalau kamu tidak mau, artinya aku akan tetap memanggilmu tante!" Erwan mulai mengolok-olok Nia lagi.
"Huh! Iya, iya, aku akan memanggilmu Abang, Abang songong!" sengit Vania, membuat Erwan tertawa lepas, dicubit dengan gemas pipi Vania, membuat Vania berteriak marah, dan memukuli lengan Erwan.
"Songong! Songong! Songong!"
Erwan terus tertawa, lalu ia memegang lengan Vania, ditarik lengan Vania. Bibir Erwan hampir mendarat di pipi Vania, kalau saja tidak mendengar suara seseorang yang memanggil nama Vania.
Cepat Erwan melepaskan pegangannya di tangan Vania.
"Nia!" Suara panggilan semakin dekat.
"Ya, Paman." Vania menjawab dengan lantang. Orang yang memanggil sudah berada di dekat mereka.
"Bantu Paman memetik buah untuk tamu bapakmu ya," kata Mul, tukang kebun yang mengurus kebun buah di belakang rumah Vania.
"Siap, Paman," sahut Vania.
"Boleh aku ikut membantu, Paman?" Tanya Erwan.
"Oh boleh, kamu anaknya tamu Pak Hari ya?"
"iya, Paman."
"Ayolah, kalian bantu aku," ajak Mul.
Mata Erwan tidak pernah lepas dari Vania yang terus bergurau dengan Mul, menurut Erwan,Vania cantik.
Wajahnya yang imut semakin imut dengan gigi kelincinya. Meski terlihat sikap Vania tidak sesuai usianya, tapi Erwan justru suka dengan kepolosan Vania.
'Usia Vania sudah sembilan belas tahun, tapi sikapnya masih seperti anak SD. Tapi dia imut sekali. Cantik menggemaskan.'
Erwan menatap lekat wajah Vania yang sedang tertawa. Erwan merasa seperti melihat seorang artis imut bergigi gingsul di hadapannya.
'Hhhh ... bising sekali rasanya mendengar tawa Nia dengan suaranya yang sedikit cempreng itu.'
Ponsel Erwan berbunyi.
Erwan sedikit menjauh dari Vania, saat menjawab panggilan dari ponselnya.
"Halo, Kay," sapa Erwan.
"Halo, kamu liburan di mana sih Wan?" Tanya suara seorang gadis.
"Di kampung bundaku," jawab Erwan jujur.
"Hah, di kampung?" Gadis itu nyaris berteriak bagi kuping Erwan.
"Tidak perlu berteriak, Kay! Iya, aku di kampung, kenapa? Kamu di mana sekarang?"
"Aku masih di Jakarta."
"Oh, ada apa telpon aku?"
"Ada apa? Ya aku rindulah sama kamu!"
"Oh rindu, tapi aku lagi bertamu di rumah orang sekarang, nanti malam saja aku hubungi lagi ya." Nada suara Erwan datar saja.
"Tapi, Wan;"
"Bye Kay!" Erwan menutup pembicaraan, tanpa menghiraukan protes Kayla teman sekelasnya, cewek paling cantik di sekolahnya. Kalau Kayla jadi rebutan cowok di sekolah, maka Erwan jadi rebutan cewek di sekolah mereka. Meski Kayla tercantik, tapi sayangnya Erwan tidak merasa tertarik, sehingga seringkali ia disebut teman-temannya cowok tidak normal. Apalagi semua temannya tahu, kalau Kayla mengejar cintanya.
Erwan kembali mendekati Vania, dan Pak Mul. Keranjang buah sudah berisi mangga, kedondong, jambu air dan jeruk.
"Nih bawa pulang," Vania menyerahkan keranjang buah itu kepada Erwan, dengan wajah yang masih saja cemberut, meski tadi sudah tertawa saat bercanda dengan Mul.
"Aduh, jangan cemberut begitu dong, ikhlas enggak nih?" Tanya Erwan menggoda. Kepolosan Vania memang membuat kejahilan Erwan jadi tersalurkan.
"Ikhlaaaasss!" Vania berteriak tertahan.
Pak Mul hanya tersenyum saja melihat tingkah keduanya.
Erwan meletakan keranjang buah di kursi. Kursi berada di bawah pohon jambu air yang tengah diduduki Vania.
Erwan duduk di sebelah Vania.
"Kamu ingin sekolah di kota ya, Nia?" Tanya Erwan.
"Iya, kalau diijinin sama bapak."
"Memangnya apa cita-citamu, Nia?"
"Jadi Guru."
"Jadi Guru?" Erwan menoleh ke arah Vania. Erwan jadi tersenyum, membayangkan seorang gadis yang sangat polos seperti Vania menjadi guru.
"Hmmm." Kepala Vania mengangguk, ia terlihat sangat yakin dengan cita-citanya.
"Kenapa ingin jadi Guru?"
"Guru bikin pintar kita."
"Oh."
"Kalau kamu si Abang songong mau jadi apa?"
"Menurut Adik Nia jutek, Abangmu ini cocok jadi apa?"
"Iih kok tanya aku? Lagi pula aku tidak jutek ya. Aku itu imut tahu!"
"Imut seperti marmut," goda Erwan.
"Iiih dasar songong, sembarangan!" Vania ingin memukul Erwan, tapi Erwan lari menjauhi Vania, Vania mengejarnya dengan perasaan kesal, karena Erwan menyebutnya, imut seperti marmut.
*
Malam harinya, di rumah orang tua Elma.
Erwanto duduk di hadapan kedua orang tuanya.
"Ada apa Ayah, Bunda? kelihatan serius sekali." Erwan menghadap dengan perasaan berdebar.
"Ini memang hal yang sangat serius, Wan, karena menyangkut masa depanmu," jawab Pak Yanto, ayahnya.
"Seserius itu, ada apa?" Perasaan Erwan semakin berdebar jadinya.
Pak Yanto menarik nafas sesaat.
"Ayah, dan Bunda sudah sepakat, untuk menjodohkan kamu dengan seorang gadis, Wan."
"Hah! Aku dijodohkan? Tapi aku baru dua puluh tahun, Ayah."
"Ayah tahu, Wan, ini baru perjodohan bukan pernikahan." Pak Yanto berusaha menenangkan putranya yang tampak panik.
"Tapi, kenapa aku harus dijodohkan?"
"Ini amanah orang tua bunda, Wan, amanah kakek mu."
"Ya ampun. Ayah, ini bukan lagi jaman dulu, ini jaman modern, aku ingin memilih jodohku sendiri."
"Ayah tahu, Wan, tapi kami akan memberimu waktu untuk berpikir dulu selama dua hari, baru kamu berikan jawaban."
"Dua hari?" Erwan mengangkat dua jarinya.
"Ya, dua hari, kami tidak memaksa, Wan. Kamu boleh menolak perjodohan ini, tapi tolong pertimbangkan dulu."
"Aku mau dijodohkan dengan siapa, Ayah?"
"Dengan putri tunggal Pak Hari." jawab bundanya, yang sedari tadi diam saja.
"Vania!?" Seru Erwanto terkejut.
"Iya." Kedua orang tuanya mengangguk. Bayangan wajah Vania berkelebat di pelupuk mata Erwanto.
"Memang Vania sudah setuju dijodohkan dengan aku, Bun?"
"Belum tahu, Wan, karena semua tergantung dari jawabanmu."
"Maksud, Bunda?"
"Kalau kamu setuju, baru Pak Hari membicarakan ini dengan Vania, kalau kamu tidak setuju, semuanya ya cukup sampai disini," sahut Ayahnya.
"Bagaimana kalau aku setuju, tapi Vania menolak?" Tanya Erwan.
"Aku rasa Vania akan menerima perjodohan ini," Bu Elma menjawab dengan yakin.
"Kenapa Bunda begitu yakin?"
"Karena dia sangat ini melanjutkan sekolah di kota, kalau dia menerima perjodohan ini, maka Ayah, dan Bunda akan langsung membawanya bersama kita. Lagi pula, dia itu anak yang penurut pada orang tuanya," jawab bundanya lagi.
"Oh, begitu, tapi aku masih punya waktu dua hari untuk memikirkannya kan?"
"Iya, pikirkanlah, Wan," pinta Bundanya.
"Dua hari ya?"
"Iya."
"Baiklah," sahut Erwanto akhirnya, tanpa berusaha protes lagi.
Pikiran Erwan langsung dipenuhi oleh Vania.
Dijodohkan dengan gadis secantik Vania siapa yang bisa menolak.
*