Dengan hati-hati gadis itu membawa nampan berisi ramuan buatannya ke hadapan sang ratu. Ia memperlakukan ramuan itu seperti bongkahan berlian yang sangat berharga. Karena ramuan itu yang akan menentukan kelangsungan hidupnya. Jika ia berhasil membuat sakit kepala sang ratu sembuh, maka ia akan langsung menang. Namun, jika ia gagal maka ia harus mendapatkan hukuman seperti perjanjian di awal.
"Yang Mulia, apakah adil jika kita bersikap seperti ini? Mereka masih membuat ramuan dan kita sudah menilai ramuan milik gadis ini," ucap Hera saat Aurora duduk di hadapan ratu menuangkan ramuan obat dari teko emas yang ia bawa.
"Tentu saja adil. Yang harusnya merasa tidak adil adalah dia. Karena dia hanya memiliki waktu yang terbatas untuk membuat ramuan ini. Jika ia gagal, ia bahkan akan mendapatkan hukuman. Sementara yang lain, mereka memiliki waktu yang cukup dan tidak akan mendapatkan apa-apa kalau gagal," ucap sang ratu.
"Tapi kalau dia berhasil, lalu bagaimana nasib yang lainnya, Yang Mulia? Bukankah kita sama saja mematahkan harapan mereka? Padahal mereka sudah susah-susah membuat," ucap Hera.
Ratu tersenyum seraya menerima gelas emas dari tangan Aurora. "Di dunia ini, tidak ada namanya keadilan. Yang kuatlah yang bertahan. Yang gigihlah yang akan menang. Ingat kata pepatah, siapa cepat dia yang dapat. Orang yang pertama bisa menyembuhkan aku, itulah pemenangnya.
Ratu mengangkat gelasnya hendak meminum ramuan tersebut. Namun, dengan cepat Hera berkata. "Yang Mulia, biarkan saya mencicipinya terlebih dahulu. Saya takut gadis ini memberikan sesuatu pada minuman itu."
"Maksudmu ... racun?" tanya ratu dengan tenang. Sementara itu Aurora tampak terkejut karena Hera ternyata mencurigainya.
"I-iya, Yang Mulia," jawab Hera gugup.
"Aku percaya padanya. Jika memang terjadi apa-apa padaku, itu artinya Tuhan sudah memutuskan bahwa usiaku hanya sampai hari ini." Tanpa ragu, ratu Selena meneguk ramuan buatan Aurora.
"Em, boleh juga. Sedikit pahit, asam tetapi ada rasa manis yang cukup enak. Memang sedikit menenangkan lidahku yang terasa kebas dan mati rasa ini," ucap sang ratu. Wanita itu lantas menenggak seluruh isi dalam gelas itu. "Apa saja yang Kamu pakai dalam ramuan ini?"
"Saya menggunakan ramuan dan rempah dari kebun kerajaan, ditambah dengan sedikit madu yang juga saya ambil dari kebun itu," jawab Aurora dengan sopan.
"Ba-bagaimana, Yang Mulia. Apa Anda merasakan sesuatu?" tanya Hera khawatir.
"Eum, tidak. Aku tidak merasakan apa pun. Kepalaku juga masih sakit, indera perasaku juga masih tidak berfungsi seperti sebelumnya. Tidak ada perubahan apa pun," jawab ratu Selena dengan jujur.
Aurora tampak kecewa saat mendengar ucapan ratu. Ramuan yang ia yakini akan menyembuhkan ratu ternyata tidak berkhasiat sama sekali. Gadis itu merasa telah gagal.
"Aurora, aku sudah meminumnya. Namun, tidak ada reaksi apa-apa. Jadi, mari kita tunggu peserta lainnya. Siapa tahu ada yang berhasil di antara mereka," ucap sang ratu dengan tenang.
"Baik, Yang Mulia Ratu. Terima kasih, atas kemurahan hati Yang Mulia." Gadis itu melangkah mundur berniat untuk pergi dari tempat itu.
"Hera! Kepalaku, aduh!" Tiba-tiba saja, ratu Selena memegang kepalanya dan merasa sangat kesakitan.
"Yang Mulia. Apa yang terjadi Yang Mulia?" Hera tampak panik saat ratu Selena tiba-tiba sakit kepala lalu pingsan. Wanita itu menahan tubuh ratu sebelum ratu terjatuh, membiarkan wanita itu menyandar di bahunya.
"Yang Mulia Ratu!" Aurora berlari menghampiri ratu Selena dan Hera dengan wajah yang pucat. Aurora tak kalah panik, juga sangat terkejut.
"Kamu jangan mendekat!" teriak Hera dengan wajah penuh amarah. Aurora berhenti seketika, tidak berani melangkah lagi.
"Kalian kenapa diam saja! Panggil tabib cepat!" teriak Hera penuh amarah. Dayang yang berada di tempat itu segera berlarian memanggil tabib kerajaan.
"Kamu! Beraninya ...." Hera menatap Aurora penuh kebencian. Rasanya Hera ingin sekali menghajar Aurora. Namun keselamatan ratu adalah yang paling utama. Membuat wanita itu mengabaikan Aurora kali ini. "Pengawal, tangkap dia! Masukkan dia ke dalam penjara! Buat dia merasakan bagaimana dingin dan gelapnya tempat itu."
Dua orang pengawal dengan sigap memegangi tangan Aurora lalu menyeret paksa gadis itu dari sana. Aurora menangis tersedu-sedu, bukan karena ia takut ditangkap oleh pengawal kerajaan. Akan tetapi, Aurora takut jika sampai ratu kenapa-napa karena ramuannya.
"Yang Mulia ... maafkan saya! Maafkan saya, Yang Mulia. Maaf karena telah membuat Yang Mulia Ratu celaka." Gadis itu menangis saat diseret paksa oleh dua orang pengawal dan dibawa menjauh dari tempat itu.
***
Aurora menangis tersedu-sedu saat penjaga memasukkannya ke dalam sel tahanan dan menguncinya. Tempat gelap dan kotor itu tak sedikit pun membuat ia takut. Justru rasa bersalah yang begitu besar menyelimuti hatinya.
Aurora menyesal telah membuat ramuan itu. Ramuan yang ia racik dengan baik, yang ia percaya dapat menyembuhkan sang ratu ternyata justru mencelakai wanita tersebut. Padahal, Aurora merasa bahwa ia sudah memasukkan bahan dengan benar. Namun, entah mengapa semua jadi begini.
Aurora merasa sangat bodoh karena terlalu percaya diri. Ternyata ia tidak pandai seperti yang selalu Kai katakan. Ternyata ia sangat mengecewakan karena telah mencelakai orang lain. Ya, ia yakin Kai dan ayah bundanya akan sangat membencinya saat tahu kebodohannya yang mencelakai orang lain.
Dengan tubuh yang lemas dan gemetar gadis itu terduduk di lantai penjara yang dingin dan lembab. Suara tikus yang berdecit, kegelapan tempat itu, ia hiraukan. Masih dengan terus menangis gadis itu menadahkan tangannya.
"Ya, Tuhan. Aku tidak akan pernah menyesal jika aku diberi hukuman mati sekali pun. Tapi jangan buat aku menyesal dengan menyaksikan orang lain celaka gara-gara kecerobohanku. Ya Tuhan, tolong selamatkan Yang Mulia Ratu." Dengan tulus gadis itu berdoa mengharapkan kesembuhan sang ratu.
Sungguh rasa itu begitu menyiksanya. Karena ia hanya bisa berdiam diri di sana menunggu kabar angin yang berembus. Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Aurora hanya berharap agar ratu terselamatkan. Aurora berharap agar tidak ada hal yang buruk terjadi pada wanita nomor satu di negeri itu.
Gadis itu duduk memeluk lututnya, tubuhnya masih gemetar, air mata juga masih terus mengalir dari matanya yang kian lama semakin membengkak. Bibirnya tak henti bergumam, berdoa, memohon untuk keselamatan sang ratu.
***
"Bagaimana, Tabib?" tanya Hera tak sabar saat tabib kerajaan memeriksa denyut nadi ratu Selena. Bagaimanapun juga, ia harus bertanggung jawab atas keselamatan sang ratu. Hera merutuki diri karena tidak mencicipi ramuan itu seperti peraturan istana yang telah ditetapkan.
Ratu Selena telah dibawa kembali ke kediamannya dan kini beliau masih tidak sadarkan diri. Raja dan putra mahkota yang sedang melakukan perjalanan ke daerah terpencil belum juga kembali. Bahkan, mungkin merpati sang pembawa kabar belum menemukan keberadaan mereka.
"Sebentar, Nyonya." Tabib yang telah mengabdi selama ratusan tahun di istana Nirvana itu mengulangi kembali pemeriksaan. Sudah dua kali ia memeriksa, dua kali pula ia tidak mendapatkan apa pun. Tabib tidak menemukan keganjilan di dalam tubuh sang ratu. Bahkan, tabib itu merasa jika kondisi ratu justru lebih baik.
"Kenapa lama sekali? Tuan Tabib, tolong lakukan dengan benar. Ini menyangkut keselamatan ratu. Jadi saya mohon Tuan tabib melakukan pemeriksaan dengan baik," pinta Hera.
"Tenanglah Nyonya, saya akan melakukan yang terbaik." Tabib kerajaan segera memeriksa ratu Selena secara menyeluruh. Kali ini ia melakukan dengan teliti dan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan.
"Yang Mulia Ratu baik-baik saja. Bahkan saya lihat kondisinya sepuluh kali lipat lebih baik dari minggu yang lalu saat saya memeriksanya dan sekarang beliau hanya tidur, Nyonya," ucap tabib setelah berulang-ulang kali melakukan pemeriksaan.
"Apa? Apa maksudmu? Tadi Yang Mulia merasa sangat kesakitan hingga pingsan. Sekarang Kamu bilang ratu hanya tidur? Apakah Kamu memeriksa dengan benar, Tabib? Atau Kamu hanya menebak-nebak saja?" Hera tidak dapat memercayai ucapan tabib tua itu. Hera merasa ucapan sang tabib sangat tidak masuk akal. Tadi, ratu Selena kesakitan hingga pingsan. Bagaimana bisa tabib berkata kalau ratu hanya tidur?
"Saya tidak bohong, Nyonya. Saya mengatakan ini setelah memastikannya beberapa kali. Saya merasakan detak jantung Yang Mulia lebih stabil, saya juga sudah mengambil sampel darah Yang Mulia dan hasilnya sangat bagus. Tidak ada racun yang berbahaya. Saya rasa saat Yang Mulia Ratu bangun nanti, beliau akan merasa lebih baik dan lebih nyaman. Nyonya, kalau Nyonya menganggap saya berbohong, Nyonya bisa memanggil tabib yang lainnya agar memeriksa Yang Mulia. Saya permisi dulu, Nyonya." Tabib yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk Nirvana itu segera pergi dari sana setelah mengemas semua peralatan medis miliknya. Meninggalkan Hera yang masih di sana dilanda kebingungan.