BAB 20

1109 Words
Suara derap kuda terdengar dari kejauhan. Gadis yang baru saja terlelap dalam tidurnya itu langsung membuka mata. Ia menajamkan telinga, semakin jelas terdengar suara kerincing kuda membuat matanya semakin segar. Segera ia pakai jubah miliknya untuk menutupi tubuhnya yang hanya terbalut gaun tidur dan bersiap keluar. "Itu pasti ayahanda!" Gadis itu berlari secepat kilat keluar dari kamarnya untuk menyambut sang ayah. Akhirnya penantiannya seharian penuh ini membuahkan hasil, ayahnya akhirnya pulang. Amayra sangat berharap, agar sang ayah membawa kabar baik untuknya. Ia menerobos menuju pintu keluar meski suasana rumah yang gelap tanpa lilin. Dengan tak sabar ia membuka kunci pintu dan berlari keluar. Benar saja, kereta kuda yang membawa sang ayahanda semakin mendekat. Membuat jantung gadis itu berdetak tidak karuan. "Benar, itu ayahanda," ucap Amayra tampak antusias. Puk. Sebuah tepukan hinggap di bahu gadis itu. Membuat Amayra menoleh. Ternyata sang ibu ikut keluar dengan wajah menahan kantuk. Maklum saja, hari telah larut malam. "Nak, kenapa tidak tidur? Kamu sengaja menunggu kepulangan ayahanda?" tanya Gaia. "Akhirnya ayahanda pulang juga." Amayra mengabaikan pertanyaan sang ibu dan menghambur menghampiri kereta kuda yang baru saja berhenti. "Ayahanda!" Dengan lantang Amayra memanggil sang ayah. Gadis itu tidak peduli meski hari telah larut malam. "Amayra!" Gaia memperingati putrinya. Tak lama kemudian, pria dengan pakaian kebesarannya keluar dari dalam kereta. Wajah pria itu tampak muram dan tak bersahabat. Bertambah marah Athura saat Amayra tiba-tiba memeluknya. "Amayra! Ayah sudah bilang berkali-kali, jangan sekali pun Kamu menjemput orang yang baru saja bepergian jauh apalagi saat malam begini!" ucap Athura terdengar marah. Sudah menjadi tradisi bahwa menjemput orang yang baru saja pulang dari bepergian adalah hal yang tabu bagi keluarga mereka. Menyambut boleh tapi tidak boleh bersentuhan dengan orang yang baru saja datang. Karena di dalam perjalanan banyak energi negatif yang mungkin saja terbawa pada orang yang baru datang. Ditambah lagi, Athura datang saat hari telah larut. "Gaia, beginikah caramu mendidik anak-anakmu? Apa saja yang Kamu ajari hingga mereka tak tahu apa-apa tentang apa yang dilarang." Athura menyalahkan istrinya atas perbuatan Amayra. "Maafkan Dinda, Kanda." Gaia merasa menyesal atas kelakuan Amayra yang terlalu gegabah. "Kalian masuklah! Pergi tidur! Kita bicarakan esok hari." Pria itu pergi masuk ke dalam rumah meninggalkan kedua wanita tersebut. "Bunda ...," protes Amayra. "Menurutlah, Nak!" Gaia segerajuo0 merangkul putrinya yang tampak kecewa. "Jangan buat ayahanda semakin marah." Tak ada yang bisa Amayra lakukan selain menuruti kata ibunya. Dengan langkah yang lemas ia kembali ke kamarnya. Ia harus menunggu lagi sampai pagi datang. Entah ia bisa tidur atau tidak sampai hari baru tiba nanti. *** Amayra duduk di atas ranjang dengan memeluk lututnya. Tanpa terasa bulir bening dari kedua matanya menetes dengan begitu deras. Ia sangat sedih, begitu sedih saat semua orang seakan tidak peduli dengan perasaannya. Dari respons sang ayah, Amayra sedikit banyak bisa menebak bahwa kabar yang dibawa sang ayah adalah kabar buruk. "Kak ...." Seorang gadis dengan mata bulat melongokkan kepala di celah pintu yang sedikit ia buka. Sedikit mengejutkan Amayra, tetapi hanya sedikit karena suara Aurora cukup lirih. "Apa lagi?" tanya Amayra dengan begitu galak. Gadis itu buru-buru menyeka air matanya, tidak ingin terlihat lemah di hadapan sang adik. "Mau Rora temani?" tawar gadis itu. "Tidak perlu! Pergi sana!" usir Amayra. "Mau Rora buatkan minuman hangat? Atau sesuatu mungkin?" tanya Aurora lagi. "Tidak mau! Aku bilang tidak mau ya tidak mau! Pergi dari sini! Tidak perlu berpura-pura baik." Amayra mengangkat vas bunga di atas meja tanpa ragu. Ia bersiap melemparkan ke arah Aurora jika gadis itu tetap tak mau pergi dan mengganggunya. "Baiklah, aku akan pergi," ucap gadis itu mulai menurut. Padahal aku sangat peduli padamu, Kak. Aku sangat khawatir dengan keadaanmu. Hati Kakak pasti sangat hancur, apalagi aku sudah mendengar semuanya dari ayahanda dan ibunda tadi. Tapi yah sudahlah, mungkin kak Amayra membutuhkan waktu untuk sendirian dulu, batin gadis itu. Aurora segera menutup pintu kamar Amayra. Lalu ia segera kembali ke kamarnya untuk kembali memejamkan mata. "Menyebalkan! Harusnya kalian yang peduli dan perhatian ke aku! Tapi kalian justru mengabaikan aku. Kenapa malah si udik yang menyebalkan itu yang memerhatikan aku? Rasanya kesal saat orang yang aku sakiti setiap hari menunjukkan kepeduliannya padaku. Harga diriku rasanya tercabik-cabik. Aku seakan begitu rendah dan patut dikasihani," gumamnya sendirian dalam linangan air mata. *** Setengah jam yang lalu. Dengan menahan kantuknya, Gaia membantu sang suami melepaskan jubah kebesarannya. Wanita itu melakukan dengan tenang dan tak bersuara. Karena ia tahu, suasana hati sang suami sedang tidak baik. Jadi, Gaia tidak ingin memperkeruh keadaan dan memilih diam tak banyak bertanya. "Mau Dinda siapkan air hangat?" tanya Gaia. "Tidak perlu! Aku akan mandi keesokan hari saja. Hari sudah larut," jawab Athura. "Atau Kanda mau makan sesuatu?" tanya Gaia. Pria itu menggeleng. "Tidak mau! Aku sudah makan di istana." Athura sengaja berbohong. Padahal hatinya yang tak tenang membuat pria itu kehilangan selera makanan. Dari pagi tak sebutir makanan pun yang masuk ke dalam perutnya. "Aku tahu, Kamu sangat penasaran dengan kabar yang aku bawa. Apakah Kamu tidak ingin menanyakannya?" tanya Athura. "Tidak, Kanda. Gaia tidak akan berani melakukannya. Saya akan menunggu sampai Kanda sendiri yang mengatakannya," jawab wanita itu dengan suara yang sangat lembut. "Gaia ... apa yang kita khawatirkan akhirnya terjadi. Pernikahan Amayra dan putra mahkota benar-benar dibatalkan. Sebagai gantinya, pemilihan putri mahkota akan dijalankan mengikut tradisi. Seperti yang biasa dilakukan oleh leluhur kita," ucap Athura. "Sebenarnya ini adalah cara yang benar. Memang sudah seharusnya dijalankan seperti apa yang leluhur kita amalkan selama ini, Kanda. Hanya saja, Dinda sangat mengkhawatirkan Amayra. Perasaan gadis itu pasti sangat terluka saat mendengarnya. Satu lagi ... pasti akan muncul berbagai hujatan dari orang-orang. Amayra pasti akan sangat dipermalukan. Gaia takut ...." "Tenanglah, Gaia. Tidak akan apa-apa! Aku tahu ini berat, tetapi tidak ada hal yang tidak mungkin, bukan? Kita hanya perlu berjuang demi Amayra. Karena ia masih memiliki kesempatan untuk menjadi putri mahkota. Kamu harus ajarkan segalanya pada dia. Buat dia pantas menjadi seorang pendamping putra mahkota. Maka dengan sendirinya, ia akan memenangi seleksi tersebut," ucap Athura dengan suara yang melunak. Tak lagi penuh emosi seperti saat membentak anak gadisnya tadi. "Baik, Kanda. Dinda akan melakukannya," ucap Gaia patuh. "Baiklah, mari kita tidur karena hari telah larut. Besok pagi setelah sarapan aku akan mengatakan semua kebenaran ini di hadapan semua orang," ucap Athura. Gaia mengangguk, pasangan suami istri itu segera bersiap untuk tidur. Sementara itu di balik pintu, ada seorang gadis yang tanpa sengaja mendengar pembicaraan orang tuanya. Gadis itu baru saja buang air kecil dan ingin kembali ke kamarnya, tetapi ia justru mendengar kabar yang begitu mengejutkan. Gadis itu benar-benar terkejut, sampai-sampai hanya bisa menutup bibirnya dengan kedua tangan. "Kasihan Kak Amayra. Dia pasti sekarang sedang sangat sedih," gumam Aurora. "Baiklah, lebih baik aku melihat keadaannya. Siapa tahu aku bisa menghiburnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD