3. Menghadapi Suami Dan Mertua

1057 Words
Tudingan jari telunjuk di depan wajahnya yang disertai dengan caci maki dengan kata-kata kasar sang mertua beberapa jam yang lalu, masih membekas di ingatan Safia. Mereka baru saling mengenal pasca tragedi kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya Wila, lalu berakhir dia harus menjadi menantunya. Akan tetapi, Bu Neni terlalu semena-mena sampai dia harus mendapatkan perlakuan buruk dari mertuanya itu. Safia mendesah lelah kala dia teringat dengan mendiang ibunya. Sejak kecil, Safia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Bahkan di saat membuat kesalahan seperti memecahkan atau tanpa sengaja merusakkan barang-barang di rumah, maka mamanya akan lebih memprioritaskan keselamatan dirinya. Yang penting adalah tidak ada yang membuat tubuhnya terluka. Perkara barang-barang tersebut masih bisa dibeli lagi. Wanita itu mendongak, menatap pada jam yang menempel di salah satu dinding kamar. Sudah lewat tengah malam dan Arya belum pulang. Ada rasa cemas dan tidak tenang Safia memikirkannya. Namun, mengingat Arya yang sama sekali tidak perduli padanya, Safia gelengkan kepalanya. Tidak mau terlalu ambil pusing dengan keberadaan Arya karena sepertinya tidur adalah pilihan yang tepat untuk dia lakukan sekarang. Dan mungkin belum ada satu jam Safia memejamkan mata ketika mendengar suara pintu kamar yang terbuka, disertai dengan lesakan kasur di sampingnya yang membuat tidur Safia terganggu. Memaksa matanya untuk terbuka. Sudah dapat Safia tebak jika seseorang yang sudah berbaring di sampingnya adalah Arya. Safia mengembuskan napas panjang. Memberanikan diri melirik pada Arya yang tidur dalam posisi tengkurap. Bahkan pria itu sempat mengigau dengan menyebut-nyebut nama Wila. Ada rasa sesal dan bersalah. Kenapa juga dia harus mengikuti permintaan terakhir Willa untuk menikah dengan Arya jika pada kenyataannya Arya belum bisa move on dari sahabatnya itu. Tidak ingin lama-lama memandangi wajah Arya karena Safia takut semakin jatuh cinta pada suaminya, wanita itu pun memutuskan kembali tidur miring membelakangi Arya. Memejamkan mata dan karena rasa lelah yang melanda tak butuh waktu lama bagi Safia untuk tidur dengan lelapnya. ••• Pagi hari, Arya yang terburu-buru karena sudah hampir telat berangkat ke kantor sebab bangun kesiangan. Mendelik tajam pada Safia yang tak tahu akan apa kesalahannya. "Kenapa kamu tidak membangunkanku tadi?!" Suara melengking Arya, membuat Safia ciut nyali. Bahkan untuk mendongak saja tak berani. "Maaf, Mas. Aku tidak berani mengganggu tidur Mas Arya." Brak! Satu hentakan di atas meja, membuat Safia terjengit kaget hingga menundukkan kepalanya. "Dasar istri nggak guna!" Mengatakan itu lalu berbalik badan meninggalkan ruang makan. Tidak ada nafsu untuk sarapan. Mengabaikan perutnya yang keroncongan karena belum terisi makanan. Safia mendongak menatap punggung Arya yang menjauh meninggalkan ruang makan. Menghela napas panjang karena setiap apa yang dilakukannya tidak ada yang benar di mata Arya. "Lagian kamu ini jadi istri nggak becus. Rugi dong Arya nikahin kamu," ucap Bu Neni semakin menyesakkan dadaa Safia. Rasanya tidak kuat jika harus makan bersama dengan sang mama mertua yang jika berucap selalu pedas terdengar di telinga. "Aku berangkat dulu, Ma." Bu Neni tak menjawab bahkan tak merespon ketika Safia mengulurkan tangan untuk berpamitan. Wanita itu sibuk mengunyah dan menikmati sarapan. Safia tarik kembali tangannya. Mengucap salam lalu pergi meninggalkan rumah. Untuk kesekian kalinya Safia terlambat sampai kantor. Jarak rumah sang mertua dengan kantor memang cukup jauh. Belum lagi Safia yang tak bisa berangkat lebih pagi lantaran ada saja yang Bu Neni perintahkan padanya sehingga menghalangi niat Safia yang ingin segera berangkat kerja. Ditambah pagi ini Safia juga harus mampir dulu membeli sarapan di warung tenda pinggir jalan. Mengingat tadi di rumah tidak sempat makan jadinya Safia takut kelaparan. Sehingga perjalanan yang ditempuh dengan menaiki ojek online, tidak bisa membuatnya cepat sampai kantor. ••• Arya telah bersiap untuk pergi meeting ketika kedatangan seorang office boy mengejutkannya. "Selamat pagi Pak Arya." "Ya, ada apa?" Office boy tersebut mengulurkan sebuah kantong berisikan makanan pada Arya. "Ini Pak, tadi ada titipan dari Mbak Safia. Katanya dimintai untuk diantar ke ruangan Pak Arya." Kening Arya mengernyit. Apalagi yang diperbuat oleh wanita itu. Arya menarik bungkus makanan lalu mengecek isinya. Menggeram kesal dengan rahang yang mengetat, memanggil kembali office boy yang hendak meninggalkan ruangannya. "Bawa lagi saja makanan itu. Terserah mau kamu buang atau kamu makan. Saya tidak perduli." Kening sang office boy mengernyit keheranan. "Tapi, Pak kata Mbak Safia, Pak Arya belum makan jadi ...." "Saya tidak butuh makanan itu. Bawa lagi saja atau biar saya buang." Arya sudah mengangkat kantong plastik tersebut. Hampir saja melemparkannya ke dalam tong sampah jika tidak cepat dicegah oleh si office boy. "Jangan dibuang, Pak. Biar saya kembalikan ke Mbak Safia saja." "Dari tadi kek. Buang-buang waktuku saja." Arya melempar makanan tersebut ke atas meja. Membernarkan kemejanya, kemudian berlalu meninggalkan ruang kerjanya. Mengabaikan sang office boy yang memungut kembali makanan tersebut dari atas meja kerja Arya dengan kepala menggeleng-geleng. Tidak mengerti kenapa Manager yang begitu disegani di kantor ini bisa bersikap kasar juga pada Safia yang jelas-jelas adalah istrinya. Iya, status Safia di kantor ini memang bukan menjadi rahasia lagi. Status pernikahannya tentu saja diketahui banyak orang karena Safia menggantikan Wila menjadi mempelai wanita untuk Arya. "Mbak Safia, maaf. Ini makanan yang Mbak minta diberikan untuk Pak Arya saya kembalikan lagi dari pada dibuang. Pak Arya tidak mau terima, Mbak," ucap office boy tersebut sembari menundukkan kepalanya. Safia mengembuskan napas pasrah. Sudah menduga jika Arya tidak akan pernah mau menerima pemberiannya. Dia saja yang tadi nekat tetap membelikan makanan untuk suaminya. Safia mencoba untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan orang lain. "Tidak apa-apa, Udin. Kalau Mas Arya nggak mau ... kamu ambil saja. Makanan ini halal kok. Jangan khawatir." Udin mendongakkan kepalanya, "Eh, tapi saya jadi tidak enak, Mbak." "Tidak apa-apa. Daripada dibuang mubazir, kan? Kalau kamu mau, ambil saja. Asalkan jangan dibuang, ya?" "Iya, Mbak. Terima kasih dan maaf jika saya tidak becus menyampaikan amanat Mbak pada Pak Arya." "Nggak apa-apa, Din. Jangan merasa nggak enak hati begitu. Mas Arya nya saja yang tidak mau." "Iya Mbak. Kalau begitu saya permisi dulu. Terima kasih untuk makanannya." Sepeninggalan Udin, Safia menghela napas panjang. Kebaikan apapun yang dia berikan pada Arya, tak pernah ada gunanya. Safia beranjak berdiri dari kursi kerjanya. Wanita itu ingin pergi ke toilet. Selain ingin membuang hajat juga ingin menenangkan sedikit hatinya yang berantakan karena penolakan Arya. Baru saja perempuan itu memasuki toilet khusus wanita, tiba-tiba dikejutkan dengan tarikan tangan seorang pria. Bahkan, kuatnya pria itu mendorongnya, hingga punggung membentur dinding. Mata Safia membulat, "Mas Arya," cicitnya kemudian sembari menelan ludah kesusahan melihat wajah mengeras yang disertai tatapan tajam lelaki di hadapannya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD