Ada goresan tak kasat mata yang dirasakan Rasyid. Asmara bisa tertawa dan tersenyum bersama Reno meskipun mereka lama tak bertemu. Tapi bagaimana dengan dirinya yang sudah lama menjaga dia tak pernah mendapatkan senyuman senyaman itu.
“Kapan kamu akan memandangku seperti itu Rara?” lirih Rasyid menatap keduanya pilu dan helaan napas berat.
Tak lama dia melihat Asmara dan Reno pulang bersama. Rasyid bergegas mengikutinya, ada desakan amarah melihat keduanya santai dan bisa akrab seperti itu.
“Kalo kamu udah jadi istriku liat aja, ga ada satu pria pun yang boleh deket-deket sama kamu. Harus aku yang bisa kamu andalkan,” dumel Rasyid seoerang diri di dalam mobil masih mengawasi keduanya.
Pria itu melihat Reno menghentikan mobilnya di tempat yang sedikit sepi. Perasaan marah makin melingkupi dirinya dan dia mencari tempat yang strategis untuk bisa mengawasi keduanya.
Rasyid turun dari mobil dan sedikit mendekat di mobil Reno untuk melihat apa yang mereka lakukan. Dia terhenyak dan hanya bisa diam mengamati keduanya, meskipun kaca mobil Reno gelap tapi dia masih bisa melihat apa yang terjadi di dalamnya walaupun samar.
“Kenapa Asmara sampai menangis, apa yang sebenarnya terjadi?” lirih Rasyid diliputi rasa penasaran.
Rasyid menyingkir saat dia melihat mobil Reno bersiap untuk melaju. Secepat kilat dia kembali ke mobilnya dan mengikuti mereka. Reno mengantarkan Asmra sampai depan rumahnya dan diamelihat mobil Reno pergi dari sana.
Rasyid masih diam di sana sampai ponselnya berdering. Dia melihat nama Reno, meskipun malas tapi akhirnya dia mengangkat panggilan itu.
“Heeemmm,” jawab Rasyid.
“Aku tunggu di Warkop Andes,” kata Reno. Rasyid yang mendengar nama tempat asing itu bingung. “Dimana itu?” tanya Rasyid.
“Dari rumah Asmara ke kanan, nanti ada pertigaan ke kiri, liat aja ada tulisannya, aku lagi di situ sekarang,” kata Reno. Rasyid kaget mendengar ucapa Reno, dia berpikir apa Reno tahu kalo dia mengawasi keduanya.
“Ga pake lama Madin, aku tahu kamu ada di rumah Asmara sekarang, percuma juga kan di sana, dia paling udah tidur,” kata Reno langsung menutup panggilannya.
Rasyid memukul kemudinya pelan. “Sialll, gimana Reno bisa tahu kalo aku di sini, apa ada orang lain yang bilang?” tanya Rasyid mengedarkan pandangan untuk tahu apa ada orang lain selain mereka.
Lelah menebak-nebak, dia berlalu dari sana dan mengikuti kemauan Reno untuk bertemu. Tak sampai sepuluh menit dia sampai di tempat yang dimaksud dan melihat Reno duduk santai di sudut warung.
Rasyid meletakkan kunci mobilnya keras yang dia sengaja untuk memberikan tanda kedatangannya. Reno menoleh, “Pesen sendiri sana, jangan samain kaya kafe,” kata Reno pedas.
Rasyid menurutinya dan pesan satu kopi hitam dengan es untuk meredakan panas tubuhnya. Dia kembali duduk dan mengambil satu rokook yang ada di meja. Keduanya masih diam dan tenggelam dalam asap rokok masing-masing.
“Elu liat semuanya tadi?” tanya Reno setelah pesanan Rasyid diantar ke meja mereka. Pria itu hanya mengangguk santai. Reno terkekeh, “Jadi liat juga kalo aku abis nyiipok Asmara,” kata Reno absurd.
Rasyid terbelak dan langsung melempar punting rokok ke arah Reno. Sahabatnya itu terbahak dan mengambil rokok itu lalu dimatikan apinya.
“Jangan lempar pemicu kebakaran sembarangan lu, nanti kalo warung ini habis, walopun elu bisa ganti, tappi kan percuma unfaedah,” kata Reno.
Rasyid berdecak, “Makanya kalo ngomong jangan ngawur, mana ada elu nyiipook dia, ilag kepalamu besok berani elu kaya gitu,” omel Rasyid.
Reno tertawa puas mendengarnya, “Lagian kenapa sih elu tuh kaya ABG ga jelas, kalian bukan ABG tolon jangan belagak kaya ABG. Aku kan udah bilang sebelumnya, kalo kamu ga sanggup jagain bilang sama aku, kenapa malah kaya gini coba,” keluh Reno mulai serius.
“Gini gimana maksudmu?” tanya Rasyid mendadak ga paham.
Reno mematikan punting rokoknya dan menatap pria itu sengit. “Kalo emang kamu liat semuanya, harusnyakamu tahu kenapa aku berhenti berkali-kali. Kamu pikir aku ga tahu kalo kamu ngikutin kita dari tadi,” seru Reno.
“Rara tahu ga?” tanya Rasyid kepo.
Reno ikut mengerutkan dahinya bingung, “Rara?” gumamnya tak paham.
“Asmara,” kata Rasyid pelan seakan dia tak ingin orang lain tahu kalo dia memanggil Asmara dengan sebutan Rara. Reno menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Udah punya panggilan kesayangan, udah ngirim pengawal pribadi, ngawasin 24 jam kenapa masih ga maju, Vangggkee bener lu,” gerutu Reno.
“Ada saatnya Bro, bukan sekarang,” kata Rasyid cepat.
“Kapan? Kapan saat itu? Nunggu nyesel dan elu bakal kehilangan dia lagi sama kaya Nima dulu,” kata Reno menahan kesal.
Rasyid menghela napas, “Nima ga bakal sama kaya Asmara,” kata Rasyid cepat. “Aku memilihnya karena aku mau, Nima ga begitu, dia muncul karena keadaan yang mendorongnya,” kata Rasyid sok filosofis.
“Ga peduli aku, buatku yang sekarang kebahagiaan Asmara. Kalo kamu ga bisa ngasih kebahagiaan buat dia, kasih dia sama aku,” kata Reno bersiap pergi.
Bbrraaaakkk..
Gebrakan meja yang keras membuat beberapa pengunjung di sana memandangi mereka membuat Reno menghela napas kasar. Dia menatap kesal pada sahabatnya itu.
Reno duduk kembali menghadap Rasyid dengan kondisi meja yang kotor karena tumpahan kopi dan mungkin mejanya hampir patah karena pukulan Rasyid.
“Asmara tanggung jawabku, elu ga usah ikut campur!” tegas Rasyid dengan tatapan nyalang.
Reno berdecih, “Jangan sampe kita perang di sini Ras, karena –“ ucapan Reno langsung dipotong oleh Rasyid. “Ga usah panggil aku Ras lagi, cuma Rara yang boleh manggil kaya gitu,” bentaknya sampai Reno kaget.
Reno membulatkan matanya mendengar alasan Rasyid. “Fix, elu udah bucin, tapi masih menyangkal dan menunggu waktu yang tepat katamu, sakit jiwa elu,” seru Reno.
Rasyid menulikan telinga mendengar ucapan Reno, baginya panggilannya kini terdengar aneh jika bukan Asmara yang memanggilnya karena itu dia tak suka ada yang memanggilnya seperti itu.
Rasyid hanya mengangkat bahunya enteng.
“Pernah ga kamu sekali aja memandangnya sebagai wanita dan melihat seberapa besar kesedihan yang dia rasakan selama ini?” kata Reno mendadak membuat Rasyid gagu.
Reno tersenyum mengejek, “Sudah kuduga. You never feel it Rasyid Ar Madin. Kamu anggap apa Asmara kalo kaya gitu, mainanmu atau hiasanmu doank. Kebangetan elu!” bentak Reno.
Rasyid diam.
“Malam ini dengan jelas aku lihat sendiri bagaimana rapuhnya dia, sekaligus dia menguatkan dirinya sendiri untuk tidak terlihat lemah di depan orang lain mungkin termasuk kamu. Tapi apa yang kamu lakukan untuk menjaganya?” seru Reno.
“Nothing,” desis Reno.
Nothing.
Kata itu terngiang di telinga Rasyid. Benarkah jika selama ini dia tak melakukan apapun meskipun dia sudah mengawasinya 24 jam.
“Hanya karena kamu mengirim Edgar di sekitarnya itu bukan berarti kamu menjaganya Ras. Apa kamu meminta Edgar untuk meminjamkan bahunnya untuk Asmara menangis?” kata Reno membuat Rasyid terbelak dan reflek menggeleng.
“Kamu ga rela kan kalo itu dilakukan sama Edgar, lalu kenapa kamu ga muncul?” protes Reno.
“Dia butuh orang untuk sandarannya dalam situasi ini. Apa kamu takut jika kamu melakukannya akan terlihat kalian seperti pasangan selingkuhan?” cecar Reno.
Rasyid mengerutkan dahinya tapi kemudian dia menggeleng.
“Asmara yang akan membantumu menjaga semua batasan itu, karena dia wanita yang tahu diri dan menjaga harga dirinya, bukan seperti wanita yang biasa kita permainkan di luar sana,” jelas Reno.
Kali ini dia harus mengakui kalau semua yang Reno katakan itu benar. Rasyid berpikir bagaimana caranya untuk bisa lebih dekat dan jadi orang yang bisa Asmara andalkan sesuai dengan keinginannya.
“Apa dia tidak akan kabur kalo aku terlalu memaksakan keinginanku padanya,” ujar Rasyid terbata.
Reno menghela napas, “Aku paham maksudmu, pengalamanku sama Gladis membuatku tahu kenapa wanita setipe mereka itu jual mahal dan nyeleneh,” kata Reno.
Rasyid menggeleng tanda tak paham.
Reno berdecak, “Katanya playboy, tapi urusan sama cewek yang bener gini aja ga paham,” kata Reno. Dia berdehem sebentar sebelum melanjutkan apa yang mau dikatakan.
“Asmara dan Gladis itu setipe, bedanya pasti ada, dan kesamaan mereka hanya satu. Mereka butuh lelaki yang memperjuangkan mereka sampai mereka luluh, bukan karena mereka sok jual mahal atau sengaja ngetes. Tapi mereka melakukan itu untuk tahu seberapa penting kehadiran mereka dalam hidup lelaki itu,” kata Reno.
Dia menggeser duduknya ke meja sebelah dan mengambil air mineral yang ada di sana. Kembali pria itu menyalakan rokokknya dan Rasyid mengikuti pergerakan Reno itu.
“Ingat kejadian suaminya Asmara yang selingkuh tapi dia masih maafin bahkan sampai hari ini kenapa dia masih tak berani mengambil keputusan itu?” tanya Reno dan Rasyid mengangguk.
“Asmara tahu bagaimana suaminya itu berjuang mendapatkannya karena itu dia mau menerima lamarannya. Tapi dia tak menyangka jika saat dia menyerah, justru suaminya yang membuatnya menjadi tak berharga dengan melakukan perselingkuhan,” jelas Reno.
Rasyid mulai paham apa yang Reno maksud, jika dia tak salah ingat memang di file yang pernah Edgar berikan, Asmara memang bukan tipikal orang yang mudah jatuh cinta tapi dia bisa jatuh cinta karena proses dan mungkin proses inilah yang Reno maksud untuk kita ambil kesempatan itu.
“Kedua wanita itu hanya akan jatuh cinta dengan pria yang tepat, yaitu pria yang rela memperjuangkan mereka dalam keadaan apapun,” kata Reno mengakhiri siraman rohani mengenai cinta.
Reno menghabiskan air mineral dalam satu tegukan dan menata Rasyid tajam.
“Ini kesempatan terakhirmu untuk membuktikan kalo kamu memang menginginkan Asmara seperti yang kamu bilang kepadaku. Jadi, kalo nanti aku liat Asmara termehek-mehek lagi terutama karena dirimu, habis elu sama gue!” ancam Reno.
“Jangan coba mengancamku,” balas Rasyid cepat.
Reno menatap Rasyid sengit, “Kenapa? Kamu takut?” cela Reno. Rasyid ganti menatap Reno nyalang.
Reno berdiri dan menatap Rasyid sebelum dia memutuskan untuk pergi dari sana.
“Ingat, sekali aja kamu bikin Asmara nangis dan terluka, kamu ga berhak memilikinya!” tegas Reno dan berlalu dari hadapan Rasyid.
Ancaman itu terngiang jelas dalam pikiran Rasyid. Dia mengepalkan tangannya membayangkan hal itu.
“Dia milikku Ren, bukan milikmu,” gumam Rasyid.
******