2. Hal Terberat Setelah Menjadi Istri

1070 Words
Safia tidak mengerti kehidupan pernikahan seperti apa yang akan dia jalani nanti. Tinggal di rumah mertua, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari suaminya. Ia geleng-gelengkan kepalanya. Ini sungguh bukan pernikahan yang Safia impikan. Andai Wila yang menikah dengan Arya, apakah sahabatnya itu akan mendapat perlakuan yang sama seperti dirinya? Tinggal menumpang, yang mana di rumah sang mertua tak ada pembantu sehingga seluruh pekerjaan rumah dia yang harus menghandelnya. Perempuan itu menatap nanar pada mobil Arya yang telah menjauh, meninggalkan dia yang masih terpaku di depan pagar rumah. Mendesah frustasi karena Arya tak mau berbaik hati untuk sekedar memberinya tumpangan pergi kerja. Padahal mereka bekerja di perusahaan dan dalam satu kantor yang sama. Dengan terpaksa Safia memesan ojek online. Semoga saja tidak akan terlambat nantinya mengingat waktu yang sudah sangat mepet dengan jam masuk kantor. Nyatanya, apa yang Safia harapkan tidak terwujud karena begitu langkah kakinya menginjak lantai kantor, dia sudah terlambat hampir tiga puluh menit lamanya. Alamat Safia harus siap-siap mendapat surat peringatan dari atasannya. Dengan terburu-buru bahkan wanita itu sedikit berlari untuk dapat sampai di lift yang akan membawanya menuju ruang kerjanya berada. Mengabaikan tatapan penuh tanya dari beberapa karyawan yang dilaluinya. Safia sungguhan tidak perduli dengan itu semua. Bruk! Menabrak seseorang hingga tubuhnya terpental ke belakang. Sedikit limbung dan hampir saja terjungkal jika dia tidak gegas berpegangan pada apa saja yang dapat ia jangkau. Lengan kekar yang menyelamatkan dia karena Safia refleks memeluknya untuk dapat menahan beban tubuhnya hingga mampu berdiri tegak kembali. "Siapa yang mengijinkan kamu menyentuhku?" tanya dengan nada tajam, yang membuat Safia buru-buru melepas pegangan tangannya. Sungguh, dia tidak sengaja dan siapa sangka jika pria yang dia tabrak adalah Arya Mahendra. "Maaf, Mas. Aku nggak sengaja." Mata Arya mendelik tidak suka. "Saya atasan kamu. Yang sopan kamu memanggil saya!" Safia menelan ludah gugup. Dia lupa jika Arya memang atasan yang terkenal galak di kantornya. Wanita itu menundukkan kepalanya. "Maaf, Pak." Hampir saja Arya mengomeli Safia lagi didepan banyak karyawan yang saat ini sedang berkasak kusuk membicarakan mereka, jika tidak disela oleh kedatangan seseorang yang menegurnya. "Arya! Ternyata kamu masih di sini? Kupikir sudah berangkat duluan," ucap perempuan berbaju formal sembari memperhatikan Safia yang masih menundukkan kepalanya. "Bukankah ini perempuan yang kamu nikahi kemarin, Ya?" "Hem." "Kamu mau berangkat sekarang atau masih ingin ngobrol dengan istrimu?" Arya bersama rekan perempuannya itu memang akan menghadiri meeting di luar kantor. Dengan malas Arya menjawab. "Nggak penting ngobrol sama dia. Ayo!" Dan Arya berlalu pergi begitu saja yang kemudian diikuti oleh si wanita setelah sebelumnya memandang remeh pada Safia. Diabaikan sedemikian rupa oleh Arya, ada rasa sakit yang Safia rasakan. Menghela napas panjang, Safia gegas menuju ruang kerjanya begitu mengingat dia sudah sangat terlambat. ••• Sudah badan lelah seharian bekerja, sampai rumah melihat penampakan di setiap sudut ruangan seperti kapal pecah. Belum lagi bekas makanan yang berserak. Kepala Safia pening seketika. Bukannya langsung beres-beres Safia sengaja mengacuhkan karena jujur dia ingin beristirahat barang sebentar saja. Namun, baru juga kakinya melangkah hendak masuk kamar, sang mertua tiba-tiba muncul entah dari mana. Sampai-sampai membuat Safia berjingkat akan teriakannya. "Safia! Mau ke mana kamu?" Safia memutar badan. Berhadap-hadapan dengan sosok wanita yang berkacak pinggang sembari menatap tajam padanya. "Mau ke kamar, Ma," jawab Safia jujur. "Dari mana saja kamu? Pulang kerja malah keluyuran," tuduh Bu Neni, yang tak lain mama mertuanya. "Saya tidak keluyuran, Ma. Saya dari kantor langsung pulang." "Kamu pikir saya percaya? Arya saja sudah sejak tadi sampai rumah. Lalu kamu? Lihat! Sudah jam berapa sekarang?" Safia sudah membuka mulutnya untuk menjawab ketika sang mertua malah mengangkat tangan kanannya sebagai bentuk tidak ingin diprotes dengan alasan apapun juga. "Sudah jangan buat alasan yang macam-macam. Sekarang kamu bersihkan semua. Mama nggak akan bisa tidur sebelum rumah bersih dan rapi. Buruan kerjakan dan jangan banyak protes. Kamu mau menikah dengan Arya dan tinggal menumpang di rumah ini, harus tahu konsekuensinya apa." "Tapi, Ma, saya mau man___" Safia belum menyelesaikan ucapannya ketika Bu Neni dengan kasar menarik tangannya hingga tubuh Safia oleng. Hampir menabrak pinggiran meja jika dia tidak menghindar. "Kamu ini sama orang tua bisa-bisanya malah ngelawan!" Satu buah sapu terlempar, Safia lagi-lagi menghindar hingga benda itu jatuh di atas lantai dam menimbulkan suara benturan. Safia memejamkan mata. Tidak ingin membuat kegaduhan. Mengalah dan mengambil sapu tersebut. Satu per satu sampah bekas makanan dia kumpulkan, pun halnya piring serta mangkok kotor dia tumpuk menjadi satu. Bu Neni tersenyum sinis, tepat di saat Arya keluar dari dalam kamar. Pria itu mendengar kegaduhan yang tercipta di luar kamar. Hanya menatap sekilas pada Safia yang sedang berjongkok mengumpulkan sampah-sampah. "Mau ke mana kamu, Ya? Kenapa sudah rapi saja?" tanya Bu Neni menelisik penampilan putranya dari atas ke bawah. "Keluar dengan teman," jawab Arya bohong karena sebenarnya pria itu hanya Ingin menenangkan dirinya. Berada di dekat Safia, bawaannya hanya emosi dan ingin marah saja. Jadi lebih baik dia menghindari wanita itu. Bahkan Arya tak perduli mau mamanya memperlakukan Safia seperti apapun juga. Melirik pada Safia, yang sialnya wanita itu juga sedang menatap padanya. Sorot mata sendu Safia yang mengisyaratkan bahwa dia membutuhkan bantuan, setidaknya agar Arya mau menegur mamanya yang sudah keterlaluan dirasakan oleh Safia. Namun, Arya lagi-lagi memilih abai. Melengos membuang pandangan, sebelum pada akhirnya pergi meninggalkan rumah. Mengabaikan Safia yang mendengus frustasi. "Kapan selesainya kalau kamu malah bengong begitu!" hardik Bu Neni tak habis pikir dengan menantunya yang lelet ini. Sengaja Bu Neni tidak memanggil orang suruhan yang biasa beliau pekerjakan untuk membantu bersih-bersih rumah. Apalagi setelah ada acara di rumahnya seperti tadi. Arisan sekaligus syukuran atas pernikahan Arya. Meski sebenarnya Bu Neni tidak bersyukur karena menantu yang beliau dapat tidak sesuai dengan keinginan. Safia mengangkat tumpukan piring kotor yang akan dia cuci. Naas kakinya malah tersandung karpet hingga membuatnya limbung dan beberapa piring di tumpukan teratas jatuh, pecah berserakan di atas lantai. Mata Safia membulat sempurna. Terkejut sekaligus takut mendapat kemarahan dari sang mertua. "Safia! Lancang kamu memecahkan barang-barang berharga di rumah ini!" Dengan lantang Bu Neni sudah meneriakinya. Memejamkan matanya sejenak. Safia langsung kena mental berhadapan dengan mertuanya yang tidak hanya cerewet tapi juga kasar dan suka marah-marah. Tak ada perlawanan yang Safia berikan. Akan tetapi, ucapan kasar masih juga wanita tua itu dengungkan. "Dasar perempuan pembawa sial! Baru dua hari berada di rumah ini sudah membuat masalah kamu! Tidak hanya pernikahan Arya yang kamu hancurkan. Tapi juga rumah ini. Buruan bereskan semua kekacauan yang kamu buat. Dan ingat! Ganti rugi semua yang sudah kamu pecahkan. Ingat baik-baik Safia!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD