BAB 7

1057 Words
Pria itu tak dapat menahan tawanya saat melihat pipi Aurora yang berlepotan gara-gara mangga yang mereka makan. Sungguh, di mata Kai, Aurora terlihat begitu manis dengan wajah yang seperti itu. Menurut Kai, sangat sesuai dengan sifat gadis itu polos dan sangat lugu. "Kenapa tertawa?" tanya Aurora saat menyadari bahwa pria itu tengah menertawakannya. "Ah, tidak!" Kai menggelengkan kepala, mengelak. "Katakan! Ada apa? Apa jangan-jangan Kamu meracuni aku? Hingga Kamu sebahagia itu?" tuduh gadis itu curiga. "Astaga! Kamu jahat sekali. Selalu menuduh aku seperti itu, sedangkan aku sudah sangat memercayaimu. Sampai-sampai aku membawamu ke tempat rahasiaku ini," ucap pria itu. "Rahasia? Benarkah ini tempat rahasia?" tanya Aurora setengah tak percaya. "Tentu saja benar. Apakah Kamu melihat ada orang lain selain kita di tempat ini?" Pertanyaan Kai membuat Aurora tersadar bahwa memang sedari tadi tidak ada yang datang kecuali dirinya dan pria itu. "Eh, benar juga, ya? Aku baru sadar kalau tempat ini sangat sepi. Hanya kicauan burung yang terdengar. Bahkan ratusan kupu-kupu ini juga tidak dapat mengeluarkan suara apalagi berbicara," ucap Aurora. "Diamlah sebentar!" perintah pria itu. Lantas tangannya terulur mengusap pipi Aurora yang terkena buah. Gerakan pria itu sangat lembut, sampai-sampai membuat pipi Aurora bersemu merah. "Nah, sudah. Kamu benar-benar seperti anak kecil." Pria itu dengan berani mengacak poni gadis itu, membuat jantung Aurora seakan ingin meledak. "Apa sih!" Gadis itu memalingkan wajahnya karena malu. Sungguh rasanya wajahnya panas sekali, jantung di dadanya berdetak dengan keras dan cepat seolah akan keluar dari tempatnya. Pria itu tersenyum lagi. Senyum yang dapat melumerkan hati siapa pun yang melihatnya. "Apakah Kamu sudah puas memakannya? Atau Kamu mau makan lagi?" "Sudah cukup. Perut Rora sudah penuh," jawabnya seraya beranjak berdiri. Ia ingin menghindar sebentar, menyembunyikan wajahnya yang masih panas dan tak kunjung reda. Saat gadis itu ingin berdiri, tanpa sengaja kakinya menginjak gaun yang ia pakai. Membuat gadis itu kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh ambruk dan berguling di rerumputan. Ia memejamkan mata, karena rasa pusing yang mendera. Namun, anehnya ia tak merasa sedikit pun kesakitan. Bahkan, ia justru merasakan hangat dan lembut dalam waktu bersamaan. Seolah-olah ada sesuatu yang melindunginya. Sampai ia berhenti berguling, Aurora baru membuka matanya. Gadis itu merasakan sesuatu yang besar dan terasa hangat memeluk pinggangnya. Ia juga merasakan kepalanya dilindungi sesuatu. Ia juga bisa merasakan harum yang bersumber dari mana. Begitu alami dan menyegarkan bercampur dengan bau rumput di tempat yang hijau itu. "Apa sangat nyaman sekali, hingga Kamu mau terus berada di atasku seperti itu?" Suara yang tertangkap oleh indera pendengaran Aurora membuat gadis itu membuka mata perlahan. Gadis itu baru menyadari bahwa tangan pria itu yang melindunginya. Dibawahnya kini pria itu terbaring, terlentang dan tertindih tubuhnya. Ia sangat terkejut dan malu. Entah bagaimana caranya, pria itu bisa ikut jatuh dan berguling dengannya di rerumputan. Seribu kali pun gadis itu memikirkan, ia tak dapat menemukan cara yang masuk akal. Keduanya saling bertatap mata, menyelami diri masing-masing. Aurora takjub saat melihat wajah pria itu dari dekat. Wajah yang begitu sempurna. Alisnya yang tebal, kulit putih pria itu yang lebih putih dari kebanyakan pria yang lainnya. Bahkan bibir merah pria itu, membuat Aurora kesulitan untuk menelan salivanya. Bibir tipis semerah delima itu begitu menggoda. Dia yang seorang wanita saja tidak memiliki bibir seindah itu. Sungguh takdir yang benar-benar tidak adil, pria itu memiliki segalanya yang mendekati sempurna. Sementara pria itu hanya tersenyum manis seperti biasanya. Sangat manis melebihi manisnya madu hingga membuat hati gadis itu rasanya meleleh seketika hanya dengan melihat senyumannya. Usahanya untuk menenangkan jantung di dalam dadanya sia-sia saja. Semuanya menjadi kacau karena kecerobohan yang membuat ia jatuh. Karena kini jantungnya bahkan berdetak lebih kencang dan lebih keras. Wajahnya juga, sudah pasti merah padam dan terasa sangat panas. "Maafkan aku!" Aurora buru-buru bangkit dari tubuh pria itu dan disusul oleh Kai. Aurora sibuk membersihkan gaunnya dengan kedua tangan. Mengibaskannya agar rerumputan yang menempel di tubuhnya menghilang. Sedangkan pria itu? Hanya dengan mengibaskan kipas kecilnya itu semua dedaunan dan debu yang menempel di tubuhnya lenyap seketika. Aurora yang melihat hanya bisa berdecak kesal. Ia merasa sangat iri. Apa yang tidak pria itu punyai, dan apa yang tidak bisa pria itu lakukan. "Mau pulang sekarang?" tanya pria itu. "Tentu saja, mau," jawab gadis itu seraya mengerucutkan bibir. "Baiklah, mari kita pergi." Kai mengulurkan tangannya, meminta agar Aurora menyambutnya. Tangan gadis itu terulur dan dengan erat memeganginya. "Cukup pegang tanganku, tidak perlu menutup mata dan jangan takut," ucap Kai. "Lalu pelukan tadi?" Mata Aurora membulat sempurna. Sewaktu mereka pergi, pria itu menyuruhnya memejamkan mata. Pria itu juga memeluknya dengan begitu erat. "Yah, yang tadi anggap saja kita sedang belajar. Aku hanya tidak ingin Kamu terkejut saat aku tiba-tiba mengajakmu terbang," ucap Kai tanpa rasa bersalah. "Apa?" Belum selesai gadis itu bertanya, Kai mulai membawanya melayang tinggi. "Kyaaa!" teriak Aurora dengan suara yang keras dan melengking saat merasakan tubuhnya melayang di udara. Gadis itu dengan cepat memejamkan matanya dan memeluk tubuh kekar pria itu. "Aku tidak mau membuka mata. Lebih baik aku begini saja. Aku tidak peduli," ucapnya seraya mengeratkan pelukannya di tubuh Kai. "Hei! Jangan takut begitu. Tidak apa-apa, ini justru sangat menyenangkan," ucap pria itu menenangkan Aurora. "Kamu bisa melihat pemandangan sekitar yang sangat indah. Melihat kawanan burung yang terbang bebas di angkasa. Juga birunya langit yang luasnya tak terbatas." "Tidak mau! Aku bilang tidak mau! Aku tidak peduli dengan semua itu. Aku takut! Biarkan aku memejamkan mata. Aku mohon jangan lepaskan aku!" pinta gadis itu. Kai tersenyum geli, ternyata gadis berhati lembut ini sungguh penakut. Timbul ide jahil di dalam hatinya. "Iya, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi ada syaratnya ...." "Syarat apa pun itu, aku akan menyanggupinya. Asal aku bisa sampai di Nirvana dengan selamat," respons Aurora cepat tanpa membuka mata. "Baiklah, aku tidak akan melepaskanmu. Asalkan Kamu tidak menolak, meski aku mengajakmu ke mana pun," ucap Kai memberi syarat. "Apa pun itu, aku akan menurutimu. Aku tidak akan lagi membantahmu," ucap Aurora dengan tubuh yang gemetar. Kai jadi merasa bersalah melihat gadis itu sangat ketakutan. Jika ia tahu gadis itu takut ketinggian, mungkin ia akan tetap meminta Aurora menutup mata selama perjalanan mereka kembali ke Nirvana. "Tenanglah, Aurora! Ada aku di sini yang menjagamu. Aku tidak akan membiarkanmu terjatuh. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku pastikan kita akan sampai dengan selamat. Jadi, aku mohon ... tenanglah!" Pria itu melingkarkan kedua tangannya memeluk tubuh gadis itu. Sesekali menepuknya perlahan agar Aurora bisa lebih tenang dan nyaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD