Rasyid berdehem dan tak lama dia menyadari kesalahannya yang mudah terprovokasi karena tindakan Reno yang mendadak absurd kepadanya.
“Aku ga kepanasan biasa aja,” kata Rasyid cepat tapi dia nampak salah tingkah. Dika menggeleng pelan melihat kelakuan bos sekaligus sahabatnya itu.
Ponsel Rasyid berdering dan dia melihat pesan dari Edgar yang mengirimkan gambar mengenai almamater Reno dan Asmara. Rasyid langsung memijat keningnya lelah. “Astaga, kenapa aku bisa miss soal info kecil kaya gini,” gumamnya.
“Urusan kita kapan kelar?” tanya Rasyid tiba-tiba. Dika menatap bosnya itu dan mengangkat bahu. “Kan tergantung cara nego kamu sama Erick yang mendadak serakah itu,” kata Dika.
Rasyid berpikir sejenak untuk mengakhiri ini dengan cepat. “Tapi kamu mencurigai sesuatu ga sih? kenapa Erick tiba-tiba jadi show up gini, apa menurutmu ada yang dia incar sebenarnya,” tanya Rasyi.
Dika menghela napas, “Aku curiga, tapi aku nunggu kamu yang sadar. Come on Ras, sejak kamu mengurusi masalah Asmara, kamu kehilangan taringmu dalam bisnis. Bukan aku tak suka dengan kehadiran Asmara dalam hidupmu,” kata Dika menggantung karena Rasyid sudah menatapnya tak suka.
“Pikir dengan otak yang kata kamu cerdas, kalo kamu memiliki mainan baru tapi mainan itu menghambat kinerja otakmu yang seharusnya. Bukankah kamu harus evaluasi lagi, itu mainan faedah atau unfaedah buat hidupmu,” analogi Dika.
Rasyid diam.
“Atau mungkin yang lebih simple, kalo mainan itu sebenarnya bisa kamu karungin atau masukin di lemari yang bagus, dibuat nurut sama kamu, kenapa kamu jadi mempersulit diri melepas mainan itu jadi umpan buat orang lain, yang pada akhirnya kamu sakit hati sendiri karena mainan itu jadi rebutan,” ujar Dika masih ngotot.
Dika berdiri dan berjalan mendekati Rasyid yang bersandar di meja kerjanya. “Please pikirin dengan baik, kamu kudu gimana sama Asmara, bukan aku capek ngurus WB, tapi aku capek lihat kamu jadi orang aneh kaya sekarang,” kata Dika menepuk pundak Rasyid dan keluar dari ruangan itu.
Pria muda itu memandang punggung Dika dan memikirkan semua ucapan Dika. Apa benar jika selama ini dia nampak seperti itu. Jika memang benar begitu itu artinya dia buang-buang waktu dan tak bisa menjaga miliknya dengan baik.
“Ed, minta orang untuk mengawasi Asmara menggantikan kamu, yang kompeten dan cepat tanggap sama seperti dirimu. Mulai sekarang kita main di belakang layar sampai Asmara cerai dari suaminya,” perintah Rasyid.
Edgar yang menerima perintah itu hanya bisa menghela napas dan tak bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan bosnya. “Baik Bos,” sahut Edgar dari sebrang telepon.
“Satu lagi, cari tahu apa rencana Reno soal Asmara, aku ga mau bersaing sama orang itu. Selain karena ga level, dia juga ga berhak memiliki Asmara,” tambah Rasyid.
Edgar mengerutkan dahinya mendengar nama sahabat bosnya itu. “Bukankah Tuan Muda Reno bersama Nona Gladis, kenapa dia harus jadi ancaman?” tanya Edgar tak mengerti.
“Berisik, aku ga suka Reno deket-deket Asmara, harusnya aku yang deket bukan dia,” keluhnya dan mengakhiri panggilan itu tanpa mendengar penjelasan Edgar.
Rasyid mulai fokus dengan bisnisnya dan melupakan sejenak soal Asmara. Meskipun dia tetap bisa melihat Asmara melalui cctv yang masih terpasang di rumah itu, tapi dia mulai membatasi diri dan berniat membereskan urusannya dulu dengan Erick.
“Mr. Erick, apa sebenarnya tujuan Anda sebenarnya? Jika Anda merasa dirugikan secara financial World Biz tak masalah mengganti uang pinalti itu sampai tiga kali sesuai yang asisten saya katakan. Tapi apa ini sekarang?” tegur Rasyid yang tak tahan dengan tingkah Erick.
Erick tertawa pelan, “Ini bukan soal uang Tuan Ar Madin,” katanya santai. Rasyid melihat reaksinya yang susah ditebak membuatnya waspada kali ini.
“Aku dengar Bassil mulai menghasilkan banyak anggur dan itu komoditinya sampai meluas di seluruh Eropa. Setidaknya 50 persen lahan di sana, bisa membuatku jadi orang yang diperhitungkan di dataran Eropa seperti dirimmu,” ucap Erick.
Dika terbelak mendengarnya, Rasyid mengeraskan rahang dan mengepalkan tangannya. Tapi dia memutar otaknya untuk menjatuhkan lawannya ini.
“Sayangnya Bassil memiliki history yang cukup dramatic dalam hidup saya, jadi saya tidak mungkin melepasnya begitu saja. Apa yang bisa kamu berikan jika memang aku bisa memberikan apa yang kamu inginkan?” tantang Rasyid.
Dika menatap Rasyid tajam, tapi Rasyid tak peduli dan tetap menatap Erick dengan tatapan mengintimidasi. Erick kembali tertawa.
“Aku sudah menduga, Anda akan menanyakan hal ini,” kata Erick dan dia meminta asistennya untuk memberikan satu map dan memberikannya pada Rasyid melalui Dika. Asisten itu membacanya dan hampir tak percaya dengan apa yang Erick temukan.
Dika menunjukkan data itu, di sana tertulis kandungan tanah yang ada di Bassil terutama di bagian selatan mengandung mineral, dimana mineral itu adalah salah satu bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan alat peledak.
“Informasi itu tak murah Tuan Ar Madin, jika aku menyebar hal itu ke media, tentu saja lebih banyak orang yang akan terprovokasi termasuk pemerintah dan klaim pembuatan alat peledak milik pribadi bukan tidak mungkin akan tersebar dengan cepat,” kata Erick jumawa.
“Siapa yang membayarmu untuk ini?” kata Rasyid to the point membuat Erick menegang.
Rasyid menaikkan satu sudut bibirnya, “Kamu kira aku anak lima tahun yang bisa kamu bohongi dengan permainan bodohmu ini. Jika mineral ini ada tak mungkin anggurku bisa tumbuh dengan baik dan menjadi anggur terbaik di Eropa,” kata Rasyid.
Dia mencondongkan tubuhnya, “Apa otakmu menjadi semakin bodoh karena menghitung uang jutaan dollar,” cela Rasyid.
Wajah Erick memerah menahan amarah, tangannya mengepal sempurna seakan dia ingin menghajar Rasyid saat ini juga.
Dika paham kondisi itu dan menyalin dokumen itu dan lekas mengirimkannya kepada tim geologi yang dia kenal di Bassil.
“Aku tahu apa yang kamu incar dari ladang Bassil di Selatan, bekas terowongan Garsfield bukan? Terowongan itu sudah aku kubur dengan peledak agar tidak ada yang menemukannya lagi dan kamu tidak akan bisa menghubungkannya dengan pelabuhan manapun di Eropa,” kekeh Rasyid.
Erick berdiri dan menatap Rasyid murka. “Aku akan review kembali perjanjian kita,” kata Erick kesal. Rasyid melambaikan tangan tanda sampai jumpa.
“Seharusnya kamu mencari seorang liner sebelum melakukan bisnis gelap, Erick. Liner akan membantumu lebih banyak untuk mencari jalur perdagangan yang bisa membantumu. Kalo tak percaya tanyakan saja kepada Marques yang lebih ahli,” kata Rasyid mengejek.
Erick keluar ruangan dan membanting pintu membuat Dika menggeleng. “Aku putus kontrak kalo pintu itu sampe jebol,” gumam Dika dan Rasyid malah terbahak.
“Darimana kamu tahu kalo dia mengincar terowongan itu?” tanya Dika dan Rasyid mengangkat bahu. “Hanya menebak, karena aku nanya Oman searching database Erick bahas soal perdagangan tunnel to port. Awalnya aku mengira dia akan buka bisnis baru sampai aku ingat ada sejarah soal terowongan Garsfield dan itu ada di Bassil,” kata Rasyid.
“Dia mau belajar jadi selundupan apa,” kata Dika sambil berdecak tak percaya. “Setidaknya bisa liburan lah habis ini, gegara bahas topic alot yang ga jelas ujungnya,” keluh Dika.
Rasyid teringat satu hal, “Dik, masukin satu juta dollar ke pembangunan propertinya yang di Spanyol, lumayan kan buat investasi,” kekeh Rasyid.
Dika yang lagi minum langsung tersedak, “Ngapain? Boros lu,” kata Dika kesal.
Rasyid tertawa, “Biar dia makin kesal sama kita dan ga berani macem-macem sama harta benda Ar Madin. Kalo kas WB ga cukup minta pengajuan ke Madin aja, ntar aku ngomong sama Papa,” sahut Rasyid enteng.
“Sultan gila lu, ngabisin duit sejuta pake dollar kaya beli kacang di perempatan lampu merah. Ngeselin,” gerutu Dika tapi dia tetap bekerja dan menghubungi bagian keuangan untuk mengurusnya.
***
“Kenapa dia harus naek kereta kalo duitnya ada buat naik pesawat,” keluh Rasyid di stasiun bersama Edgar sambil menunggu kedatangan kereta yang akan membawanya ke Surabaya.
Di salah satu bangku ruang tunggu dia melihat seorang wanita dan anak lelakinya asyik bercanda dan makan cemilan untuk membunuh waktu tunggu mereka.
“Tapi mereka bahagia Bos, naik kereta kaya wisata,” kata Edgar santai makin bikin Rasyid jengkel. “Udah cek isi rekeningnya belum?” kata Rasyid dan Edgar mengangguk, “Cukup sih kalo untuk sekali berangkat ke Dubai,” kata Edgar.
Rasyid memijat keningnya lelah, “Terus kenapa dia pake naek kereta segala, kalo capek gimana, aduh ngeselin,” omelnya mulai absurd.
Malam ini Rasyid sengaja ikut naik kereta karena dia khawatir dengan keselamatan Asmara yang pergi ke Surabaya hanya berdua dengan Ario untuk menghadiri acara reuni kampusnya.
Dia mendadak cemas jika Asmara beneran bertemu Reno dan mereka jadi akrab. Karena itu dia bertekad mengawasinya sendiri tanpa pengawal yang biasa ditugaskan. Edgar yang khawatir dengan emosi Bosnya memutuskan untuk ikut meskipun awalnya Rasyid keberatan.
Keempat orang itu sudah ada di gerbong yang sama. Kegilaan Rasyid dia membeli semua tiket yang ada di gerbong itu, sehingga satu gerbong itu hanya berisi mereka berempat.
Edgar dan Rasyid duduk terpisah tapi posisinya di belakang Asmara sehingga mereka masih bisa mengawasi kondisi Asmara.
Beberapa menit awal Rasyid masih bisa mendengar keduanya bicara dan bercanda, tak lama tak terdengar suaranya dan Edgar melihat mereka sudah tertidur.
Rasyid yang berniat memindahkan Asmara di bangku yang lain karena tak tega melihat dia tidur dalam posisi duduk jadi batal karena dia melihat Asmara bangun dan dia melihat gerbong yang kosong. Akhirnya Asmara memutar bangku di depannya dan tidur di sana.
Pintu gerbong mereka juga ditutup sehingga tidak ada lalu lintas orang yang mengganggu mereka. Rasyid melihat Asmara yang kembali terlelap duduk di dekatnya dan melihat wajah meneduhkan itu dari dekat.
“Berapa lama lagi aku bisa melihat wajah ini setiap hari dalam hidupku,” gumamnya dengan senyum simpul. Debaran dalam dirinya membuatnya tak tahan dan mendekatkan wajahnya di kening Asmara.
***
Rasyid menunggu di salah satu sudut area dengan mojito di tangannya. Dia mengedarkan pandangan dan melihat sekeliling, tapi tak melihat orang yang dia cari. Sampai satu sudut matanya menangkap seorang yang dia kenal di panggung.
Dia mendengarkan pidato Reno dengan enggan, awalnya dia ingin ke toilet tapi pas berdiri dia melihat sosok yang dia cari dan matanya nampak tak suka melihatnya.
Dia mengeraskan rahangnya dan mengepalkan tangannya. Ada rasa kesal dalam dadanya melihat pemandangan itu. Kakinya terasa ingin berlari menemui mereka dan menyeret Asmara untuk jauh dari Reno.
“Kapan kamu akan melihatku seperti itu, Rara?”
********