Lelaki sejati
Dapat dinilai dari bagaimana kau mempertanggung jawabkan ucapanmu...
☻☻☻☻☻
Kabar ta’aruf yang dilaksanakan Rasyid itu benar-benar seperti petir yang menyambar Dzakia disiang bolong. Sirna sudah harapan untuk dapat bersanding dengan lelaki yang namanya selalu ia sebut dalam tiap bait do’anya.
Harapan yang sempat kembali bersemai saat ia merasakan getaran hangat setiap kali menginjakkan kaki di mesjid tempat Rasyid biasa berkumpul yang menjadi penanda bahwa lelaki itu berada disana.
Sakit itu membuat hatinya koma. Berhari-hari wajah tak terukir senyum, kata tak mau terucap, langkah semakin gontai.
Babak dalam kehidupan perkuliahannya pun berlalu begitu saja. Panas euphoria dari seminar proposal maupun sidang mempertahankan judul skripsi yang membuat rekan-rekannya berlonjak kegirangan pun tak mampu membakar nama Rasyid Muhammad dari dalam hatinya. Dibibir ia berkata untuk melepaskan lelaki itu, tapi disudut hatinya lelaki itu masih duduk manis dan memenuhi relungnya.
Sahabat-sahabatnya yang mengetahui itupun sudah angkat tangan untuk memberitahunya. Pada akhirnya mereka mencoba untuk membiarkan gadis itu bermain dengan fikirannya.
Mempersilahkan kenyataan memberi tamparan keras untuknya, karena pukulan-pukulan kecil belum mampu menyadarkannya.
“Apalagi sih yang masih ditunggu Kia?” tanya Nisya ketika melihat sahabatnya itu tanpa sadar meneteskan air mata.
“Nunggu apa Sya?”
“Jangan bohongi dirimu sendiri Kia. Kau masih menunggu Rasyid kan? Kia, disini kau nangis, entah-entah disana Rasyid lagi ketawa sama istrinya Kia. Udahlah, lupain dia. Buka lembaran baru. Lihat, kau bahkan nggak nyadar kalau airmata mu itu ngalir, Kia!” repet Nisya.
“Ingat Kia, kau harus merelakannya kalau memang itu harus berakhir. Ingat, akhir sebuah kisah adalah pertanda bahwa akan ada kisah yang baru.” Sambungnya.
Dzakia refleks menghapus airmatanya. Dia masih belum bisa melepaskan Rasyid dengan sepenuh hati. Jiwanya masih saja menganggap semuanya mimpi.
Entah apa lagi yang diharapkannya dari seorang pria yang bahkan tak mampu untuk menepati janjinya. Tak ingatkah dia bahwa pria sejati itu terlihat dari bagaimana dia mempertanggungjawabkan ucapannya?
“Apa lagi yang Dzakia tangiskan? Karena dia nggak nepatin janjinya? Karena dia bohong? Kia, saat ini kamu hanya nggak sanggup nerima kenyataan bahwa dia udah nggak bisa kamu percaya lagi. Jadi jangan buang airmata mu. Ingat janji mu kemarin.” Alisha menambahi.
Dzakia yang tergugu. Dzakia yang terguncang. Dzakia yang membatu. Dzakia yang merasa terusir dari kedamaian hati. Ia pergi menjauh dari keramaian, mencoba menenangkan hatinya setelah sekian lama bergelut dengan kesibukan yang dirasakannya tak berarti, menyendiri.
Kemudian ia sampai pada satu titik. Disatu senja yang berselimut rinai hujan. Ia berbaring diatas rumput basah. Merebahkan kepalanya. Mengabaikan air yang perlahan membasahi wajahnya. Kemudian mulai membasahi jilbab ungu yang membungkus kepalanya. Membasahi gamis berwarna kelabu yang dikenakannya.
Matanya terpejam, hatinya bersenandung pilu. Kemudian senandung itu berubah menjadi syahdu tatkala ia ingat sebait lagu yang dulu disenandungkannya bersama Angga dan Satria.
Sabarlah menunggu janji Allah kan pasti
Hadir tuk datang menjemput hatimu
Sabarlah menanti usahlah ragu
Kekasih kan datang sesuai dengan iman dihati…
(Menanti disayup rindu-Maidany)
Kelopak matanya perlahan mengerjap. Tersadar bahwa hujan telah berhenti membasahi wajahnya. Dahinya berkerut, sinar mentari senja yang perlahan muncul menyilaukan matanya. Kemudian terdiam. Airmatanya mengalir tanpa sadar. Menatap takzim keindahan yang terhampar didepan matanya. Pelangi.
Ia tersadar bahwa sudah lama hidupnya ia masukkan kedalam kelamnya malam yang tanpa sinaran. Pelangi dengan sinar mentari senja yang menenangkan jiwa itu menyadarkannya bahwa hidup tidak sesingkat yang ia bayangkan. Pelangi setelah hujan.
Tak lama terdengar burung yang berkicauan. Seolah hendak mengatakan bahwa setelah hujan pasti akan muncul pelangi. Begitupun dengan hidupnya, selalu ada hikmah dibalik segala kesusahan hati.
Cinta sejati bukan percintaan antara dua insan yang berbeda, tapi percintaan antara seorang Hamba dengan Tuhannya, Pemilik Segala Cinta. Ketika sudah cinta disandarkan pada Sang Pemilik, maka tak perlu ada ragu, sakitpun tak kan terasa ketika cinta itu tak menjadi.
“Cukup sudah. Fase duduk dengan bersedekap lutut harus diakhiri. Tak ada lagi tangis. Dzakia kuat. Dzakia Salsabila Putri yang selalu kuat walau diterjang ombak dan tertabrak karang tetap akan tegar.” Dzakia tersenyum pada dirinya sendiri.
“Apa jadinya kalau yang tadi itu dibuat jadi nama profil yah??” tanyanya geli menyadari kalimat terakhir yang diucapkannya.
Ia bangkit. Sejenak membersihkan bajunya. Berjalan kembali. Menuju Meilla tempat ia menginap. Mempersiapkan segala keperluan untuk kembali pulang. Pulang dengan jati diri baru. Dzakia yang baru. Dzakia yang putih.
☻☻☻☻☻