CH.50 First Action

1855 Words
Suara pintu yang dibuka paksa dan perdebatan dua orang lelaki masuk pendengaran Rasyid. Tapi dia tak peduli seakan kondisi ini sudah biasa dia alami dan akan hilang dengan sendirinya. “Kenapa kamu harus pusing sedangkan Bosmu saja tak peduli dengan kehadiranku di sini,” ucap seorang pria paruh baya. Tapi suara itu familiar di telinga Rasyid membuatnya mendongak. Rasyid melirik Dika dan mengangguk. Dika akhirnya mengalah dan memberi jalan kepada Tuan Alfin untuk masuk ke ruangan Rasyid. “Kenapa harus bikin keributan kalo Papa bisa buka pintu sendiri,” kata Rasyid santai masih memeriksa dokumen di hadapannya. “Menurutmu?!?” cela Tuan Alfin. “Asistenmu itu yang melarangku masuk,” keluhnya dan Rasyid hanya menghela napas. Tanpa sungkan Papa Alfin duduk di sofa yang ada di ruangan itu dan meminta Rasyid datang kepadanya. Tak berapa lama, Dika masuk membawa nampan berisi teh dan kue kering. Dika yang hendak berada di dekat Rasyid mendengar ketukan pintu dan membukanya. Lukman, asisten Tuan Alfin datang dan Dika mempersilahkan masuk. “Sampai kapan kamu akan menunggunya?” tanya Alfin to the point membuat Rasyid bingung. “Siapa menunggu siapa?” tanya Rasyid cepat. “Kamu menunggu wanita yang kamu bilang pantas jadi menantu Ar Madin,” seru ayahnya kesal mendadak anaknya tak paham ucapannya. Rasyid berdecak, “Papa bikin ulah apalagi? Kenapa harus peduli dengan urusan Rasyid. Ingat perjaniian kita soal ini,” ucap Rasyid dengan nada tak kalah tinggi mendengarnya. “Derawan menawarkan kerja sama dengan kita, tentu saja Papa tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu,” kata Alfin. Rasyid mengepalkan tangannya mendengar hal itu. “Hubungannya denganku?” ketus Rasyid. “Setidaknya kita buat sensasi dulu untuk memuluskan bisnis ini lewat pertunanganmu dengan Laila,” kekeh Alfin tanpa sungkan. “Apa perlu seperti itu Pa!” bentak Rasyid sengit. Alfin sampai kaget dibuatnya karena sikap Rasyid yang mendadak jadi mudah tersinggung. Dika yang ada di belakang Rasyid merasakan firasat yang tak enak karena perbincangan ini. Rasyid mengganti posisinya bersandar di sofa dengan kakinya yang dilipat. “Pertunanganmu dengan Laila akan jadi pertunangan bisnis paling keren sepanjang masa dan menaikkan saham kita berdua. Jika hal itu terjadi maka banyak investor yang tertarik dengan bisnis ini. Kamu bisa bayangkan berapa banyak uang yang bisa kita dapatkan,” jelas Alfin. Rasyid menggoyang-goyangkan kakinya pelan. “Terlepas dari perasaanmu kepada Laila itu benar apa ga, Papa tak peduli, setelah banyak investor yang masuk ke tempat kita, kamu bisa membatalkan pertunangan itu seperti sebelumnya. Gampang kan?” lanjut Alfin. Rasyid masih diam. Alfin mulai kesal karena anaknya tak berkomentar apapun. “Daripada menunggu hal yang tak pasti seperti perceraian wanitamu itu. Bukankah dia juga tak bisa memberikan kita keuntungan apapun dalam hal ini,” kata Alfin enteng. Brrraaaaakkk.. Prrraaaaanng.. Dika yang melihatnya hanya bisa menghela napas. Dia lupa ini sudah meja ke berapa yang dia ganti karena kasus yang sama. Ditendang oleh Rasyid. Alfin yang kaget langsung berdiri melihat hal itu. Rasyid menatap tajam ayahnya dengan ekspresi datar. Dia mengubah posisinya tanpa dosa. “Meja ini sudah terlalu tua, jadi gampang rusak jika disenggol sedikit saja, terutama disenggol oleh kakiku,” kata Rasyid tapi Alfin tak percaya dengan ucapan itu. Dia menatap anaknya dengan tatapan bertanya. Rasyid berdiri dan membukakan pintu ruangannya. “Aku rasa pembicaraan kita sudah selesai. Asistenku akan mencarikan meja yang bagus, jadi kalau Papa datang bisa disambut dengan layak,,” usir Rasyid. Alfin memandang tak suka dengan perlakuan Rasyid. Meskipun enggan tapi dia berjalan ke pintu dan berhenti di hadapan Rasyid. Pria paruh baya itu bersiap membuka mulutnya tapi Rasyid mendahului. “Tak ada satu pun yang berhak berkomentar soal kehidupan Asmara, kecuali aku. Aku, Rasyid Ar Madin. Dan hanya ada satu wanita yang akan jadi menantu Ar Madin, Asmara. No debate,” desis Rasyid. Alfin menatap tak suka dengan ucapan anaknya dan dia berlalu dari sana. Rasyid membanting pintu itu hingga bunyinya membuat Alfin kaget. *** Sore ini, Rasyid baru mendarat di Indonesia. Semenjak dia menerima informasi soal pergerakan Marques setiap dia memiliki waktu luang dia akan pergi ke Indonesia. Edgar menyambutnya di pintu kedatangan penumpang. Kali ini, Rasyid tidak ingin pergi ke penthousenya tapi dia ingin ke rumah Edgar tempat dia mengawasi Asmara. Dia ingin melihat apa yang dia dapatkan jika tinggal di sana. Hampir sejam dia berada di dalam mobil dengan menggunakan kacamata hitam dan melihat ke halaman rumah dimana ada seorang anak lelaki asyik bermain di kolam kecil dari plastik. Tak lama muncul seorang wanita yang usianya sekitar tiga puluh tahun tersenyum manis dan ikut bermain dengan anaknya. Rasyid membuka jendela mobilnya dan menatap interaksi keduanya yang membuat hatinya menghangat seketika. “Setidaknya kamu masih bisa merasakan bahagia meskipun hanya bersama anak lelakimu,” gumam Rasyid. “Mau sampai kapan Bos akan diam begini, ini kesempatan yang bagus untuk mendekatinya,” kata Edgar yang muncul dari luar mobil membuat Rasyid melirik sebal kepada pengawalnya. “Suaminya sudah tak muncul sejak beberapa bulan lalu, mungkin hampir delapan bulan ini. Dia benar-benar wanita yang tangguh,” kata Edgar memberikan pujian. Rasyid berdecak keras, “Tak ada yang memintamu memujinya, aku tahu dia memang bukan wanita biasa. Tapi jangan coba-coba puji dia di hadapanku,” ketus Rasyid. “Ayo pergi,” ajak Rasyid. Edgar kembali masuk dan melajukan dengan pelan sampai ke tempat tinggalnya. Rasyid mengambil air dingin dari kulkas dan memanggil Edgar untuk duduk di dekatnya. “Kirim beberapa bukti yang bisa menunjukkan bukti perselingkuhan Devio secara perlahan,” perintah Rasyid kembali meminum airnya. “Kali ini kita harus memastikan Asmara cerai dengan suaminya, bagaimana pun caranya,” kata Rasyid. Edgar mengangguk paham. “Selama hampir dua tahun ini apa ada pergerakan dari Marques lagi?” tanya Rasyid dan Edgar menggeleng. “Tapi sepertinya sekarang yang mulai bergerak Andi Sanjaya Bos,” kata Edgar. “Dari mana kamu tahu?” tanya Rasyid penasaran. Edgar menjawabnya yakin, “Beberapa waktu lalu saya melihat orang yang mencurigakan dan meminta tim untuk menyelidiki. Dia orang suruhan Andi. Seperti yang kita tahu kepindahan Dev ke Semarang semuanya adalah skenario dia, jadi ada kemungkinan Andi meminta Asmara untuk kembali kepadanya,” kata Edgar. Rasyid mengepalkan tangannya dan mengeraskan rahang. “Harus kita yang berikan informasi perselingkuhan itu bukan Andi. Jadi lakukan secepatnya sebelum terlambat,” kata Rasyid. “Satu lagi Bos,” kata Edgar membuat Rasyid fokus pada pengawalnya itu. “Apa lagi?” tanya Rasyid. Edgar berdehem, “Lusa adalah ulang tahun Tuan Muda Ario, sejauh yang saya tahu, Devio selalu absen saat Ario ulang tahun. Tahun ini mereka akan merayakannya di sekolah, entahlah suaminya akan datang atau tidak,” kata Edgar. “Jadi Ario tak pernah merayakan ulang tahun bersama ayahnya, ciihh. Ayah macam apa itu,” cela Rasyid. “Dia bersama wanita itu?” tanya Rasyid dan Edgar mengangguk. “Kenapa Asmara harus menunggu selama itu untuk berpisah dari suaminya jika memang kondisinya demikian. Itu sama saja dia bukan prioritas bagi suaminya,” keluh Rasyid. Rasyid memijat keningnya seakan sadar dari semua ini. “Ini bukan urusanku juga kenapa aku harus repot,” kata Rasyid menatap tajam Edgar. Pengawal itu pamit untuk menyiapkan bukti perselingkuhan yang akan dikirim kepada Asmara. Rasyid berjalan ke kamarnya tapi kemudian muncul satu ide gila yang membuatnya tersenyum jahat. “Tak ada salahnya dicoba,” dia batal masuk kamarnya dan beralih ke ruang kerja Edgar. “Ed, aku punya ide, sedikit gila tapi mungkin ini bisa membuatnya jera dan memikirkan perceraian,” kata Rasyid membuat pengawalnya memutar kursi dan menghadapnya. “Ide apa itu Bos?” tanya Edgar dan Rasyid bersandar di tepi meja. “Buat Devio tidak menghadiri acara itu, bagaimana pun caranya. Lima kali tak datang di acara ulang tahun anaknya mungkin sudah cukup bagi Asmara untuk menentukan jalan hidupnya,” kekeh Rasyid menepuk pundak Edgar dan berlalu dari sana. *** Suara riuh anak kecil memenuhi ruangan itu. Nyanyian lagu ulang tahun, kue tart dengan gambar kereta merah biru dan tumpukan kado membuat suasana makin meriah. Asmara tersenyum dan ikut bernyanyi di acara ulang tahun Ario. seakan tak ada yang tahu ada duka dan kekesalan yang nampak dalam dirinya. Dia mengambil beberapa foto melihat interaksi ibu dan anak itu. Senyum simpul terbit dari bibirnya tanpa dia sadari. “Maaf Anda siapa?” tanya seorang pegawai sekolah tapi pria yang mengenakan sweater abu gelap dan celana jeans mengabaikannya dan pergi dari sana. Dia melihat Asmara sesekali keluar ruangan untuk menelpon seseorang dan dia tahu siapa yang ditelpon. “Marahlah dan luapkanlah kekesalanmu, seharusnya kamu sudah melakukan ini sejak dulu dan berakhir dengannya,” lirih pria itu. Ponselnya berdering. “Bos, saya sudah meletakkan amplop itu di dalam rumah Nona Asmara,” lapor seorang pria melalui sambungan telepon membuat pria itu mengakhirinya tanpa berkomentar. Dia berjalan pelan ketika Asmara memandang tempat dia berdiri sebelumnya. Dia keluar dari tempat itu dan menunggu di luar pagar sekolah. Saat dia melihat Asmara mengobrol dengan para guru dan pegawai sekolah. Dia melihat seorang anak kecil jongkok dengan raut sedih di sana dan menghampirinya. “Hai Boy,” sapa seorang pria. “Cowok ga boleh nangis, kamu harus kuat okay,” kata pria itu dan menyodorkan kado ulang tahun untuk Ario. “Selamat ulang tahun,” kata pria itu. Ario yang melihat kado itu langsung menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Saat Ario ingin bertanya siapa nama Om itu, lelaki itu sudah menghilang. “Ario, ada apa?” tanya Asmara dan Ario menggeleng. Saat Asmara memegang wajah anaknya dan melihat wajahnya memerah Asmara memeluk anaknya dan menghiburnya lalu mengajak anaknya pulang. Sesampainya di rumah, Ario masih memegang kado pemberian pria itu langsung membawanya ke kamar dan membukanya. Dia melihat ada beberapa lembar foto yang menunjukkan wajah ayahnya dengan seorang anak lelaki seumuran dia, mereka sedang asyik bermain. Entah perasaan apa yang meliputinya dia marah dan mengacak-acak semua barang yang ada di kamarnya. Dan merobek semua foto yang dia dapatkan dan memasukkannya dalam tempat sampah. “Aku benci Ayah, aku tak mau ketemu Ayah lagi!” teriak Ario membuat Asmara yang ada di ruang tengah berlari ke kamar anaknya. Dia ingin membuka pintu tapi menahannya karena air matanya sudah jatuh lebih dulu. Dia tak bisa menunjukkan kesedihannya ini kepada anaknya. “Aku benci Ayah, aku benci sama Ayah, Ario ga mau ketemu sama Ayah,” Ario mengulang kata-kata itu berkali-kali sampai dia jatuh tertidur. Asmara meninggalkan kamar anaknnya dan berjalan ke dapur untuk mengambil minum, dia melihat ada amplop coklat tergeletak di sana. Dia mengambilnya dan tak menemukan nama pengirim atau kepada siapa amplop itu ditujukan. Penasaran dengan isinya, Asmara membuka amplop itu dan dia melihat satu lembar kertas berisi informasi nama dan alamat. Dan beberapa lembar foto yang dia kenali dengan jelas siapa orang itu. Asmara mengambil satu foto dimana seorang pria menggendong anak lelaki dan nampak tersenyum bahagia di sana. Dia meremas foto itu dengan perasaan penuh amarah. “Sudah cukup kesabaranku kali ini, kamu akan menyesal memperlakukanku seperti ini,” seru Asmara dan membuang amplop itu di tempat sampah. Pria itu melihat tindakan Asmara melalui cctv yang sebelumnya sudah dipasang secara tersembunyi di rumah Asmara. Dia tersenyum puas melihat kemarahan Asmara saat itu. "Kali ini kamu benar-benar berada dalam genggamanku, my Rara. Sepertinya aku harus sedikit kejam untuk membuatmu lepas dari suami bodohmu itu," kekeh Rasyid.  *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD