"Hiro!" panggil seorang wanita dengan pakaian seksi dan bibir merah menyala. Wanita itu duduk di ruang tunggu yang berada di lobi kantor Hiro. Begitu mengetahui Hiro yang sedang memasuki lobi kantornya, wanita itu segera berdiri, berjalan tergesa menghampiri pria itu.
Sementara Hiro, lelaki itu begitu mendengar panggilan yang sangat familiar di telinganya, menghentikan langkah lalu menoleh menatap wanita itu dengan pandangan biasa saja.
"Dari mana saja kau?" tanya wanita itu lagi dengan nada sedikit kesal. Pasalnya dia sudah menunggu berjam-jam. Akan tetapi yang ditunggu tak kunjung datang.
"Ada apa kau datang ke sini?" Hiro justru ganti bertanya.
"Pertanyaanku belum kau jawab. Dari mana saja kau, Hiro?"
"Aku ada urusan, Ai," jawab Hiro malas. Lalu lelaki itu meninggalkan wanita bernama Aiko begitu saja.
"Hiro! Tunggu!" Aiko membuntuti Hiro yang tak menghiraukannya. Sungguh, Aiko merasa kesal dengan sikap Hiro kepadanya. Padahal wanita itu sudah meluangkan waktunya demi bisa bertemu dengan Hiro, lelaki yang ia cinta. Namun, lihatlah apa yang dilakukan Hiro kepadanya. Sudah capek-capek Aiko menunggu, justru ia merasa diacuhkan oleh pria yang merupakan teman dekatnya.
Hiro membuka pintu ruang kerjanya, sebelum masuk pria itu menoleh ke samping tepatnya di mana sekretarisnya berada.
"May, apa saja jadwalku hari ini?" tanya Hiro pada sekretasrisnya.
"Jadwal Tuan Hiro hari ini lumayan padat. Nanti jam sepuluh ada meeting dengan klien dari Singapura. Lalu ada undangan makan siang dari Mars Corporation. Jam dua siang Anda ada jadwal kunjungan di proyek kita yang baru. Dan malamnya ...."
May belum selesai membacakan semua agenda Hiro, tapi atasannya itu segera menyela, "Cukup May! Terima kasih."
Lalu Hiro masuk ke dalam ruangan kerjanya diikuti oleh Aiko yang menghentakkan kaki kesal dan kini wanita itu justru sudah menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Hiro masih tak menghiraukan Aiko, memilih membuka laptopnya dan mulai serius dengan pekerjaannya.
"Hiro! sampai kapan kau akan terus sibuk dengan pekerjaanmu itu dan tak pernah menghiraukanku!" protes Aiko karena selama ini yang Aiko tahu Hiro selalu saja gila kerja.
Wanita itu untuk bisa membawa Hiro sekedar pergi jalan-jalan atau makan di luar harus rela mengantri dengan pekerjaan Hiro yang tak ada habisnya.
"Ai, jika kau terus saja merecokiku lebih baik kau pulang saja. Aku pusing tiap kali mendengar ocehanmu itu."
"Kau!" tuding Aiko tak terima akan ucapan Hiro.
"Kau mengusirku? Setelah sekian lama aku menunggu kedatanganmu dan sekarang kau tega mengusirku. Sungguh keterlaluan sekali kau, Hiro." Kekesalan jelas tersirat di wajah cantik wanita berdarah Jepang itu. Ya, Aiko merupakan keturunan Indo-Jepang. Ibunya asli Indonesia sementara ayahnya adalah lelaki berdarah Jepang. Sama seperti halnya Hiro. Yang membedakan adalah, Papa Hiro adalah orang Indonesia sementara mamanya yang asli dari Jepang.
Dengan muka merah padam karena amarah, Aiko beranjak dari sofa, menyambar handbag miliknya dan menghentakkan kaki keluar dari ruangan Hiro. Bahkan pintu yang tidak memiliki kesalahan itu dibanting Aiko dengan cukup kencang. Membuat May terlonjak kaget dengan ulah wanita dekat sang atasan.
Tanpa peduli dengan tatapan May, Aiko meninggalkan ruangan Hiro dengan wajah kekesalan yang luar biasa.
Sebenarnya Aiko sudah cukup lelah dengan hubungan tak jelasnya bersama Hiro. Sudah lima tahun lamanya dia mengejar cinta pria berdarah Jepang yang dijodohkan dengannya. Dan hingga detik ini bahkan Hiro tak pernah sedikitpun membicarakan mengenai rencana hubungan mereka ke depannya akan seperti apa. Aiko tahu jika dalam hal ini dia yang terlalu mengejar-ngejar Hiro. Hanya karena sebuah kata perjodohan, membuat Aiko berani berharap lebih pada Hiro. Namun, siapa sangka jika sampai lima tahun lamanya tak pernah ada kepastian akan hubungan yang selama ini ia inginkan. Aiko tahu jika Hiro adalah lelaki dingin dan arogan, akan tetapi dia terlanjur jatuh hati padanya. Dan lagi hanya Hiro lah satu-satunya lelaki yang begitu memahaminya. Salah satunya adalah mengenai profesi Aiko sebagai seorang model. Selama ini setiap Aiko menjalin kasih selalu berakhir dengan perpisahan dengan alasan klise yaitu kekasihnya selalu protes dengan semua aktifitasnya yang terkadang tak kenal waktu hingga selalu saja berakhir dengan perpisahan. Dan semenjak menjalin kedekatan dengan Hiro, lelaki itu tak pernah mempermasalahkan profesinya. Justru Hiro seolah mendukung semua yang Aiko lakukan.
Padahal di balik semua itu, Aiko tidak pernah menyadari jika Hiro seperti itu karena dia memang tak pernah ambil pusing atau peduli padanya. Hiro terlalu fokus pada urusannya sendiri sehingga apa saja yang Aiko lakukan hanya diiyakan saja oleh Hiro. Lagi pula menurut Hiro kedekatan hubungan mereka berdua tak lebih dari sekedar teman meski ia tak memungkiri jika kakek telah menjodohkan dia dengan Aiko. Karena tidak mau ribut dengan Aiko, jalan satu-satunya adalah membiarkan wanita itu sesuka dan semau hatinya. Aiko menyalah artikan semua sikap Hiro selama ini. Bagi Aiko, Hiro selalu mendukung karirnya.
Hiro, dia tak ada niat lebih dengan hubungannya bersama Aiko. Terlalu enggan menjalin hubungan lebih erat lagi. Cukup dengan perjodohan yang dipaksakan oleh kakeknya beberapa tahun lalu sebelum kakeknya berangkat dan menetap di Jepang.
Jika tidak demi kakeknya mungkin Hiro akan memilih menolak perjodohannya dengan Aiko. Namun, karena begitu sayangnya Hiro pada sang kakek, lelaki itu berusaha dan mencoba menjalin hubungan baik dengan Aiko. Nyatanya hingga detik ini hubungannya bersama Aiko tetap biasa-biasa saja dan begitu hambar.
Lihatlah bagaimana kelakuan dan tingkah wanita itu, sekian lama tak pernah bertemu karena Aiko sendiri pun juga sibuk dengan dunia modelingnya, dan sekarang begitu dia datang ke kantornya, menuntut jawaban dengan semua apa yang telah Hiro lakukan. Termasuk bertanya dengan tajam dari mana saja Hiro hingga baru datang. Hiro ini banyak sekali yang harus dikerjakan dan tak mungkin satu persatu dia laporkan pada Aiko.
Huft, Hiro menghela napas berat setelah kepergian Aiko dari ruang kerjanya. Wanita itu dengan seenaknya datang dan pergi ke kantornya. Jika ingin bertemu dengannya, seharusnya Aiko bisa menelepon terlebih dahulu atau mengabarinya, bukan dengan tiba- tiba datang ke kantor disertai dengan amarah. Sungguh Hiro sudah lelah menghadapi Aiko. Apalagi tingkah yang kekanak-kanakan wanita itu, membuat Hiro frustasi.
Sakura, mengingat nama itu ditengah dia sedang mengeluh akan kelakuan Aiko. Bagaimana bisa begini? Hiro sungguh tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Memikirkan mengenai rencana pernikahannya kelak dengan Sakura membuat Hiro kembali berpikir, bagaimana seandainya kelak Aiko tahu jika dia menikahi wanita lain.
Hiro mengusap wajahnya, hidupnya semakin rumit saja. Belum selesai mengenai Aiko, lalu kesalahannya pada Pak Umar, dan sekarang ditambah keinginan gilanya menikahi gadis remaja. Akan seperti hidupnya ke depan. Hiro tak tahu. Hanya bisa berharap agar semua berjalan sesuai prediksi dan rencananya. Karena tak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang ini.