Proposal

1196 Words
Sudah lupakah kau dengan hadist ini? Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima (lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas (HR At Tirmidzi) ☻☻☻☻☻ Dzakia menggeleng.  “Bukan Mas, bukan itu. Mungkin dulu iya. Tapi itu sebelum kepergian Dzakia beberapa bulan lalu. Sekarang Dzakia tak berharap lagi, mas. Toh kabarnya dia juga sudah meluncurkan proposal ta’aruf.” “Oh ya??” tanya Angga sedikit kaget mendengar kalimat terakhir Dzakia. Dzakia menganggukkan kepalanya, sedikit ragu.  “Itu juga lah yang membuat Dzakia pergi kemarin.” “Bagaimana ceritanya Kia?” “Sebenarnya Dzakia nggak tahu pasti perihal proposalnya itu. Tapi beberapa teman PPL sempat cerita tentang itu.” Dzakia kembali melambungkan ingatannya ke bulan-bulan lalu. ☻☻☻☻☻ [Kia dmn? Kami dah pada ngumpul di DPR! Buruan, ada Rasyid jg loh!] Dzakia menatap layar ponselnya, satu pesan masuk dari Raisa. Sudah entah berapa lama mereka tak bertemu. Terakhir bertemu saat pengumpulan berkas ke pusat PPLT. Dan hari ini ia mengajak mereka untuk berkumpul. Berat rasa hati Dzakia, namun ia juga merindukan kebersamaan mereka. Dibukanya kontak telepon dan mencari nomor Raisa, melakukan panggilan. “Assalamu’alaikum Raisaaaaa…” teriaknya ketika telepon di sebrang diangkat. “Hoy, Iren nih.” “Ah, Iren. Mana Raisa?” “Itu lagi beli camilan. Kau dimana Kia? Kita ditraktirin Raisa nih, dia baru selesai sempro.” “Oh ya? Dzakia masih di fakultas, Ren. Emm, masih ada kelas sampe sore. Kayaknya sih nggak bisa ikutan ngumpul gitu.” Dzakia menggaruk-garuk pipinya. “Yah, enggak asik lah Dzakia. Ayo lah Kia, aku kangen nih,” suara disebrang berubah. “Vino!!!” teriak Dzakia lagi. “Kangen Kia lah…” sambungnya histeris. “Woy, woy, woy. Teriak pula lah bebebnya si Rasyid ini. Cepat ke sini Kia, mumpung masih bisa kami ikat kaki si Rasyid ini.” “Ah Kia ini lah, Dzakia itu rindunya sama Vino, bukan Rasyid tahu! Biarin aja ah dia!” “Cie, ciee… jangan gitu lah Kia. Susah payah kami ini nangkap si botak sebiji ini di depan audit, kau pula nggak mau jumpa. Patah hati nanti dia loh!” “Terserah deh. Tapi Dzakia nggak bisa ke sana Vin. Masih ada matakuliah,” Dzakia mengalihkan pembicaraan. “Yah, nggak asik Dzakia ah! Ayo lah Kia, bolos sebentar, jarang-jarang kan kita bisa ngumpul.” “Maaf banget Vin, enggak bisa.” Jawab Dzakia sambil berjalan menuju gedung C.  Sebenarnya kelasnya sudah selesai, tapi enggan rasanya untuk bertemu Rasyid. Hanya menambah perih pada lukanya yang masih menganga saja. “Dzakia!!!” seseorang meneriakkan namanya dari ujung gedung. Anya. “Haish!!” desah Dzakia refleks. “Kenapa Kia?” tanya Vino. Dzakia tak sempat menjawab, Anya sudah berlari ke arahnya. “Mau kemana? Udah siap kelas? Ikut ngumpul kan? Orang itu udah pada ngumpul katanya. Anya nebeng Dzakia ya!” cerocosnya. “Mbok satu-satu ngomongnya loh Anya. Ini Vino lagi nelpon,” Dzakia menunjuk ponselnya.  Anya langsung mengambil alih ponselnya.  “Vino!!! Kangen Anya lah!!” teriak Anya sambil menekan tombol loudspeaker pada ponsel Dzakia. “Iya Nya, sama aku juga kangen kau lah. Eh, kesini lah kalian. Bawa si Dzakia juga, banyak kali alasannya. Udah siap kelas dia kan?” Anya melirik Dzakia yang menggaruk-garuk kepalanya, frustasi. “Tenang Vin! Akan ku bawa Dzakia kehadapanmu. Udah siap kok kelasnya.” Jawabnya terkekeh. “Ish, kalo Anya ini lah,” gerutu Dzakia. “Ya udah, jalan dulu kami ya. Dadah Kia sayang….” Teriaknya menutup telepon. “Ayolah Kia, ikut ngumpul,” bujuknya sambil menyerahkan kembali ponsel Dzakia. Dzakia menggeleng, “Ada Rasyid, Ya…” pasrah. “Terus kenapa? Udah lah Kia, kalian boleh putus, tapi silaturahmi nggak boleh diputus kan?” “Bukan gitu Ya. Cuma nggak asik aja nanti, jadi kaku banget.” Dalih Dzakia. “Kia, makin Dzakia kayak gini, makin si Rasyid ngira kalau Dzakia itu masih nyimpan perasaan yang besar banget ke dia. Ayo lah Kia, move on!” Dzakia menghela nafas, bimbang. “Ayo lah Kia. Kita datang buat Raisa, bukan buat Rasyid. Cuekin aja dia nanti. Anggap kentut.” “Kentut juga mau dicuekin nggak bisa kali Nya, bau!” gerutu Dzakia lagi. “Jangan suka nggerutu Kia, cepat tua nanti.” Ejek Anya sambil menarik tangan Dzakia, menuju parkiran. Memaksa gadis itu untuk mengambil motornya. ☻☻☻☻☻ “Mana si Rasyid?” tanya Anya begitu turun dari boncengan Dzakia. “Udah balik, ada kerjaan lagi katanya.” Jawab Raisa sedikit kesal.  “Sebenarnya kalian kenapa sih Kia? Memang udah putus? Perasaan waktu di posko aman-aman aja, kok sekarang kayak musuh bebuyutan gitu, sembunyi-sembunyian.” “Nggak apa Sa. Mungkin itu yang lebih baik.” Jawab Dzakia singkat. “Rasyid memang ada bilang ke aku kalau kalian udah bubar, tapi ku kira cuma becandaan dia aja. Memang betulnya itu Kia?” tanya Meisya penasaran. Dzakia mengangguk. “Memang dia bilang apa?” “Ya dia cuma bilang kalau kalian udah bubar. Dia udah jelasin ke Dzakia semuanya, dan katanya Dzakia juga udah paham kok.” “Yaaaa, paham yang buat Dzakia sampai harus opname dua minggu gituuu,” gerutu Anya. “Dzakia opname!?” seru Meisya kaget. Dzakia hanya dapat tersenyum masam. “Udahlah, semuanya udah berlalu. Kita lagi ngerayain sempronya Raisa kan? Nggak usah bahas Dzakia deh. Pokoknya intinya kami udah selesai, titik.” “Tapi masa sampai opname sih Kia? Rasyid tahu?” tanya Iren penasaran. Dzakia enggan menjawab, Anya menggantikannya. “Rasyid tahu. Aku yang ngasih tahu. Tapi dia nggak ada respon apapun. SMS ku nggak dibalasnya, aku nelpon juga nggak diangkat sama dia. Makanya aku kesal sama dia.” Ujarnya berkacak pinggang. “Apa masalahnya Kia? Cerita lah,” pinta Raisa. Dengan terpaksa Dzakia menceritakan kulit luar permasalahnnya. Tidak ingin teman-temannya tahu banyak. Ia sedang mencoba mengikhlaskan Rasyid. “Bohong banget kalau dia bilang masih cinta sama mantannya. Nggak percaya aku!” seru Raisa.  “Ingat gimana sayangnya dia ke Dzakia kan? Jadi bohong besar itu!” sambungnya. “Nanti gara-gara organisasinya Kia?” selidik Meisya. “Nggak tahu ah Mei. Udahan aaaahh…” keluh Dzakia. “Jadi yang status di facebooknya waktu itu bukan proposal untuk Dzakia?” tanya Raisa mengabaikan Dzakia yang sudah malas membahas tentangnya. “Proposal yang mana Ka?” Dzakia balik bertanya. “Kayaknya dia ngajukan proposal ta’aruf tuh. Kan ada di statusnya.” “Dzakia nggak lihat.” Ujarnya menggelengkan kepala, lemas. Hatinya mendadak kosong.  “Mungkin lah itu proposal ta’aruf. Laki-lakikan memang mudah melupakan sesuatu, Sa.” “Eh, enggak ya!” sambar Vino. “Tergantung laki-lakinya juga ya!” sambungnya. “Iya, nggak setuju aku kau bilang gitu Kia. Kalau memang cinta harusnya dipertahankan,” ujar Jodi yang sedari tadi diam mendengarkan. “Ini lain Jod. Tapi Dzakia yakin, Rasyid punya alasannya sendiri, dan mungkin alasan itu nggak bisa dikemukakannya langsung ke Dzakia. Biarlah jadi rahasia dia sendiri. Kalau memang jodoh, ya jodoh. Kalau bukan, ya bukan.” Terang Dzakia. Ia kembali menarik nafas panjang. Rasanya menjelaskan apa yang terjadi pada salah satu babak hidupnya lebih sulit daripada menerangkan bagaimana pembagian dan penggunaan if clause dalam kalimat pada anak SMP. ☻☻☻☻☻
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD