"Aku mau pulang saja! Cepat antarkan aku!" Aurora masih belum mau menatap wajah pria itu.
"Ayolah! Aku kan sudah minta maaf. Maafkan aku, yah?" rayu pria itu. Aurora tampak berpikir. "Begini, akan sangat sayang jika Kamu pergi tanpa memakan buah ini."
"Tidak bisakah aku membawanya pulang ke rumah?" tawar gadis itu.
Pria itu menggeleng. "Jika Kamu membawanya pulang ke Nirvana, Kamu akan mendapatkan masalah besar."
"Masalah? Masalah apa?" tanya gadis itu penasaran.
"Ck! Apa Kamu pikir lazim jika ada buah mangga sebesar ini? Tidak kan?"
Dalam hati, Aurora membenarkan kalimat Kai. Bisa geger dunia Nirvana jika ia pulang dengan membawa buah mangga yang berukuran tidak lazim itu.
"Aku pikir, aku akan memakannya bersama para saudariku. Mereka pasti sangat menyukainya," ucapnya dengan mimik wajah yang sedih.
Entah terbuat dari apa hatimu itu, mengapa Kamu selalu memikirkan saudara-saudaramu yang tidak tahu diri itu? Tidak bisakah Kamu mementingkan kebahagiaanmu sekali ... saja, batin Kai kesal.
"Maafkan aku, kali ini aku bersungguh-sungguh. Kita tidak bisa membawa pulang apa pun dari taman Indraloka ini," ucap Kai memberi pengertian.
"Baiklah, lebih baik aku letakkan kembali dan pulang. Aku tidak akan makan tanpa para saudariku," ucap Aurora seraya meletakkan buah besar itu di atas tanah. "Tolong, antarkan aku pulang!"
"Kamu tidak bisa pergi sebelum Kamu memakan buah ini," ucap pria itu.
"Kenapa memaksaku? Aku sudah bilang, tidak mau makan tanpa para saudaraku," kukuh gadis itu menolak.
"Lihatlah!" Kai menunjuk pada pohon merambat, pohon dari mana buah itu berasal.
Pohon itu seolah memiliki ekspresi seperti manusia. Terlihat sangat sedih dan mengeluarkan air mata layaknya menangis. Bukan itu saja, daun-daunnya ikut mengering layu hanya karena mendengar perkataannya.
"Kenapa bisa begini?" Aurora merasa sangat bersalah.
"Karena Kamu bilang tidak mau memakan buah setelah memetiknya. Dia selalu begitu, merasa tak berguna jika ada yang tidak menginginkannya," ucap Kai.
"Benarkah? Jadi, aku yang bersalah karena telah menyakiti hatinya?" Gadis itu lantas mengambil buah itu kembali, membawa ke pelukannya. Lantas ia menghampiri sang pohon dan meminta maaf. "Maafkan aku, aku hanya ingin makan dengan saudariku."
Pohon itu semakin banyak mengeluarkan air mata. Daunnya semakin kering dan sebagian berguguran membuat Aurora seketika menjadi panik.
"Baiklah, aku akan memakan buahmu ini. Tapi, tolong berhentilah menangis. Aku akan memakannya jadi jangan bersedih lagi," ucap Aurora.
Seketika air mata pohon itu berhenti mengalir, perlahan daun-daunnya berhenti berguguran dan menghijau kembali.
"Kamu sudah lihat sendiri, kan? Aku tidak bohong," ucap Kai seraya melipat kedua tangan di depan d**a.
"Baiklah, aku akan memakan buah ini bersamamu, puas?" Gadis itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Kai. "Sekarang pertanyaan terpentingnya, bagaimana kita mengupas dan memotongnya sedangkan kita tidak membawa benda tajam apa pun."
"Ini!" Pria itu mengangkat kipas kertas kecil miliknya, menunjukkan pada Aurora jika benda itu bisa mereka gunakan.
"Jangan bercanda! Mana mungkin kita memakai benda itu untuk memotong buah ini," ucap Aurora yang sedikit kewalahan membawa buah besar dan berat itu.
"Kemarikan! Berikan padaku!" Kai meminta buah itu dari tangan Aurora.
Pria itu lantas melempar buah ke udara. Dengan gerakan yang sangat cepat, hampir tak tertangkap indera penglihatan Aurora, pria itu menggerakkan kipas kecil di tangannya. Beberapa detik kemudian pria itu sudah membawa keranjang rotan berisi potongan buah yang sangat banyak. Sungguh, hal itu membuat Aurora begitu takjub dan hampir tidak bisa percaya. Entah dari mana pula, Kai mendapatkan sebuah keranjang rotan.
"Wah, bagaimana Kamu bisa melakukannya?" puji Aurora dengan penuh rasa kagum.
"Apa Kamu tertarik untuk mempelajarinya? Aku akan mengajarimu ilmu bela diri kalau Kamu mau," ucap Kai.
"Benarkah boleh? Tapi ... aku selalu sibuk. Jadi kapan aku bisa belajar ilmu bela diri padamu?" sungut gadis itu sedih.
"Kamu meremehkan aku? Kita bisa melakukannya kapan saja. Lihatlah! Saat ini pun aku bahkan bisa membawamu pergi dari tempat itu," ucap Kai dengan bangga.
"Benar juga. Meskipun Kamu menyebalkan, aku akui kehebatanmu." Aurora mengejek sekaligus memuji pria itu dalam waktu bersamaan.
"Apa? Berani-beraninya ...."
"Eh, ayo kita makan buahnya. Aku harus segera kembali ke Nirvana," ucap Aurora sengaja mengalihkan pembicaraan agar pria itu tidak marah padanya.
Kai lagi-lagi tersenyum lebar karena gadis itu begitu pandai mengelak dari kemarahannya. Meskipun pada kenyataannya, ia tidak akan bisa marah pada Aurora.
"Baiklah, mari kita makan."
Mereka berdua duduk di hamparan rumput hijau yang lebih mirip seperti permadani.
"Ambillah! Makan sepuas hatimu!" ucap pria itu seraya mencomot sepotong buah dan melahapnya.
"Ayo! Makanlah!" perintah pria itu karena Aurora tak juga memakan buah itu.
"Aku tak biasa makan tanpa saudaraku. Aku juga tak biasa makan sebelum mereka makan," ucap gadis itu sedih.
Kai berdecak kesal melihat kepolosan gadis itu. Entah mengapa kali ini, ia ingin sekali menceburkan Aurora ke dasar sungai dan mencuci otak gadis itu agar tidak mudah dibodohi lagi.
"Ck! Kumohon, berhentilah memikirkan saudaramu itu. Kamu harus terbiasa makan sendiri atau bersama orang selain keluargamu. Bagaimana Kamu bisa hidup di istana jika Kamu terus seperti ini?" tanya Kai penuh emosi.
"Hidup di istana? Untuk apa aku hidup di Istana?" Gadis itu mengernyitkan kening, tidak mengerti.
"Dasar gadis bodoh!" Kai menjentikkan jari memukul kening gadis itu.
"Aw!" erang Aurora seraya mengusap keningnya yang memerah. Bibirnya mengerucut kesal karena perbuatan pria itu padanya.
"Tentu saja untuk menjadi dayang istana. Karena aku kesal padamu, aku ingin menjualmu agar Kamu bekerja menjadi pelayan istana dan menghasilkan uang untukku."
Aurora membulatkan matanya tidak percaya. "Enak saja! Aku tidak mau menjadi pelayan atau dayang istana!"
"Kalau tidak mau, makanlah dengan tenang. Atau Kamu mau menginap di sini karena sifat keras kepalamu itu?" Pertanyaan pria itu lebih terdengar seperti sebuah ancaman.
"Baik, baik. Aku akan makan." Dengan ragu-ragu, akhirnya Aurora mengambil sepotong dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Setelah mengunyah buah itu, mata gadis itu membulat sempurna. Matanya berbinar dan wajahnya berseri-seri. "Ya ampun, ternyata buah ini sangat lezat."
"Aku sudah bilang, ini adalah buah terenak di dunia. Hanya saja, Kamu tidak pernah percaya," ucap Kai.
"Maafkan aku, aku terus curiga kepadamu," ucap Aurora dengan wajah yang tersipu. "Bagaimanapun Kamu adalah orang asing, sudah seharusnya aku bersikap waspada, bukan?"
"Gadis pintar! Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Sekarang makanlah, lalu kita pulang," ucap Kai.
Gadis itu mengangguk dan terlihat sangat bahagia. Hanya mendengar kata pulang saja, seolah mendapatkan sesuatu yang sangat menakjubkan.
Kai semakin tertarik dengan Aurora. Betapa baik hati gadis itu. Betapa polos gadis itu. Gadis dengan cara pikir yang sederhana itu, Kai yakini adalah gadis dengan hati yang murni seperti yang ia inginkan.