BAB 35

1365 Words
Aurora baru saja pergi dari aula besar. Ia harus segera meramu obat-obatan untuk ratu. Gadis itu cukup berkonsentrasi dan tak perlu mengkhawatirkan apa pun karena sudah mengantongi izin dari sang ratu. Ia bisa menggunakan dapur istana dan dapat menggunakan tanam-tanaman yang ada di istana. Sementara itu, ratu Selena masih berada di sana bersama Hera. Banyak hal yang tiba-tiba ingin ratu bicarakan bersama dengan Hera. Terutama tentang gadis pemberani yang begitu menarik perhatian semua orang. "Hera, kenapa aku merasa dia gadis yang sangat unik, ya? Aku merasa dia adalah gadis yang paling cocok untuk menjadi pendamping Kairos," ucap ratu dengan senyum semringah di wajahnya. Ratu Selena tak dapat lagi menyembunyikan ketertarikannya pada Aurora. Menurutnya, keberanian dan kepercayaan diri Aurora begitu menakjubkan. Ada suatu hal yang dimiliki Aurora yang begitu menarik perhatiannya. Bahkan, ratu Selena bisa menyukainya meski ini adalah pertemuan mereka yang pertama kalinya. "Tapi, Ratu. Bagaimana kalau dia sebenarnya adalah gadis licik?" Hera masih terus berprasangka buruk pada Aurora. Ia tidak bisa mempercayai Aurora begitu saja setelah apa yang terjadi. "Tidak, Hera. Aku dapat melihat kelembutan dan kebaikan hatinya. Sorot matanya itu, tekadnya yang begitu kuat, aku melihat ada kelembutan di balik ketegarannya. Hal itu juga mengingatkan masa mudaku, yang dulu seperti dirinya, harus bersaing dengan ribuan kompetitor." Ucapan ratu Selena kedengaran seperti membela Aurora. "Hera! Katakan dari daerah mana ia berasal. Di keluarga mana dia dilahirkan. Sepertinya aku harus memberi hadiah atas keberaniannya itu." "Itu ... Ratu. Dia ... dia adalah putri bungsu panglima perang, Athura yang perkasa," jawab Hera ragu-ragu. "Putri bungsu Athura?" Wajah ratu Selena seketika berseri-seri. Dia begitu bahagia mengetahui identitas Aurora. Hera menyadari perubahan ekspresi sang ratu. Namun, ia tidak berani bertanya. Hanya saja, Hera semakin penasaran dengan sosok Aurora yang pandai memikat perhatian semua orang termasuk dirinya yang diam-diam juga tertarik pada gadis itu. "Sepertinya Kairos tidak salah pilih. Pantas saja dia menolak perjodohan itu di saat ada gadis cantik dan bersinar seperti permata di hadapannya. Apa pun itu, jika dia Aurora maka aku akan setuju-setuju saja," gumam Selena dengan senyum yang tak pernah pudar. "Maaf, Ratu. Apakah Ratu berbicara kepada saya?" tanya Hera yang tidak terlalu jelas mendengar. "Ah, tidak apa-apa. Apa pun itu, aku akan mendukung Aurora. Aku sepertinya sangat menyukai gadis itu," ucap Ratu Selena. "Ya?" Hera tampak terkejut. Ratu bahkan dengan mudah membuka hati untuk Aurora. "Tapi, Anda harus tetap adil, Yang Mulia. Siapa pun yang akan jadi pemenangnya, dia yang akan menjadi pendamping putra mahkota." Ratu Selena mengerucutkan bibirnya, tidak suka dengan ucapan Hera. "Tapi, aku yakin bahwa dia yang akan menang." "Yang Mulia harus menepati janji. Tadi Yang Mulia sudah bilang kalau akan menghukum gadis itu jika ia sampai gagal," ucap Hera mengingatkan. "Soal itu ...." Ratu Selena meragu. Bagaimana mungkin ia menghukum gadis kesayangan putranya. Dalam hati wanita itu menyesal karena sempat bersikap kurang baik pada Aurora. "Sepertinya aku harus menarik semua ucapanku." "Anda harus adil, Yang Mulia. Seorang ratu tidak boleh menjilat ludahnya sendiri. Apa kata yang lainnya jika Anda bersikap berat sebelah." Hera masih terus memperingatkan. "Tapi hanya ada aku dan Kamu, jadi tidak akan ada masalah, bukan?" Ratu Selena bersikeras. "Tapi seorang ratu harus jujur, adil dan bijaksana." Hera masih belum menyerah. "Iya, iya. Aku akan memegang janjiku. Tapi aku yakin, Aurora tidak akan gagal," ucap ratu Selena percaya diri. Dia harus menang, karena dia adalah gadis kesayangan putraku. Tapi aku yakin, Aurora tidak akan pernah membuat Kai kecewa, batin wanita itu. Hera hanya bisa mengembuskan napas kasar. Sepertinya ratu sangat menyukai Aurora hingga seyakin itu. Pada akhirnya, Hera hanya bisa berharap agar ratu tetap adil, bijaksana dan tidak berat sebelah. *** Di dalam dapur istana yang telah sengaja dikosongkan itu, Aurora mulai mengolah semua bahan-bahan obat yang tadi ia ambil dari kebun kerajaan. Gadis itu merasa sangat beruntung saat semua tanaman dan rempah yang ia perlukan tersedia di sana. Jadi, ia dengan mudah bisa mendapatkan bahan yang ia perlukan. Gadis itu tersenyum senang seraya menakar dan menimbang bahan seperti yang Kai ajarkan. Ia mengingat ucapan pria itu yang mengatakan bahwa komposisi dari ramuan adalah hal terpenting. Aurora sangat bersyukur ternyata semua yang pria itu ajarkan sangat diperlukan dalam kompetisi ini. Tiba-tiba saja ia jadi merindukan pria tersebut. "Dor!" Suara itu tiba-tiba saja mengagetkan Aurora membuat sendok yang dipegangnya hampir terlepas dari tangan. Gadis itu menoleh dan hampir memekik karena terkejut. Untung saja, dengan cepat ia membungkam bibirnya agar tidak berteriak. Karena kalau hal itu sampai terjadi, maka semua orang akan datang memergokinya dan entah apa yang akan terjadi setelahnya. "Ka-i!" Dengan suara terbata gadis itu berbicara lirih. Rasanya ia sangat kesulitan untuk mengeluarkan suara. Rasanya begitu campur aduk di dalam dadanya. Ada rasa sedih, rindu, dan bahagia saat ia bisa melihat pria itu lagi. Hingga tanpa sadar, Aurora langsung memeluk pria berpakaian sederhana dan serba putih tersebut. Air matanya membanjir turut meluapkan rasa rindu di dalam dadanya. Rasanya, Aurora ingin terus memeluk pria itu dan tak mau melepaskannya lagi. "Hei! Hei! Kamu kenapa?" tanya Kai dengan suara lirih. Sebenarnya, pria itu sangat bahagia saat Aurora memeluknya seperti itu. Karena rasa rindu pria itu pun sama besarnya. Menggunung di dalam dadanya dan tidak dapat ia kendalikan lagi. "Kamu terlihat lebih kurus." Pria itu mengusap air mata Aurora dengan lembut. Pelukan mereka telah tercerai, dan berganti dengan "Tentu saja. Aku tidak pernah tenang berada di tempat penuh kemewahan ini. Kai, bisakah Kamu membawa aku pergi dari tempat ini saja? Bisakah aku menyerah akan kompetisi ini? Semua terasa begitu berat bagiku, Kai," ucap gadis itu. Pria itu tersenyum dan menggeleng. "Jika Kamu ingin hidup bersamaku hingga kita tua nanti, Kamu harus menyelesaikan kompetisi ini. Ingat, Rora. Kamu harus menang bagaimana pun caranya. Lagipula, ini adalah awal perjuangan kita. Kedepannya kita harus melalui jalan yang lebih terjal dan sulit." "Kamu kejam, Kai. Kamu kejam! Kamu memberikan hukuman seberat ini padaku," ucap Aurora dengan air mata yang lebih deras lagi. "Ini bukan hukuman, Rora. Ini adalah ujian cinta kita. Kamu harus bertahan demi aku, demi cinta kita. Lakukan yang terbaik, Rora. Buktikan cintamu padaku," ucap Kai memberi semangat. "Aku yakin, Auroraku akan berhasil. Tetap kuat dan berusaha dengan keras." Gadis itu mengangguk-angguk, meski hatinya menolak dan ingin sekali menyerah lalu pergi. Lagi-lagi ia menguatkan hatinya, bahwa ia harus bertahan demi Kai dan sang ayahanda. "Tunggu, Kai! Bagaimana Kamu bisa berada di tempat ini?" tanya Aurora curiga. "Eum, itu ... aku kan juga penduduk Nirvana juga. Apa aku tidak boleh mengunjungi istana ini?" jawab pria itu dengan sedikit gugup "Tapi bagaimana Kamu bisa tahu kalau aku ada di dapur istana? Lalu bagaimana caranya Kamu masuk ke tempat ini? Bukankah ada penjaga yang berjaga di depan," selidik Aurora masih dipenuhi rasa curiga. "Hmm.. Kita sudah beberapa hari tidak bertemu dan Kamu menyerang aku dengan begitu banyak pertanyaan. Beginikah caramu melepas rindu?" tanya Kai pura-pura kesal. "Masalahnya Kamu terlalu mencurigakan. Datang tiba-tiba tanpa suara. Aku juga merasa kalau selama ini kita begitu dekat. Seolah-olah Kamu terus mengawasiku," ucap Aurora. Kai lantas mencubit hidung gadis itu dengan gemas, membuat hidung Aurora memerah karenanya. "Aw!" ringis gadis itu. "Kamu lucu saat hidungmu memerah begitu." Kai tergelak melihat ekspresi lucu Aurora. "Aku bicara serius dan Kamu selalu menanggapi dengan gurauan. Seolah-olah ada hal yang sengaja Kamu sembunyikan dariku," protes Aurora. "Hahaha, tidak Rora. Aku tidak akan bisa menyembunyikan apa pun darimu. Kamu sudah melihat sendiri apa yang selama ini selalu aku lakukan. Jadi untuk apa Kamu menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya itu? Aku bisa ke mana pun tanpa ketahuan orang lain. Dan di mana pun Kamu berada, aku akan selalu mengawasimu. Karena aku selalu ada di sampingmu," ucap Kai menenangkan gadis itu. "Inilah yang membuat aku kesal. Apa pun yang Kamu katakan selalu benar. Apa yang Kamu katakan membuat aku terpaksa mengalah." Kai lagi-lagi tertawa. Melihat Aurora marah seperti itu sungguh menggemaskan. "Kamu hanya perlu tahu, kalau aku selalu mencintaimu." "Astaga ... Kamu pasti sedang bergegas kan? Cepat selesaikan tugasmu. Atau Kamu akan kehilangan banyak waktu. Aku harus pergi, Rora. Bersungguh-sungguhlah. Aku percaya padamu. Aku yakin Kamu akan menang." Pria itu melambaikan tangan, lalu secepat kilat menghilang seperti angin. Aurora merasa kehilangan. Namun, ia merasa lega karena Kai datang mengunjunginya. Sebentar kemudian, ia ingat pekerjaannya. Gadis itu segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum waktu yang diberikan oleh sang ratu habis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD