CH.59 The Point

1835 Words
Reno mendorong Rasyid keras sampai dia tersungkur, dia masuk mobilnya dan siap melajukannya. Dia menoleh ke  arah Rasyid. “Harusnya aku yang tanya sama kamu soal itu, tujuanmu apa menghalangiku dekat sama Asmara kalo kamu cuma manfaatin dia doank buat hiburanmu. Tanyakan itu sama hatimu Ar Madin,” seru Reno dan dia meninggalkan sahabatnya itu begitu saja. Rasyid bangkit dari posisinya dan dia meninggalkan area itu. Dia memutuskan untuk datang ke klub langganan setelah sekian lama dia tinggalkan. Entah kenapa dia merasa alkohol bisa membantunya meredakan amarahnya yang masih ada dalam dirinya. Dia tak menyewa ruangan khusus tapi lebih memilih duduk di meja dekat bartender. Seorang pelayan menyelipkan potongan kertas di bawah gelasnya dan dia menariknya dengan tujuan untuk menanyakan pengirim memo itu, tapi sayangnya pelayan itu jadi salah paham. Tanpa belas kasihan Rasyid mengusirnya begitu saja. [Aku tunggu di parkiran belakang.] Rasyid meremas kertas itu dan tidak memperdulikan panggilan itu. Tapi sifat dasarnya yang selalu ingin tahu membuatnya goyah dan akhirnya datang ke tempat yang dimaksud. Dia melihat punggung seorang pria tapi dia tak mengenali gesture tubuhnya itu. Rasyid sedikit mendekat dan orang itu menyadari kehadirannya dan menoleh. “Andi,” lirih Rasyid. Andi secepat kilat mendatanginya dan mencengkram kerah bajunya. “Aku sudah katakan kepadamu untuk jauh dari Asmara kenapa kamu tidak menghiraukannya. Apa kamu ingin Asmara terlibat dalam semua urusan sialan ini!” bentaknya kesal. Rasyid santai menanggapi, “Aku tidak akan melakukannya. Aku juga yang akan menjaga Asmara,” balasnya. Andi melepaskan cengkraman itu keras karena amarahnya yang belum hilang. “Kalau begitu aku juga tidak akan melepaskan Asmara begitu saja,” ucap Andi. Rasyid menarik tangan Andi dan memplintirnya keras hingga pria itu mengaduh.  “Apa kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan padamu sebelumnya kenapa sekarang kamu malah mengajakku untuk menghabisimu,” kata Rasyid penuh sindiran. Andi terkekeh, “Sampai sejauh apa kamu mengenalnya Rasyid Ar Madin. Aku mantan kekasihnya aku tahu bagaimana meluluhkan hatinya, ini hanya soal waktu. Ancamanmu itu menunjukkan kalau kamu takut bersaing denganku,” cela Andi. Rasyid cukup terpengaruh dengan ucapan Andi itu tapi  dia menyembunyikan ekspresinya dan berdecak. “Jangan karena masa lalu terus kamu merasa bangga, aku bisa membalikkan keadaan dengan belajar pada masa lalumu itu apa yang tidak dia inginkan darimu,” tantang Rasyid. “Ayo kita  bersaing secara gentleman,” kata Andi. Rasyid menarik tangan Andi makin keras membuat orang itu mengerang kesakitan. “Kenapa aku harus menurutimu, aku ingin memiliki Asmara seorang diri dan hanya aku yang bisa memilikinya. No negotiation Sanjaya,” tegas Rasyid. Pria itu mendorong Andi keras dan mengancamnya untuk terakhir kali. Katakan pada Marques, aku tak peduli apa yang akan dia lakukan pada Asmara, yang jelas aku akan tetap membuatnya ada di sampingku. Sekali saja dia melukai Asmara, nyawa Bosmu ada dalam genggamanku,” ancam Rasyid dan pergi meninggalkan pria itu begitu saja. Derap langkah pria muncul dari belakang Andi. Pria itu asyik meghisap cerutunya dan memandang kepergian Rasyid begitu saja. “Bocah itu berani mengancamku. Tak tahu diri!” geram Marques dan seenaknya menjatuhkan cerutu yang masih menyala di tubuh Andi sampai dia melompat kaget. “Jika kamu tak bisa mendapatkan Asmara dengan cara yang baik, gunakan otakmu untuk mendapatkannya dengan cara lelaki. Kalau perlu seperti lelaki vrengsek macam dirimu,” pesan Marques. *** Rasyid mendatangi rumah Asmara dan mengetuk pintu. Tapi tak ada yang menjawabnya membuatnya penasaran dan melihat lokasi Asmara saat ini. Pria itu terkejut dan berlalu dari sana mengikuti lokasi tersebut. “Kok kayanya arahnya ke pinggiran kota sih,” gumam Rasyid dalam mobilnya masih fokus ke titik lokasi itu. Tak sampai tiga puluh menit dia sampai dan menyadari jika itu bibir pantai. Dia mengedarkan pandangan dan melihat sosok yang dia cari. Rasyid mendekatinya dan melihat mereka yang nampak bicara serius. Seperti sebelumnya, dia mencari posisi yang aman untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. “Kejadian ini membuatku menyadari jika aku telah menentang prinsipku sendiri dan itu ga enak rasanya. Seharusnya di awal aku tahu Dev selingkuh, aku harusnya memutuskan berpisah dengannya bukan malah memaafkannya yang malah rasanya jadi lebih menyakitkan kaya sekarang,” kata Asmara. Rasyid diam mendengarkan perbincangan mereka berdua. “Selain itu, aku tak mau membuat keluargaku malu saat itu karena aku batal nikah atau baru menikah sudah bercerai atau baru punya bayi kok cerai, kan kasian bayinya. Hujatan-hujatan macam itu yang selalu membuatku ragu untuk mengambil keputusan berpisah dari Dev,” lanjut Asmara. Reno menghela napas, “Tak semua yang kamu pikirkan itu benar As, jika orang tuamu peduli padamu mereka lebih memilih kebahagiaan kamu daripada hujatan orang lain,” kata Reno menyemangatinya. “Benarkah seperti itu?” tanya Asmara masih tak percaya dan menatap Reno sendu. Rasyid masih menyimak pembicaraan mereka dan kecewa dalam dirinya kembali muncul karena dia tak bisa terlibat langsung hanya sebagai penonton. “Beberapa kali aku berinteraksi dengan kedua orang tuamu mereka bukan tipe orang tua yang dictator yang memaksa anaknya harus nampak sempurna. Mereka pasti lebih memilih kebahagiaan kamu terutama Ario,” urai Reno. Asmara bersandar di bahu Reno membuat Reno terdiam. Rasyid yang melihat itu gelisah, kesal, marah, dia mengepalkan tangannya dan meninju pasir yang dia injak berkali-kali. ‘Kenapa kamu semudah itu luluh dengan Reno, harusnya aku yang mendapatkan sandaran itu. Astaga, aku beneran ag bisa nunggu lagi, aku harus pikirin gimana caranya Asmara bisa deket sama aku bukan sama Reno,’ batin Rasyid geram. “Sebentar aja ya, aku butuh bahu buat bersandar. Lima tahun belakangan ini aku merasa seperti orang setengah hidup atau setengah mati. Aku menyadari apa yang terjadi tapi aku tak tahu apa yang harus aku perbuat,” lirih Asmara dabn suaranya mulai berubah serak. Rasyid masih menyimpan amarah itu, tapi mendengar ucapan Asmara dia semakin menyadari jika wanitanya butuh lelaki yang selalu ada untuknya bukan yang selalu mengawasinya. “Bukan hanya bahuku As, bahkan aku akan memberikan hidupku untuk kamu  jadikan sandaran,” balas Reno dan dia tak segan untuk memeluk pinggang Asmara. Dada Rasyid sesak melihatnya, amarah itu tak bisa dia tahan. Dia berdiri dan sudah siap untuk menghajar Reno tapi seseorang menghalanginya dan memeganginya. Rasyid berontak sekuat tenaga tapi orang tersebut malah menyeret Rasyidmenjauh dari dua orang itu. Setelah agak jauh mereka melepaskan Rasyid. Pria itu sudah siap dengan bogem miliknya dan dia terkejut melihat orang-orang yang menghalanginya. “Dika, Edgar, gimana kalian bisa tahu aku ada di sini?” tanya Rasyid mendadak bego. “Kemarahanmu tadi ga akan menyelesaikan masalah dan tidak membuat Asmara jadi dekat denganmu, tapi dia akan membencimu dan semakin menjauh darimu karena kamu tak bisa menggunakan akal sehatmu,” pesan Dika. Rasyid mengepalkan tangannya kesal dan meluruh. Kekesalan itu sungguh nyata dan dia tak rela meliht keduanya sedekat itu. Matanya nyalang menatap pemandangan keduanya saling berpelukan layaknya sepasang kekasih dengan pamandangan matahari senja. “Tau kan kenapa aku minta kamu untuk maju, maju dan maju. Gini ini rasanya. Jujur Ras, mencintai dalam diam itu ga enak  walopun cuma 1 detik itu ga ada enaknya. Cinta itu bisa kamu rasakan kenapa kebodohan menguasaimu dan memilih diam tak merasakan apapun,” ucap Dika dalam. “Aku memang ga tau apa yang membuat Asmara isstimewa sampai kamu jadi sosok yang berbeda macam ini. Tapi kalo kamu ga kuat sama sakitnya mending kamu luapkan dan tumpahkan semua perasaan kamu kepada orang yang memang kamu inginkan,” lanjut Dika. Rasyid masih diam. Tak ada yang tahu diamnya itu karena mellihat pemandangan alam yang terbentang luas di hadapannya atau karena tindakan sepasang pria dan wanita di sana. “Apa ketakutanmu sebenarnya untuk mendekati Asmara?” tanya Dika membuat Rasyid menoleh. “Ketakutan apa maksudmu?” tanya Rasyid balik. Dika meghela napas dan menepuk pundak Rasyid. “Orang yang tidak mau mendekati kebahagiaannya itu ada dua kondisi. Dia tidak mau mengambil keebahagiaan itu atau dia takut untuk dekat dengan kebahagiaan itu,” kata  Dika mengena. Deg. “Posisimu sekarang ada dimana? Takut atau ga mau?” cecar Dika cepat. “Kalo ga mau kayanya gaa mungkin karena kamu selalu memburunya, kamu mencarinya kemanapun dia pergi,” tebak Dika. Rasyid menunduk. “Aku sendiri tak tahu apa yang aku takutkan,” pengakuan Rasyid. “Lalu, apa yang menghalangimu untuk berada di dekatnya?” selidik Dika. Rasyid menggeleng. “Satu atau dua tahun, aku masih bisa tolerir kamu tak bertindak apapun. Tapi ini sudah lima tahun tapi kamu masih anteng di sini dan tak ada pergerakan. Itu penakut Ras namanya, itu ketakutan yang menguasaimu,” kata Dika. Rasyid menjambak rambutnya, dia tak tahu apa yang harus dia katakan terkait hal ini. Edgar paham apa yang dirasakan oleh Rasyid karena dia juga merasakan goresan itu saat melihat keduanya berpelukan seperti itu. “Aku takut kebahagiaan yang dia cari itu bukan aku yang bisa memberikannya tapi orang lain,” ucap Edgar memecah suasana. Dika terkejut dengan apa  yang Edgar katakan, asisten Rasyid itu memberikan kode tapi nampaknya Edgar tak peduli soal itu. “Bagi kita lelaki yang tak pernah mengenal cinta, kita memiliki rasa percaya diri untuk bisa memilikinya dengan cara yang biasa kami tempuh. Tapi kami melupakan hal paling sederhana, cinta itu tak bisa dipaksa dan kebahagiaan itu bisa dicari jika memang kita orang terpilih untuk memberikannya,” urai Edgar. Rasyid dan Dika menatap Edgar tak percaya. “Kebodohan dan ketakutan itu nampak sama bagi kita. Ironinya lagi, kami menganggap dua hal itu bukan hambatan tapi hanya angin lalu yang tak perlu dikhawatirkan,” kata Edgar masih dengan makna yang dalam. Rasyid bangun dan mendekati Edgar, “Bagaimana kamu bisa berpikir seperti  itu. Apa kamu juga merasakan hal yang sama kepada Asmara?” desak Rasyid. Edgar menggeleng cepat dan yakin, “Itu untuk membantu Anda membuka ketakutan yang dimaksud. Jika memang Bos tidak setuju tak masalah,” balas Edgar tenang. Rasyid memejamkan matanya. “Cukup aku bertengkar dengan Reno karena masalah ini. Aku mohon jaga hatimu untuk menahan godaan ini. Jangan sampai aku kehilangan dirimu juga,” kata Rasyid pelan. Edgar mengangguk dan menunduk dalam, “Saya tidak berani Bos, saya tidak akan berani melakukannya sampai akhir hayat saya nanti,” janji Edgar menimbulkan rasa bersalah. “Mereka sepertinya akan meninggalkan tempat ini, ayo kita bersiap,” kata Dika memecah suasana. Rasyid pergi menaiki mobilnya. Dika dan Edgar dalam satu mobil yang sama. Reno mengantarkan Asmara kembali ke rumahnya. Rasyid yang berniat meminta klarifikasi kembali sudah bersiap keluar dari mobil tapi ponselnya berdering muncul nama Reno di sana. “Ayo kita ketemu di Devas, kita selesaikan di sana secara lelaki,” kata Reno langsung menutup panggilan tanpa menunggu balasan dari Rasyid. Reno melajukan mobilnya dan Rasyid mengikutinya dari belakang. Keduanya bahkan parkir bersebelahan. Reno nampak tak terkejut lalu kemudian mobil Edgar juga ada di dekat mereka. Empat pria dewasa itu masuk dan memutuskan untuk menyewa sat room seperti biasannnya. Dika yang paham selera masing-masing sudah memesan apa yang mereka butuhkan kali ini. Keheningan menyelimuti keempat pria itu hanya denting es batu, gelas, botol minuman dan asap rokok yang meramaikan suasana. Reno mengeluarkan ponselnya dan memutar alat perekam yang ada di sana. “Aku lelah Ren, cukup satu kali aja aku terluka, aku ga mau lagi.” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD