“Ga mungkin,” seru Dika cepat dengan membulatkan matanya.
Rasyid terkekeh dan meninggalkan keduanya yang masih bingung dengan apa yang barusan terjadi.
“Kenapa kelakuannya jadi kaya dukun yang bisa menebak nama seseorang, astaga aku kayanya perlu periksa ke psikolog urusan beginan,” gumam Dika sambil ngeloyor pergi.
Edgar yang tak paham hanya bisa menghela napas dan meninggalkan ruangan itu.
Malam harinya mereka bertiga berkumpul di ruang tengah dan melakukan panggilan video dari Oman mengenai rencana mereka untuk balas dendam.
“Setidaknya kita harus memberinya pelajaran bahwa orang yang dia ajak perang itu tak main-main dan bukan orang sembarangan,” kata Rasyid setelah temannya menyarankan untuk tidak melakukan hal itu tapi sayangnya Rasyid terlalu keras kepala.
“Kita tak tahu apa yang bisa dia lakukan dengan semua jaringan yang dia miliki,” kata Oman menyarankan untuk menghentikan semua ini.
“Ras, yang penting itu kamu selamat dan bisa memimpin World Biz lagi bukan malah jadi ambisius untuk balas dendam sama Marques. Anggap saja begini, kemarin yang dia lakukan sama kamu itu karena dia kesal kamu tahu rencananya, tapi bukan untuk membalasnya,” ucap Dika bijak.
Rasyid menatap semua temannya dingin, “Kita hanya memberi dia pelajaran bukan mau membunuhnya, kenapa kalian begitu khawatir soal ini,” kata Rasyid penuh sindiran.
“Jika kalian tidak sanggup, aku akan panggil orang untuk membantuku meskipun aku tahu kemampuan mereka di bawah kalian semua,” ujar Rasyid masih tak mau kalah.
“Apa rencanamu?” tanya Oman ingin tahu.
Rasyid tersenyum, “Buat aja salah satu linni bisnisnya menderita sama seperti dia membuat Bassil hampir bangkrut,” kata Rasyid.
“Dan sebutkan dengan jelas jika aku pelakunya, dia tak akan mungkin berani melapor ke polisi dan menangkapku, karena dia sendiri sudah jadi buronan polisi,” tantang Rasyid.
Semua orang yang ada di sana menggelengkan kepalanya. “Lalu, kalo dia Cuma santai aja dengan pelajaran yang kamu berikan, kamu mau apa?” tanya Dika selanjutnya. Rasyid hanya mengangkat bahunya, “Tak masalah juga buatku, aku hanya ingin dia tahu kalo aku tidak menyerah untuk melawannya,” kata Rasyid santai.
Oman terpikirkan satu hal, “Sepertinya kali ini aku mendukungmu, tapi hanya untuk menunjukkan kalo kita juga punya kuasa yang tidak bisa dia tindas,” kata Oman.
Rasyid mengangguk, “Caranya gimana?” tanya Rasyid penasaran.
“Aku bantu siarkan di media soal perdagangan obat-obatan illegal yang dia miliki, kerugiannya lumayan itu bisa membuat dia rugi hampir jutaan dollar. Dan itu juga keuntungan buat kita polisi akan lebih percaya sama kita daripada sama dia karena kita membantu tugas mereka,” urai Oman.
“Good idea,” sahut Rasyid bangga. “Segera eksekusi aja kalo kaya gitu,” pinta Rasyid dan semuanya mengakhiri panggilan video itu.
“Apa kamu sudah memikirkan resikonya?” tanya Dika masih tak yakin. Rasyid menoleh, “Sempat, tapi selama Edgar menjaga Asmara aku yakin tidak akan terjadi apapun yang buruk kepadanya,” kata Rasyid menatap Edgar.
“Karena itu kamu harus segera kembali ke Indonesia, sisanya biar aku yang urus sama Dika,” perintah Rasyid. Edgar yang masih enggan tak bisa berbuat apapun lagi selain menuruti keinginan tuannya itu.
Rasyid berdiri dan mengambil minum dari kulkas kecil yang ada di ruangan itu. Dia menepuk pundak Edgar membuat pengawalnya mendongak dan menatap Rasyid yang kembali duduk. Dia menegak minuman sodanya dan meletakkannya di meja.
“Aku bukan mau mempersulit kamu untuk menjaga orang seperti Asmara. Nantinya dia yang akan jadi Nyonya rumah di sini, cepat atau lambat itu hanya urusan waktu dan kondisi di lapangan, tapi tujuannya jelas, hanya dia yang berhak menyandang menantu Ar Madin,” kata Rasyid penuh keyakinan.
Edgar kaget tapi tak lama dia mengangguk paham atas apa yang dikatakan bosnya itu. Dika berdecih karena hal itu, “Hanya karena urusan warisan dan tambang itu makanya kamu jadi ambisius untuk mengejarnya,” ledek Dika.
Edgar yang mendengar itu hanya mengerutkan dahi sedangkan Rasyid malah tertawa. “Itu hanya motivasi tapi sejauh aku mengenalnya, Asmara memang pantas menyandang gelar Nyonya Ar Madin,” kata Rasyid.
Dika memicingkan matanya. Rasyid paham kode itu. Dia kembali mengambil minumannya sebelum menjawab apa yang jadi misteri bagi kedua orang kepercayaannya.
“Aku butuh seorang pendamping yang bisa menghadapi badai keluarga dan gejolak sosial Ar Madin. Bukan soal kecantikan, keanggunan, atau kekuasaan yang dimiliki oleh keluarganya,” Rasyid menatap keduanya.
“Cek apa yang dilalui Asmara selama ini bahkan yang baru saja dia alami. Kepintaran yang dimiliki itu jadi pondasi utama menjadikan dia kandidat utama, tapi kekuatan fisik dan pikirannya yang tetap positif dalam menghadapi badai kehidupannya itu yang membuat dia jadi kandidat utama yang harus dimiliki oleh seorang Ar Madin dan penerusnya,” jelas Rasyid.
Edgar mengangguk paham soal ini dan dia setuju untuk bagian itu. Dika memikirkan apa yang Rasyid katakan meskipun dia tak pernah berinteraksi langsung dengan Asmara tapi dia juga merasakan bahwa wanita itu memang bukan wanita sembarangan.
Rasyid memegang botol sodanya dan berdecak sekali lagi untuk meminta perhatian keduanya. “Satu lagi, dia itu satu-satunya wanita yang aku tahu tak silau dengan kekuasaan dan kekayaan. Jika dia tahu aku yang sebanyak ini mengelola duit, jika aku tak menjeratnya dia pasti akan lari. Ga percaya?” sindir Rasyid melirik Dika.
Dika mendengkus dan melempar bantal ke Rasyid. “Sebahagia elu Bos Bucin,” ledeknya dan gantian Rasyid malah yang menimpuk Dika dengan bantal karena diejek bucin.
***
Dika memberikan Rasyid tablet yang berisi informasi mengenai penangkapan gudang obat-obatan illegal yang sengaja ditimbun untuk kepentingan komersil. Hal itu terungkap berkat laporan dari Rasyid Ar Madin yang mencurigai gelagat orang yang keluar masuk gudang itu.
Rasyid tak menyangka jika Oman begitu dramatis menceritakan semuanya. “Pinter juga anak itu bikin opini publik dan drama kehidupan,” kekeh Rasyid melihat hasil kerja sahabatnya itu.
Rasyid menelpon Oman dan memuji hasil kerjanya. Dan dia harus menerima rentetan omelan karena hal ini. “Siap-siap aja elu kalo abis ini ada bencana lain,” kata Oman dan Rasyid tertawa.
Tak berapa lama, ayahnya menelpon dengan enggan Rasyid menerima panggilan itu dan menyapa ala kadarnya.
“Apa kamu sudah gila sampai harus melakukan hal ini? Apa kamu tahu berapa perusahaan yang tutup karena laporanmu itu,” tegur Alfin.
Rasyid menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. “Aku tahu Pa, aku sengaja melakukannya untuk memberikan pelajaran kepada musuh Papa itu kalo Rasyid ga bisa disepelekan begitu saja,” kata Rasyid santai.
“Seharusnya kamu beryukur dia tak membunuhmu sekarang juga,” seru ayahnya dan menutup pembicaraan mereka. Rasyid melihat layar ponselnya tapi tak lama dia meletakkannya begitu saja.
“Bukan cuma aku doank kan yang drama soal ini,” kata Dika setelah melihat sendiri Rasyid yang ditegur oleh ayahnya yang selama ini tak peduli urusan Rasyid.
“Ga usah ikutan deh,” kata Rasyid mulai kesal. Dika hanya mengangkat bahu, “At least, aku udah ngomong dan menasehatimu,” kata Dika lalu pergi dari hadapannya.
Rasyid melirik ponselnya dan belum ada kabar dari Edgar itu artinya dia masih dalam perjalanan ke Indonesia dan mungkin saja tidak ada hal buruk yang menimpa Asmara.
Dia bukannya tidak takut tapi sebenarnya dia menyadari jika tindakannya ini berisiko tapi dia terpaksa melakukannya agar Marques tahu seberapa besar kekuatan lawannya kali ini.
***
Merdian datang ke ruangan Marques dengan tergesa-gesa dan segera dia melaporkan apa yang terjadi pada gudang obat-obatan yang menjadi penyokong dana organisasi mereka.
Marques masih berdiri tegap menghadap jendela menatap jalanan kota yang tak pernah sepi. Dia mendengar suara berisik dari balik punggungnya tapi dia malas untuk menengok.
“Bos, apa yang seharusnya kita lakukan sekarang?” tanya Merdian setelah menjelaskan semuanya. Dia penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran bossnya karena masalah ini bukan masalah sepele.
“Selain itu, ada tiga perusahaan yang ditutup karena kasus ini Bos, itu artinya kita kehilangan perusahaan untuk mengelola dan menampung pencucian uang kita selama ini,” kata Merdian selanjutnya.
Marques membalikkan badannya dan menatap sengit asistennya. “Apa benar semua ini tindakan Si Madin itu?” suara Marues penuh penekanan dan seakan ingin menelan orang hidup-hidup.
Merdian mengangguk, “Dibantu dengan The Dark Eye dan Enterprise Media,” kata Merdian yakin tapi pelan. Marques berjalan mendekati Merdian. Tangannya menengadah seakan meminta sesuatu. Merdian yang tak sepenuhnya mengerti memberikan tablet yang dia bawa. Marques menerima tablet itu dan tak ada satupun yang menyangka apa yang akan dia perbuat dengan tablet itu.
Plaaakk…
Brraakk..
Darah segar muncul di pelipis Merdian yang masih berdiri tegak di sana dengan kepala menunduk dalam. Dia melirik tablet yang sudah tak berbentuk di kakinya.
Marques kembali menengadahkan tangannya kepada Merdian. Asistennya itu langsung mengambil sapu tangan di salah satu kantong celananya dan membershkan bercak darah yang ada di sana.
“Kali ini hanya pelipismu yang terluka karena tamparan tablet itu,” kata Marques menarik tangannya yang masih diseka oleh Merdian.
“Sekali lagi kamu tidak bisa mengatasinya dan bertanya padaku apa yang harus dilakukan, aku pastikan kepalamu yang hancur seperti tablet itu,” ancam Marques dan Merdian menyanggupinya.
“Bereskan si Madin itu dengan cara apapun aku tak mau tahu. Mulai sekarang kita tak perlu lunak lagi kepadanya,” perintah Marques.
“Baik Bos,” kata Merdian dan dia berjalan menuju pintu keluar tapi belum sempat dia pergi Marques kembali memanggilnya.
“Apa Asmara sudah melahirkan anaknya?” tanya Marques penasaran.
“Sudah Bos, beberapa hari lalu dan anaknya lelaki bernama Ario,” kata Merdian. Marques menarik kedua sudut bibirnya dan mengangguk.
“Good, awasi mereka mulai sekarang, mungkin anak itu bisa berguna suatu hari nanti, terutama untuk kehancuran Rasyid Ar Madin,” perintah Marques.
******