BAB 21

1153 Words
Makan pagi telah usai, semua orang yang di rumah itu berkumpul di meja makan kini telah berkumpul di ruang keluarga. Beberapa lama waktu telah berlalu dan Athura belum buka suara. Pun dengan anak dan istrinya, tak satupun berani mengangkat kepala apalagi bicara. Wajah pria itu tampak serius. Tatap matanya tajam, tak tersenyum sama sekali. Kali ini, Athura lebih tampak seperti sosoknya saat menjadi panglima perang. Dingin, kejam seolah tak berperasaan. Setelah beberapa kali mengembuskan napas kasar, akhirnya Athura mulai membuka percakapan. "Ayah kemarin pergi ke istana menemui baginda raja. Ayah tahu pasti kalian sudah tahu sebabnya, ayah juga yakin kalian telah mendengar segala bisik-bisik yang terdengar di sana-sini." Pria itu menjeda kalimatnya, kemudian memandang wajah putrinya satu per satu. "Kalian tidak perlu memikirkan apa kata orang. Anggap saja kalian tidak mendengarnya. Toh, seiring waktu yang berlalu semua akan menghilang dan orang-orang akan bosan membicarakannya. Ayah dan baginda raja telah membuat keputusan besar dan cukup sulit. Kami terpaksa mengubah keputusan kami. Namun, semua kami lakukan agar keadilan tetap ditegakkan karena semua orang memiliki hak yang sama. Agar Nirwana selalu damai dan tenteram." "Kalian pasti tahu kan apa maksudnya?" Semua orang terdiam tak ada yang menjawab. Athura lantas menatap wajah Amayra yang selalu menunduk sejak mereka duduk di sana. "Kamu harus berbesar hati, Amayra. Pernikahan Kamu dengan putra mahkota resmi dibatalkan. Pemilihan putri mahkota akan dilakukan seperti tradisi sebelumnya. Yaitu dengan menjalani seleksi dari kerajaan." "Tapi Ayahanda ...," rengek gadis itu tak terima. Ia benar-benar tidak ikhlas kehilangan keberuntungannya. "Amayra! Di keluarga ini, Kamu adalah anak yang paling tua. Kamu harus bisa berpikir jernih dan lebih dewasa. Beri contoh yang baik kepada adik-adikmu. Jangan merengek seperti anak kecil begitu," ucap Athura. "Tapi ini tidak adil bagi Amayra, Ayahanda. Semua sudah diputuskan, bahkan putra mahkota sendiri yang telah memilih aku. Itu artinya, memang takdirku untuk menjadi calon ratu. Bagaimana bisa putri mahkota harus dipilih ulang?" Gadis itu tidak mau mendengarkan ucapan sang ayah, dengan berani melawan tidak seperti biasanya yang selalu bertutur kata lembut dan selalu menurut. "Kalau menurutmu ini tak adil, lalu apakah jika Kamu menikah dengan putra mahkota tanpa syarat apa pun itu akan adil bagi semua orang? Mereka juga menginginkan posisi yang ingin Kamu raih. Kamu jangan hanya mementingkan dirimu sendiri. Semua warga Nirvana juga memiliki hak yang sama. Sudah menjadi adat turun-temurun dari zaman dahulu kala. Lagipula, menurut ayah ini bagus. Untuk mengasah kemampuan kalian. Adik-adikmu juga bisa memiliki hak yang sama untuk mendapatkan gelar putri mahkota. Mereka berenam juga bisa mengembangkan diri dan belajar." "Tapi jika yang terpilih bukan gadis dari keluarga kita bagaimana, Ayahanda? Tidak ada keluarga lain yang lebih terhormat dibandingkan keluarga kita," ucap Amayra dengan angkuh. "Kamu salah, semua tergantung kualitas bukan dari keluarga mana Kamu berasal. Apa Kamu tahu? Ratu Selena bahkan bukan dari keluarga ternama. Ia hanya seorang anak yatim piatu yang berasal dari desa terpencil yang jauh dari kota. Dia tidak memiliki apa pun dan siapa pun di Nirvana ini. Tapi, dengan kemampuannya, dia menunjukkan diri bahwa ia pantas menjadi seorang ratu dan dia membuktikannya. Nirvana semakin makmur semenjak baginda Philips dan Ratu Selena yang memimpin. Jadi Kamu hanya perlu belajar dan berusaha agar menjadi pantas dan memenangi seleksi tersebut. Kamu sudah banyak belajar dari ibumu. Kamu harus yakin dengan kemampuanmu. Jika Kamu sudah memiliki kemampuan, rasa percaya diri, lalu apa yang harus Kamu takutkan?" tanya Athura. Amayra menundukkan kepala seraya menahan air matanya. Sepertinya tidak ada gunanya jika ia bersikeras meminta sang ayah memperjuangkan cintanya. Karena keputusan sang ayah dan raja sudah bulat. Meski kesal, ia tidak dapat berbuat apa pun selain pasrah dengan keadaan. "Semua juga berlaku untuk kalian semua. Kalian harus belajar yang rajin, jangan sampai mempermalukan ayahanda. Berjuanglah, kalian sekarang memiliki hak yang sama seperti Amayra." nasihat Athura. Semua anak gadis Athura mengangguk tanpa suara. "Kalian mengerti?" "Mengerti, Ayahanda," jawab keenam putri serentak. "Bagus! Kalian bisa kembali ke kamar atau melakukan tugas-tugas Kalian." Athura mengakhiri pembicaraan mereka dan meninggalkan ruangan itu dengan segera. "Ibu harus bicara dengan ayahanda. Kalian tolong bereskan meja makan," perintah ibu enam anak itu. Gaia pun ikut beranjak dan pergi menyusul suaminya. "Baik, Bunda," jawab mereka serentak. Amayra segera berdiri dan berlari kembali ke kamarnya. Ia sama sekali tidak mengindahkan perintah sang ibu. Sementara itu kelima putri lainnya saling bertatapan mata mengirim kode. "Aurora! Bersihkan meja makan!" perintah Agni seraya beranjak dari duduknya. Keempat gadis itu ikut berdiri dan bersiap pergi. "Tapi, Bunda bilang kita harus kerjakan bersama-sama ...." "Kamu mau tidur di gudang lagi?" ancam Apsara. Gadis itu menggeleng cepat. Sungguh ia tidak ingin terkurung di tempat gelap dan penuh serangga itu lagi. "Kalau begitu lakukan dan jangan banyak bicara!" Kini Althea ikut buka suara. "Baiklah." Akhirnya gadis itu hanya bisa mengalah dan pasrah. Aurora tidak ingin menimbulkan masalah lagi dengan melawan mereka. *** "Aku sangat senang sekali, Kak Thea. Akhirnya kita memiliki kesempatan untuk menjadi putri mahkota," ucap Alora terdengar begitu bahagia. Althea hanya membalas dengan senyuman. Sesungguhnya ia tak kalah senang dari adik-adiknya. Ia sangat bahagia, akhirnya ada kesempatan untuk mewujudkan mimpi terpendamnya agar menjadi istri Pangeran Kairos. Orang yang membuat ia jatuh cinta meski hanya sekali Althea melihat wajahnya. Ya, Althea pernah menyaksikan sendiri ketampanan Kairos saat festival panen tujuh tahun yang lalu. Semenjak itu, Thea berniat ingin menjadi putri mahkota yang akan mendampingi pria yang ia cintai. "Benar Lora, akhirnya kita bisa berjuang. Eits, tapi jangan salah, aku tak akan mengalah sekalipun Kamu adikku. Dengan Kak Thea atau kak Amayra pun tidak. Maafkan aku, Kak Thea. Aku tidak bermaksud melawanmu," ucap Agni merasa bersalah. Althea lagi-lagi tersenyum. "Kalian tidak perlu sungkan. Mari kita berkompetisi, menunjukkan siapa yang paling baik di antara kita. Aku tidak akan mempermasalahkan siapa yang akan menang nanti." 'Kalian siapkan hati kalian saja agar tak menangis saat kalah nanti. Akan aku pastikan aku yang akan memenangkan seleksi itu. Apa pun caranya, aku akan melakukannya, batin Althea licik. "Kyaa! Kak Thea benar-benar baik hati, tidak seperti Kak Amayra yang hanya ingin menyimpan putra mahkota untuknya sendiri," ucap Apsara dengan gembira. Althea bahagia mendengar pujian dari Apsara. "Kak Sara benar!" Alodia ikut membenarkan. "Oh, jadi begini kelakukan kalian di belakangku? Kalian mau menikungku, huh?" Tiba-tiba Amayra datang dengan marah-marah. Semua gadis menundukkan kepala, kecuali Althea. Gadis itu dengan berani menjawab, "Kakak tidak perlu marah seperti itu. Bukankah Ayahanda sudah bilang kalau kita semua memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi? Atau Kakak takut kalah?" "Kurang ajar!" Amayra tak menyangka Thea yang selalu menurut padanya kini berani melawannya secara terang-terangan. "Siapa bilang aku takut! Kalian bahkan tak lebih dari sebutir debu bagiku." "Kalau begitu, Kakak tak perlu marah-marah. Kerahkan saja segala kemampuan kakak agar bisa menang. Aku juga akan berusaha sekeras mungkin. Mari kita bersaing secara sehat dan buktikan siapa yang paling layak menjadi pendamping putra mahkota," ucap Althea. "Oke, siapa takut. Siapkan saja hati kalian! Jangan sampai kalian menangis karena kalah dariku," ucap Amayra dengan sombongnya. "Kesombonganmu itu akan membawa kehancuran bagimu, Kak. Hanya tinggal menunggu waktu saja," gumam Althea penuh kebencian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD